Kumbanews.com – Lonjakan utang pinjaman online warga Sulawesi Selatan menjadi cermin meningkatnya tekanan ekonomi rumah tangga. Hingga Agustus 2025, total utang pinjaman daring tercatat menembus Rp2,18 triliun, seiring naiknya biaya hidup dan terbatasnya akses pembiayaan formal bagi masyarakat.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pinjaman daring di Sulsel tumbuh 44,41 persen secara tahunan (year on year). Angka ini melonjak dari Rp1,18 triliun pada Desember 2023 menjadi Rp1,69 triliun pada akhir 2024, sebelum kembali meroket pada 2025.
Kepala OJK Sulselbar Moch Muchlasin menyebut kemudahan akses pinjaman digital membuat masyarakat menjadikan pinjol sebagai bantalan ekonomi jangka pendek. Namun, tanpa perencanaan keuangan yang matang, pinjaman tersebut berpotensi berubah menjadi beban berkepanjangan.
“Pinjaman digital bisa membantu dalam kondisi tertentu, tetapi jika digunakan untuk menutup kebutuhan konsumtif, risikonya akan semakin besar bagi keuangan keluarga,” ujar Muchlasin, Selasa (9/12/2025).
OJK Sulselbar terus memperkuat edukasi literasi keuangan, terutama bagi kelompok rentan seperti pelaku UMKM, pekerja informal, dan rumah tangga berpenghasilan tidak tetap. Tujuannya agar masyarakat tidak menjadikan pinjol sebagai solusi utama menghadapi tekanan ekonomi.
Pengamat Ekonomi Universitas Bosowa (Unibos) Lukman menilai melonjaknya utang pinjol tidak bisa dilepaskan dari melemahnya daya beli dan meningkatnya kebutuhan harian. Menurutnya, pinjol kerap dijadikan jalan pintas untuk menutup kebutuhan dasar.
“Ketika pendapatan tidak sebanding dengan pengeluaran, pinjol menjadi alat bertahan hidup. Masalahnya, bunga dan tenor pendek justru memperberat beban rumah tangga,” jelas Lukman.
Ia mengingatkan, jika tren ini terus berlanjut, pinjol berpotensi memicu lingkaran utang yang menekan stabilitas sosial dan ekonomi keluarga. Karena itu, penguatan pengawasan, perlindungan konsumen, dan perluasan akses pembiayaan murah menjadi kebutuhan mendesak.
“Tanpa intervensi yang tepat, tekanan ekonomi rumah tangga bisa berubah menjadi krisis keuangan mikro,” pungkasnya. (***)





