OLEH: LAILA HIDAYATI*
Warga Gaza yang berbuka puasa di tengah reruntuhan bangunan pada Senin, 11 Maret 2024/Net
KONFLIK Timur Tengah kian memanas, pembantaian yang dilakukan Israel sejak 7 Oktober 2024 masih terus berlanjut. Kabarnya hingga kini sebanyak 33.797 korban jiwa mayoritas oleh anak-anak dan perempuan.
Namun fakta ini justru seolah hanya sederet angka yang tak mampu menggoyahkan takhta hukum internasional untuk menyelesaikan kejahatan kemanusiaan terbesar yang dilakukan oleh Israel.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang pada mulanya dibentuk mendamaikan masyarakat internasional seolah menjadi sarang nepotisme dan menyusupnya berbagai kepentingan. Terbukti hingga kasus Israel-Palestina diseret ke kursi internasional, lagi-lagi patah karena kekuasaan veto yang dipegang oleh Amerika Serikat.
Baru-baru ini, situasi Timur Tengah semakin tak stabil, ketegangan meningkat usai serangan Iran pada 14 April 2024 lalu ke wilayah Israel.
Secara historis, Iran dan Israel merupakan negara yang saling menyimpan dendam, konflik berkepanjangan hingga serangan 14 April yang rupanya buntut dari agresi militer oleh Israel di Kantor Konsulat Iran. Menampik isu yang beredar, motif penyerangan Iran ke Israel bukan didasari pembelaan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan bertahun-tahun oleh Israel.
Fakta mirisnya, dunia internasional tutup mata atas kejahatan genosida yang dilakukan oleh Israel ke Palestina. 33.797 korban jiwa seolah hanya angka, darah dan nyawa tak berharga di hadapan kekuasaan.
Usai drama Iran dan Israel beberapa waktu lalu, Joe Biden menyatakan kutukannya terhadap serangan yang dilakukan oleh Iran ke Israel, namun 33 ribu manusia yang dibunuh oleh Israel justru AS menutup mata.
Tentu, berharap pada AS justru ibarat menggali kuburan sendiri karena hubungan erat antara Israel dan AS sudah menjadi rahasia umum.
Namun, penguasa-penguasa dunia Islam individual di Timur Tengah maupun Asia Tenggara hingga hari ini tak berkutik, kecaman mulut seolah menjadi senjata. Padahal saat yang bersamaan, kecaman tersebut tak pernah diindahkan.
Ditambah lagi saat masyarakat muslim menyuarakan boikot produk untuk setidaknya meminimalisir penjajahan yang dilakukan Israel justru secara de facto negara, baik Timur Tengah hingga Asia Tenggara masih menjalin hubungan dagang.
Jika melihat sejarah, sangat disayangkan bagaimana pada akhirnya keadaan hari ini mempertontonkan bukti kemunduran Islam, padahal dahulu umat muslim pernah bersatu selama kurang lebih 14 abad mulai dari Daulah Islam Madinah, Khulafaur Rasyidin, Umayah, Abbasiyah, hingga yang terakhir runtuh Utsmaniyah 1924.
Terpecahnya Islam menjadi negara-bangsa (nation state) sungguh petaka, tak ada arah regulasi yang jelas hingga tunduk pada kekuasaan yang menindas manusia. Padahal di bawah kekuasaan Islam pada saat itu, pembebasan Palestina misalnya, yang dilakukan Umar Bin Khattab berlangsung damai.
Hari ini, saat kita sendiri sudah terbiasa menyaksikan kejahatan berujung pada pengabaian, justru di saat bersamaan pula rupanya sikap apatis tersebut imbas dari ketidaktahuan dan ketidakmauan untuk mempelajari identitas kita, merupakan kewajiban bagi seorang muslim dan aturan Islam justru membawa kebaikan bagi seluruh manusia sebagaimana sejarah berjayanya.
Regulasi islam menghadirkan solusi tegas pada yang menyimpang hingga memberi efek jera dan menjaga perdamaian.
Untuk mengakhiri suatu kejahatan besar, persatuan selalu menjadi solusi. Israel dan sekutunya sejak awal hanya memahami bahasa perang. Sementara di sisi lain, saat penguasa-penguasa dunia Islam hari ini bungkam, saat yang bersamaan pula negara-negara adidaya melakukan kejahatan kemanusiaan dan terus mempererat hubungan bilateral dengan penguasa muslim.
Penjahat kemanusiaan selalu tahu bagaimana melanggengkan hegemoninya melalui motif ekonomi di negara-negara mayoritas Islam hingga atas dasar kesadaran tetap menjalin kerja sama. Padahal saudara muslim lainnya mati di cengkeraman negara tersebut.
Kondisi geopolitik hari ini semakin mempertajam arah permasalahan bahwa sesungguhnya masyarakat selalu memiliki kepekaan kemanusiaan yang besar sebagaimana ajaran Islam sebagai satu regulasi mutlak dari Allah SWT.
Bagi manusia yang mengatur hubungan muamalah hablumminannas di masyarakat. Namun regulasi yang dihadirkan menjadi tirani internasional, sekat, kekuasaan segelintir kelompok yang justru menindas dan membuat kita tak bisa berbuat apa-apa.
Alhasil untuk keluar dari kekacauan ini, tak lain dengan boikot ideologi yang menghasilkan regulasi tersebut.
“Rasulullah SAW antara lain bersabda: Mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Sebagiannya menguatkan sebagian lainnya.” (HR Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad).
Abu Hurairah radhiyallahu anhum (RA) meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hari kiamat belum akan terjadi sampai kaum muslimin memerangi bangsa yahudi. Mereka diserang oleh kaum muslimin sehingga bersembunyi di balik batu dan pohon. Namun, batu maupun tumbuhan akan berkata, ‘Wahai muslim, wahai hamba Allah, di belakangku ada orang yahudi. Kemari dan bunuhlah dia!’ kecuali pohon Gharqad. Sebab, pohon Gharqad adalah pohon orang yahudi.” (HR Muslim).
RMOL