Peran Intelijen Dilumpuhkan, Ancaman Proxy War Makin Gencar di Indonesia

Ilustrasi Presiden Prabowo Subianto menghadapi ancaman Proxy War/RMOL

Kumbanews.com –Penemuan jenazah pensiunan Badan Intelijen Negara (BIN) berpangkat brigjen dengan inisial HO di Marunda, Jakarta Utara, turut menjadi polemik di masyarakat.

Bacaan Lainnya

Kendati dalam penelusuran CCTV yang diungkap polisi, mobil yang dikendarai korban melaju menyusuri Kade 07-08 hingga ke ujung dermaga sampai jatuh ke laut, namun publik tetap bertanya-tanya agar kasus ini diusut tuntas secara terang benderang.

Sempat beredar juga adanya perseteruan antar intel di balik kasus tersebut. Sehingga memunculkan berbagai polemik mengenai adanya proxy war yang melumpuhkan peran intelijen.

Analisis Intelijen Politik dan Keamanan Internasional, Marsekal Pertama TNI (Purn) Muhammad Johansyah menilai sejak 2017 peran intelijen tidak berfungsi dengan maksimal sehingga ancaman proxy war kerap di masyarakat.

“Peran intelijen terpusat dialihkan ke daerah, di daerah terjadi pembiaran, misalnya masalah penggalian tambang di berbagai daerah di Indonesia dengan masuknya tenaga kerja asing (China), puncaknya korupsi tambang timah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, manipulasi emas dan lain-lain. Saya berharap media menjadi corong untuk mengadvokasi masyarakat bahwa ada ancaman-ancaman baru yang sudah ada di halaman rumah kita,” kata Johan kepada RMOL, Rabu, 15 Januari 2025.

Menurut dia, pada era Perang Dingin, setelah 1945-1991, ancaman-ancaman terhadap negara disebut sebagai perang konvensional atau perang dengan menggunakan senjata-negara melawan negara lain.

“Sebelum 1991 keadaan sangat mencekam, kekuatan militer disiagakan penuh-siaga tempur. Setelah era 1991 Perang Dingin selesai, muncul ancaman-ancaman baru yang disebut pakar politik dan keamanan sebagai ancaman non konvensional tidak lagi menggunakan senjata konvensional, senjata laras panjang, bom dan lain-lain,” jelasnya.

Lanjut Purnawirawan TNI Bintang Satu ini, perang non konvensional medianya lain. Ia mencontohkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang gagal mengamankan data-data penting strategis nasional, maraknya perdagangan narkotika, korupsi tambang timah Rp300 triliun, manipulasi emas 1000 ton Kementerian ESDM, kasus Sambo, klaim Indonesia tentang 9 garis putus (nine dot line) di laut china Selatan, PSN PIK I, II, pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang Banten sepanjang 30 Km dan lain-lain.

“Semua ini dampaknya sangat merusak kehidupan bangsa dan negara. Generasi muda terkena dampak langsung. Semua peristiwa ini lancar terjadi di negara kita karena peran intelijen sudah dilumpuhkan. Aktor keamanan dan penegak hukum yang bekerja dengan prinsip persepsi Presumption of Guilty semakin tidak berwibawa di hadapan masyarakat,” bebernya.

Masih kata Johan, dampak yang lebih besar dan merusak kehidupan bangsa sedang menanti di depan mata.

“Apakah semua kejadian ini alamiah-terjadi dengan sendirinya? Menurut analisis saya tidak, semua ini adalah proxy yang dimainkan oleh aktor-aktor dalam dan luar negeri. Semua persoalan ini terjadi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan. Intelijen gagal mencegah terjadinya pendadakan strategis,” bebernya lagi.

“Ada keraguan di masyarakat Indonesia khususnya generasi milenial tentang keberhasilan meraih Indonesia Emas 2045. Presiden terpilih Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto wajib mengantisipasi masalah ini dengan penguatan peran analisis intelijen yang lebih mendalam,” pungkas Johan.

 

 

 

 

 

 

Sumber: RMOL

Pos terkait