Nasib 270 Juta Rakyat di Tangan Airlangga, Negosiasi Tarif AS Harus Cerdas

OLEH: AGUSTO SULISTIO

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto bertemu dengan United State Trade Representative (USTR) Jamieson Greer/Instagram

Bacaan Lainnya

NEGOSIASI dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali jadi sorotan. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan bahwa Indonesia tengah mengupayakan penurunan tarif tinggi atas produk ekspor nasional yang dikenakan oleh AS bisa mencapai 47 persen.

Pemerintah membuka opsi pelonggaran kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai bagian dari kompromi yang diajukan.

AS sendiri meminta pelonggaran TKDN untuk produk-produk tertentu yang tidak bersifat ekspor-impor, seperti pembangunan data center di Indonesia. Sebuah pembangunan strategis yang mengelola data strategis bangsa dan negara Indonesia.

Terkait TKDN Presiden Prabowo Subianto memang tengah merancang ulang kebijakan tersebut, dari yang semula bersifat wajib menjadi pendekatan berbasis insentif. Tujuannya, agar pelaku usaha yang menggunakan komponen lokal mendapat penghargaan, bukan paksaan.

Langkah ini menjadi bagian dari strategi besar deregulasi ekonomi, yang diklaim akan memangkas hambatan investasi dan meningkatkan daya saing nasional. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar berpihak pada kemandirian ekonomi Indonesia atau justru membuka pintu lebar bagi dominasi asing? Yang pada akhirnya akan memperpanjang ketergantungan kepada asing.

Pendekatan baru ini dapat menarik investasi asing, terutama di sektor digital. Sistem insentif dianggap lebih fleksibel dan tidak menakut-nakuti investor. Namun, bahaya besar mengintai yakni jika tidak ada timbal balik yang jelas dari AS, seperti penurunan tarif ekspor secara konkret, maka pelonggaran TKDN bisa menjadi kompromi sepihak.

Belum lagi soal aspek keamanan data center yang menyimpan data rahasia seluruh penduduk, pemerintahan Indonesia, dan lain-lain.

Lebih dari itu, penghilangan perlindungan terhadap industri dalam negeri akan menjebak Indonesia kembali dalam ketergantungan struktural, melemahkan kemampuan bangsa membangun kekuatan industri sendiri.

Pelajaran dari Sejarah

Negosiasi ekonomi yang tidak mengedepankan pada kemandirian, hanya utamakan investasi dan tidak berpihak pada rakyat sejatinya bukan hal baru yang hanya menyengsarakan rakyat. Sejarah Peristiwa Malari, 15 Januari 1974, salah satu bukti dimana kebijakan ekonomi diambil sepihak, hanya memberi ruang kepada investor tanpa memberi ruang kompetitif dalam negeri dan dan masa depan ekonomi nasional.

Ribuan mahasiswa yang dipimpin oleh Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar, turun ke jalan menolak masuknya investasi besar-besaran Jepang yang dinilai tidak memberi ruang bagi kemandirian ekonomi bangsa.

Aksi mahasiswa saat itu menyoroti bahwa pembangunan rezim Orde Baru hanya mengutamakan investasi asing dengan pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan, bukan pada pemerataan. Sehingga Investasi asing merajalela, penyimpangan ekonomi meningkat, dan rakyat tetap miskin.

Hasilnya? Ketimpangan sosial, korupsi merajalela, dan amarah rakyat meledak. Malari menjadi titik balik bahwa rakyat tidak akan diam jika kebijakan ekonomi hanya berpihak pada modal dan mengorbankan kedaulatan ekonomi bangsa.

Peristiwa ini menjadi pengingat keras, jika pemerintah lebih berpihak pada investor asing ketimbang rakyatnya sendiri, maka kemarahan rakyat hanya tinggal menunggu waktu.

Kompromi dengan Keberanian

Korea Selatan dalam negosiasi ulang perjanjian dagang KORUS FTA dengan AS mencontohkan sikap tegas: jika harus membuka pasar, maka harus ada timbal balik dalam bentuk transfer teknologi dan penguatan SDM lokal. Diplomasi ekonomi mereka tidak tunduk, tapi terukur dan menguntungkan.

Bung Hatta, sang arsitek ekonomi Indonesia, pernah dengan tegas menolak syarat Belanda yang ingin menjadikan Indonesia pasar produk kolonial setelah kemerdekaan.

Ia memperjuangkan ekonomi mandiri meskipun harus menghadapi tekanan global. Begitu pula Ali Sastroamidjojo, yang pada Konferensi Asia-Afrika 1955 menyuarakan pentingnya negara berkembang melawan dominasi ekonomi negara maju.

Penutup

Negosiasi yang kini dilakukan Airlangga adalah ujian sejarah: apakah Indonesia masih punya arah dan harga diri dalam diplomasi ekonomi, atau telah menjadi pasar bagi kekuatan modal asing?

Pelonggaran TKDN bisa bermanfaat jika dilakukan dalam kerangka kepentingan nasional yang jelas. Tapi jika semata-mata sebagai konsesi untuk menurunkan tarif, ini hanya akan memperlebar jurang ketergantungan dan mengundang bahaya pengulangan sejarah: pertumbuhan tanpa pemerataan, pembangunan tanpa keadilan.

“Bangsa yang tidak bisa berdiri di atas kaki ekonominya sendiri, akan selamanya dijajah meski tanpa bendera,” Bung Hatta.

Dan jangan lupakan Malari 1974 ketika suara rakyat tak didengar, maka jalanan akan bersuara.

Penulis adalah Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)

 

 

 

 

Sumber: RMOL

Pos terkait