Kumbanews.com – Di sebuah warung sederhana di Jalan Baji Minasa Nomor 7, samping SMA 14 Makassar, sepiring kapurung tersaji hangat setiap hari. Bagi sebagian orang, itu mungkin hanya makanan. Namun bagi Kapurung Khadijah, setiap suapan adalah potret perjalanan panjang tentang keteguhan, kesabaran menghadapi sepi, dan keyakinan bahwa rezeki tak pernah datang tanpa alasan.
Usaha kapurung ini mulai ditekuni sejak 2007. Saat itu, pemilik warung, Farida, baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya di sebuah perusahaan tekstil di Jakarta demi membangun rumah tangga. Namun berhenti bekerja tidak berarti berhenti bergerak. Hari tanpa aktivitas justru terasa panjang dan gelisah.
“Saya ini orang pekerja, tidak bisa kalau tidak ada kegiatan. Setelah menikah dan berhenti kerja, saya merasa harus tetap berusaha,” ujar Farida.
Dari kegelisahan itulah muncul niat untuk memulai usaha sendiri. Pilihan jatuh pada dunia kuliner, dan kapurung menjadi jawabannya. Makanan khas Luwu-Palopo itu dipilih karena dekat dengan kenangan kampung halaman dan rasa pulang.
“Awalnya memang karena tidak ada kerjaan. Saya berpikir apa yang bisa dilakukan, akhirnya mencoba jualan kapurung,” tuturnya.
Seiring waktu, Kapurung Khadijah dikenal karena cita rasanya yang konsisten. Salah satu ciri khasnya terletak pada penggunaan patikala yang dipesan langsung dari Palopo. Bahan ini menjadi kunci aroma dan rasa kapurung yang tetap otentik.
“Patikala dipesan langsung dari Palopo. Dari situlah rasa kapurung bisa tetap seperti di kampung,” katanya.
Bagi Farida, menjaga rasa adalah hal paling utama. Rasa tidak boleh berubah, meskipun kondisi usaha kerap naik turun.
“Kalau rasa berubah, kepercayaan orang juga bisa hilang. Itu yang paling dijaga,” ujarnya.
Perjalanan usaha ini tidak selalu ramai. Bahkan sebelum pandemi Covid-19, Kapurung Khadijah pernah melewati masa yang sangat berat. Ada hari-hari ketika warung buka dari pagi hingga malam, tetapi tidak satu pun pembeli datang.
“Pernah dari pagi sampai malam tidak ada yang beli. Rasanya berat sekali, bahkan sempat terpikir untuk menutup usaha,” kenang Farida.
Pada masa itu, usaha menurun drastis. Karyawan tersisa satu orang, dan sebagian besar pekerjaan dikerjakan sendiri. Namun di tengah keterpurukan, satu hal tetap dipegang, menjaga rasa dan berserah kepada Tuhan.
“Yang bisa dilakukan hanya menjaga rasa dan berserah. Rezeki itu sudah diatur oleh Allah,” katanya.
Kesabaran tersebut perlahan berbuah. Sejak tahun 2024, kondisi usaha mulai kembali normal. Pelanggan berdatangan lagi, sebagian besar berasal dari masyarakat Kota Makassar, termasuk para pegawai kantor yang menjadikan kapurung sebagai menu makan siang.
Selain melayani pembeli yang datang langsung ke warung, Kapurung Khadijah kini juga banyak melayani pesanan online. Melalui layanan pesan antar, kapurung buatan Farida kerap dipesan untuk kebutuhan makan siang, kegiatan kantor, hingga konsumsi keluarga.
“Sekarang banyak juga yang pesan lewat online. Alhamdulillah, itu sangat membantu,” ujar Farida.
Sebelumnya, Kapurung Khadijah sempat berkembang hingga memiliki tiga titik usaha. Namun kini Farida memilih fokus pada satu warung saja agar kualitas tetap terjaga dan mudah diawasi.
“Lebih tenang kalau dikelola sendiri. Semua bisa dipantau langsung,” jelasnya.
Nama Khadijah dipilih bukan tanpa makna. Nama tersebut terinspirasi dari Khadijah, istri Rasulullah SAW, sosok perempuan tangguh yang dikenal jujur dalam berdagang. Nilai kejujuran itulah yang menjadi pegangan dalam menjalankan usaha, jujur dalam rasa, jujur dalam niat, dan jujur dalam proses.
Farida, yang akrab disapa Ida, lahir di Kasiwiang, Kabupaten Luwu. Ia merupakan anak ke-7 dari pasangan Hj. Sairah dan Guru Sakka. Bersama suami tercinta, Drs. H.M. Idris Malindrung, serta seorang anak, Tarisa Fitria, ia menjaga dapur kecil Kapurung Khadijah dengan kesetiaan yang tak pernah surut.
Quote Kehidupan:
“Dalam usaha ini, ada hari ramai dan ada hari sunyi. Tapi selama rasa dijaga, niat diluruskan, dan doa tidak pernah berhenti, rezeki akan selalu menemukan jalannya,” ujar Farida.





