OLEH: ARIP MUSTHOPA
TELAH cukup lama masyarakat ramai mengeluhkan tentang mahalnya tiket pesawat, terlebih saat peak season. Bahkan sering kali terjadi, harga tiket pesawat ke negara tetangga, malah lebih murah, meski jaraknya relatif sama, dibandingkan harga tiket domestik.
Contohnya, harga tiket Jakarta-Batam, untuk penerbangan tanggal 7 Juni 2025, dicari pada tanggal 5 Juni 2025 melalui sebuah platform digital, harga termurah adalah Rp979.300. Sedangkan harga tiket Jakarta-Singapura, harga termurahnya Rp775.300.
Contoh lain, Jakarta-Manado, harga termurah Rp1.824.900. Sedangkan Jakarta-Bangkok, harga termurah Rp1.373.000. Publik pun keheranan dan bertanya, ada apa gerangan?
Pemerintah melalui Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi memberikan penjelasan. Katanya, “Harga tiket pesawat kenapa ke luar (negeri) lebih murah, salah satunya adalah karena tidak adanya PPN,” (cnbcindonesia.com, 9 Mei 2025).
Penjelasan berikutnya datang dari Menteri BUMN, Erick Thohir. Erick memandang, persoalan penurunan harga tiket pesawat bukan persoalan sederhana. Pasalnya, Erick menyadari komponen dalam pembentukan harga diatur dalam regulasi yang mengikat. Untuk merubahnya, perlu juga melihat pada regulasi tersebut. (liputan6.com, 31 Oktober 2024).
Penjelasan lain datang dari Anggota KPPU Budi Joyo Santoso yang mengatakan sejumlah faktor yang menyebabkan harga tiket penerbangan mahal adalah mahalnya harga avtur, distribusi avtur masih tertutup atau dimonopoli, komponen pajak, dan perilaku pelaku usaha (cnbcindonesia.com, 22 September 2024).
Dari jawaban tiga pejabat publik di atas, jelas bahwa masalah mahalnya harga tiket pesawat didominasi oleh karena adanya sejumlah peraturan atau regulasi dari pemerintah. Selain itu, Anggota KPPU Budi Joyo Santoso mengindikasikan adanya kontribusi harga dan pola distribusi avtur (bahan bakar pesawat) serta perilaku pelaku usaha.
Faktor Avtur
Saat ini, menurut data Kementerian Perhubungan, komponen biaya avtur mencapai 35,76% dari seluruh komponen biaya pembentuk harga tiket pesawat (kontan.co.id,15 Juli 2024). Apakah porsi tersebut wajar?
Sebuah studi ICAO (International Civil Aviation Organization) terhadap sejumlah maskapai penerbang di Amerika Serikat, yang dipresentasikan tahun 2017, menunjukkan bahwa komponen bahan bakar (fuel) dalam costs per block-hour of operations pada jenis pesawat Boeing 757-200 adalah 21,5 persen.
Hasil studi lain di Eropa tahun 2019 yang dipublikasikan dalam www.ansperformance.eu menunjukkan bahwa komponen fuel and oil (avtur dan pelumas) rata-rata mencapai 24,7 persen dari struktur biaya maskapai penerbangan.
Apabila kita jadikan dua hasil studi tersebut sebagai pembanding, jelas terlihat bahwa porsi biaya avtur dalam struktur biaya maskapai penerbangan di Indonesia sangat tidak efisien.
Meskipun demikian, membandingkan kondisi Indonesia dengan Amerika Serikat dan Eropa bisa jadi tidak apple to apple, karena regulasi industri penerbangan di setiap negara atau kawasan berbeda-beda.
Oleh karena itu, kita coba cara lain untuk menguji apakah porsi pemakaian avtur dalam struktur biaya maskapai penerbangan di Indonesia sebesar 35,76 persen itu sudah wajar atau belum.
Data dalam grafik dan tabel di atas memperlihatkan perbandingan pertumbuhan traffic atau lalu lintas penerbangan (domestik dan internasional) dengan pertumbuhan pemakaian avtur oleh maskapai penerbangan Indonesia (berdasarkan data penjualan avtur dari trader/importir).
Dari tahun 2017 sampai 2020, terlihat adanya pertumbuhan yang hampir selaras diantara keduanya. Namun sejak 2021 hingga 2023, terjadi perbandingan pertumbuhan yang tidak selaras.
Perbandingan pertumbuhan 2017-2020 adalah gambaran yang mendekati ideal. Sedangkan tahun 2021-2023, adalah gambaran yang jauh dari ideal.
Data perbandingan tahun 2022-2023, dalam kondisi dunia penerbangan berangsur pulih pasca pandemi Covid-19, menunjukkan adanya indikasi pemborosan pemakaian avtur karena pertumbuhan pemakaian avtur yang jauh di atas pertumbuhan traffic.
Terutama mulai tahun 2022 di mana persentase pertumbuhan konsumsi avtur tumbuh lebih dari dua kali lipat pertumbuhan traffic. Hal tersebut menandakan ada yang salah dalam pola konsumsi avtur oleh maskapai, yang bisa disebabkan oleh kelemahan dalam manajemen penerbangan atau unsur kesengajaan karena kepentingan ekonomis tertentu.
Penulis tidak dapat memastikan apa penyebabnya karena perlu penelitian yang mendalam, teknikal, dan detail dengan mempelajari data perilaku pesawat saat mesinnya dinyalakan, baik saat on the ground, dan terutama saat in the air.
Meski demikian, data perbandingan di atas sudah cukup kuat sebagai petunjuk bahwa mahalnya harga tiket pesawat dalam beberapa tahun terakhir dikontribusi oleh konsumsi avtur yang tidak wajar atau boros oleh maskapai penerbangan Indonesia.
Kontribusinya menjadi lebih signifikan ketika terjadi kenaikan harga avtur akibat kenaikan harga minyak dunia maupun depresiasi rupiah terhadap Dolar AS.
Wallahu a’lam bish shawab.
*Pengguna Jasa Penerbangan dan Ketua Umum PB HMI 2008-2010
Sumber: RMOL