Kumbanews.com – Fenomena sayembara cidukan di Facebook kian hari semakin telanjang. Dengan iming-iming transfer, sebuah unggahan sengaja dirancang untuk memancing reaksi massal. Dalam hitungan menit, kolom komentar dipenuhi ratusan bahkan ribuan akun yang berlomba-lomba berharap keciduk. Yang tampak bukan lagi interaksi sehat, melainkan antrean panjang harapan.
Kolom komentar pun berubah fungsi. Jawaban ditulis berulang-ulang, waktu ditandai berkali-kali, kisah pribadi dipajang tanpa sungkan. Bahkan tidak sedikit yang melangkah lebih jauh memuji pemilik akun setinggi langit, menjilat secara terbuka, seolah sanjungan adalah kunci utama agar dilirik dan dipilih. Semua dilakukan demi satu peluang kecil bernama transfer.
Di titik ini, praktik mengemis digital tidak hanya dinormalisasi, tetapi juga dipoles dengan puja-puji. Martabat digital dipertaruhkan secara sukarela. Kolom komentar menjelma panggung sanjungan massal, tempat harga diri dilebur demi harapan sesaat.
Bagi sistem Facebook, pemandangan ini sangat menguntungkan. Setiap komentar baik jawaban, pujian berlebihan, cerita pilu, maupun rayuan dibaca sebagai interaksi positif. Tidak ada pembedaan antara diskusi bermutu dan komentar menjilat. Semakin ramai, semakin luas jangkauan. Keramaian bukan efek samping, melainkan tujuan utama dari skema ini.
Transfer yang diberikan kepada satu atau dua orang sering dijadikan pembenaran moral, seolah praktik ini adalah bentuk berbagi. Padahal dalam ekonomi atensi, transfer tersebut hanyalah biaya kecil untuk membeli ribuan komentar gratis. Yang dipanen jauh lebih besar: jangkauan luas, citra akun yang dipuja publik, legitimasi sosial, dan peluang monetisasi berkelanjutan.
Sementara itu, mayoritas peserta tidak menyadari posisinya. Waktu, emosi, dan harga diri digital dikorbankan. Harapan dimanfaatkan, sanjungan diperas, dan kerentanan dijadikan bahan bakar. Dalam skema ini, publik bukan mitra, melainkan alat.
Secara aturan platform, praktik ini sah dan tidak melanggar kebijakan. Namun sah tidak selalu berarti bermartabat. Ketika ruang publik dipenuhi komentar mengiba dan pujian berlebihan demi memuaskan algoritma, yang terkikis bukan hanya etika digital, tetapi juga nalar kritis pengguna.
Fenomena sayembara cidukan memperlihatkan persoalan serius literasi digital. Banyak pengguna belum memahami bahwa perhatian adalah komoditas bernilai tinggi. Mereka mengira sedang mengejar rezeki, padahal sedang menjual atensi, emosi, dan martabat dengan harga sangat murah.
Facebook hanyalah alat. Namun alat ini bekerja sangat efektif ketika publik berhenti berpikir kritis. Keramaian bisa direkayasa, empati bisa dipancing, pujian bisa diperdagangkan, dan mengemis bisa dibungkus hiburan.
Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang keciduk, melainkan sampai kapan ruang digital dibiarkan menjadikan sanjungan dan harapan publik sebagai komoditas.
Tulisan ini adalah opini atas fenomena umum, bukan ditujukan kepada pihak tertentu.
Redaksi Kumbanews.com





