Kumbanews.com – Presiden Prabowo Subianto memastikan bonus Rp1 miliar bagi setiap atlet peraih medali emas SEA Games 2025 diterima utuh tanpa potongan pajak. Atlet tak perlu pusing soal PPh. Negara yang menanggungnya.
Pernyataan ini datang di tengah euforia penutupan SEA Games 2025 di Bangkok. Indonesia pulang dengan kepala tegak, mengoleksi 331 medali, terdiri dari 91 emas, 111 perak, dan 129 perunggu, finis di posisi kedua di bawah tuan rumah Thailand.
Bonus Rp1 miliar per emas pun menjadi sorotan. Bukan semata karena angkanya, melainkan karena mekanismenya. Secara aturan, pajak tetap ada. Namun pemerintah menggunakan skema gross-up: pajak dibayar negara, bukan dipotong dari hak atlet.
Artinya sederhana, yang dijanjikan Rp1 miliar, itulah yang diterima. Tidak disunat, tidak dipreteli, tidak disiasati.
Di republik yang kerap ribut soal potongan, klausul kecil, dan tafsir anggaran, kebijakan ini terasa seperti anomali. Negara hadir, menepati janji, tanpa perlu atlet belajar akuntansi atau bertanya ke mana larinya hak mereka.
Total anggaran bonus diperkirakan mencapai Rp166,7 miliar, mencakup atlet, pelatih, dan asisten. Dari medali emas saja, nilainya sekitar Rp91 miliar. Perak dan perunggu menyusul, besarannya masih difinalisasi.
Bahkan atlet yang belum meraih medali tetap memperoleh insentif. Di olahraga, usaha tetap dihargai. Tidak semua kompetisi berakhir di podium, tapi proses tetap dicatat.
Di titik ini, perbandingan tak terelakkan. Atlet bisa menjadi kaya, tetapi jalurnya telanjang dan bisa diuji siapa saja: latihan bertahun-tahun, cedera, kalah, bangkit, lalu menang. Tak ada proyek fiktif di lintasan. Tak ada mark-up di arena tanding. Yang ada hanya keringat dan disiplin.
Karier atlet pun singkat. Tubuh punya masa kedaluwarsa. Bonus besar bukan tiket hidup nyaman selamanya, melainkan penyangga masa depan setelah lampu stadion padam dan sorak penonton berhenti.
Karena itu, iri dan nyinyir terasa salah alamat. Uang itu dibayar dengan tulang, urat, dan usia muda.
Kisah ini memberi pesan sederhana tapi keras: kekayaan tidak selalu lahir dari kelicikan. Atlet menunjukkan, harta bisa datang dari kerja jujur dan pengorbanan nyata, bukan dari meja gelap dan tanda tangan tergesa.
Jika ada yang bertanya, benarkah bonus atlet tidak dipotong pajak? Jawabannya jelas: benar. Pajaknya ada, tapi negara yang membayar.
Dari arena olahraga, bangsa ini justru diingatkan, kejujuran adalah logam paling mahal. Dan sekali waktu, negara memilih untuk memolesnya, bukan mengikisnya. (***)





