Kumbanews.com – Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak 24 November 2025 dipastikan bukan hanya dipicu cuaca ekstrem. Pakar ITB menegaskan, bencana besar ini terjadi karena kombinasi curah hujan ekstrem, kerusakan lingkungan, dan melemahnya daya tampung wilayah.
BNPB hingga 27 November melaporkan 34 warga meninggal dunia, 52 hilang, dan ribuan mengungsi. Angka ini berpotensi bertambah seiring pencarian di lapangan.
Curah Hujan Tembus 300 mm: Setara Banjir Jakarta 2020
Ketua Prodi Meteorologi ITB, Muhammad Rais Abdillah, mengungkap wilayah Sumatera bagian utara sedang memasuki puncak musim hujan. Sejumlah stasiun BMKG mencatat curah hujan harian >300 mm, mendekati intensitas banjir besar Jakarta pada 2020.
Selain itu, muncul fenomena atmosfer yang memperkuat hujan ekstrem:
Vortex Semenanjung Malaysia
Berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka
Cold surge dan sistem skala meso yang memicu pembentukan awan raksasa
“Suplai uap air meningkat, awan hujan meluas, dan presipitasi melonjak,” jelas Rais.
Kerusakan Lahan Memperparah Dampak
Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, menyoroti rusaknya kawasan penahan air dan alih fungsi lahan.
“Banjir bukan hanya soal hujan. Ini soal bagaimana permukaan bumi menerima dan menyerap air,” katanya.
Ia menegaskan:
Hutan memiliki kemampuan infiltrasi tinggi
Jika berubah menjadi permukiman/perkebunan intensif tanah kehilangan daya serap
Limpasan meningkat dan air langsung mengarah ke sungai banjir besar tak terhindarkan
Heri juga menilai peta bahaya banjir Indonesia belum akurat karena data geospasial yang belum komprehensif.
Dua Rekomendasi Mitigasi Berbasis Sains
Pakar ITB menawarkan langkah perbaikan jangka panjang:
1. Mitigasi Struktural
Pembangunan tanggul
Kolam retensi
Normalisasi sungai
2. Mitigasi Non-Struktural
Penataan ruang berbasis risiko
Konservasi kawasan penahan air
Peringatan dini yang mudah dipahami masyarakat
Pemutakhiran data geospasial nasional
“Risiko banjir akan selalu berulang tanpa integrasi sains atmosfer, rekayasa geospasial, dan tata kelola lingkungan,” tegas Heri.
ITB mendorong kolaborasi pemerintah, lembaga ilmiah, dan perguruan tinggi untuk memperkuat ketahanan masyarakat di wilayah rawan bencana, khususnya Sumatera bagian utara yang secara geografis memiliki risiko tinggi. (***)





