Kumbanews.com – Sejumlah perwira tinggi Polri ramai dinominasikan untuk menjadi Kapolri. Sudah selesaikah tugas yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian untuk mengubah paradigma tentang polisi?
Menjelang penyusunan Kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode kedua, muncul sejumlah spekulasi, menjadi saat yang tepat untuk mengganti Kapolri. Padahal, jabatan Kapolri tak ada kaitannya pada periodesasi menteri di kebinet. Kapolri tidak termasuk dalam jajaran kabinet.
Ketika Jokowi memutuskan untuk menjadikan Tito sebagai Kapolri, sangat terlihat bahwa presiden melakukan percepatan regenerasi di tubuh Polri. Pasalnya, kesempatan empat angkatan (1983, 1984,1985, 1986) untuk menduduki jabatan tertinggi di Polri, pupus.
Dampak dari kebijakan strategis yang diambil Jokowi, secara internal maupun eksternal, harus diatasi Kapolri. Tito tak dapat lagi menghindar. Disinilah titik kepemimpinannya sebagai Kapolri langsung mendapat ujian.
Muhammad Tito Karnavian, pria kelahiran Palembang, 26 Oktober 1964. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1987. Peraih penghargaan bergengsi, Bintang Adhi Makayasa itu akan mengarungi bahtera yang beragam, melahirkan wajah baru Polisi Indonesia. Tak ada pilihan lain.
Usai dilantik, Tito langsung berhadapan dengan ‘kegelisahan’ internal. Publik mendengar itu. Gelombang itu berujung pada munculnya ‘bisik-bisik’ di media sosial. Kapolri mengajukan pensiun dini.
Ditengah kerja kerasnya menghadapi berbagai persoalan, apalagi ketika menghadapi tahun politik, Pilkada, Pileg, dan Pilpres, Tito tidak terpancing oleh pihak ketiga yang ingin menciptakan situasi tidak kondusif. Apalagi jika dirinya disebut akan masuk dalam jajaran kabinet.
Bila merujuk pada kondisi kekinian, ada dua hal yang bisa dijadikan renungan, terkait pilihan langkah strategis Jokowi bila ingin mengganti Tito dalam waktu cepat.
Berpegang pada regenerasi Polri, seperti yang dilakukan Jokowi saat mengangkat Tito, maka pilihan sumber daya manusia untuk Kapolri mendatang berasal dari Akpol 88, 89, 90, bahkan 91.
Jika ditelisik kedalam, rekan satu angkatan Tito yang kini menduduki jabatan strategis, antara lain Kabaintelkam Komjen Pol. Agung Budi Maryoto dan Komjen Pol. Arief Sulistyanto, Kalemdiklat Polri serta Irjen. Pol. Drs. Luki Hermawan, M.Si yang kini menjabat Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Bila angkatan 87 yang akan dipilih, soal regenerasi ditubuh Polri jadi set-back. Dan langkah yang sudah dilakukan Jokowi meregenerasi Polri, menjadi sebuah kesia-sian. Selain belum pernah ada tradisi di Polri, jabatan Kapolri diganti oleh Kapolri baru dari angkatan yang sama.
Kedua, Kapolri sebagai peraih Adhi Makayasa, seperti Kapolri Badrodin dan Tito.
Ada nama Rycko Amelza Dahniel yang kini menyandang dua bintang (Irjen). Rycko peraih bintang bergengsi di Akpol 88.
Sementara alumnus Akpol 1989, Bintang Adhi Makayasa diraih Ahmad Dofiri, M.Si yang juga menyandang dua bintang dipundaknya.
Untuk Akpol 1990, Adhi Makayasa diraih Brigjen. Pol. Drs. Herry Rudolf Nahak, M.Si. Sementara Akpol 1991, Adhi Makayasa diraih Brigjen. Pol. Drs. Wahyu Widada, M.Phil.
Rycko Amelza Dahniel kini menduduki kursi Kapolda Jawa Tengah sejak 26 April 2019 lalu. Sebelum itu, menjabat Gubernur Akademi Polisi.
Irjen. Pol. Drs. H. Ahmad Dofiri, M.Si, Kapolda DIY (2016). Sebelumnya memegang jabatan sebagai Kapolda Banten (2016) dan Karosunluhkum Divkum Polri (2016). Tiga kali tour of duty dalam satu tahun (2016).
Sementara Herry Rudolf Nahak, M.Si baru menyandang satu bintang. Kini menjabat Kapolda Papua Barat, sebelumnya Dirtipidum Bareskrim Polri.
Begitu juga dengan Wahyu Widada, dipundaknya baru bertengger satu bintang. Saat ini Alumnus Akpol 91 itu menjadi Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Riau. Sebelumnya menduduki jabatan Karojianstra SSDM Polri (2017).
Merujuk pada riwayat jabatan keempat peraih Adhi Makayasa (88,89,90,91) diatas, dari sisi pengalaman mengemban amanah di lingkungan
Polri, rasanya masih perlu diperbanyak. Masih diperlukan tour of duty di jabatan lainnya, bila dibandingkan dengan riwayat jabatan yang pernah diemban Tito.
Diluar peraih Adhi Makayasa, jebolan Akpol 88 yang menyandang bintang tiga dipundak, adalah Komjen Pol Idham Azis. Kini menempati jabatan strategis sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri. Sebelumnya Idham menjabat Kapolda Metro Jaya.
Jebolan Akpol 88 lainnya, antara lain yang berpangkat Irjen adalah Kapolda Metro Jaya, Gatot Eddy Pramono. Sebelum mengemban tugas di Polda Metro Jaya, Gatot menduduki jabatan Wakapolda Sulawesi Selatan, dan Asrena Kapolri.
Adapula Purwadi Arianto yang menyandang dua bintang. Kini menjabat Kapolda Lampung. Sebelumnya menjabat Dirtipidter Bareskrim Polri.
Sementara lulusan Akpol 89, ada nama Irjen Pol Agus Andrianto. Kini menjabat Kapolda Sumatera Utara.
Untuk Alumnus Akpol 90, ada Irjen Pol Drs Firli Msi. Sebelum menjabat Kapolda Sumatera Selatan, dia menjabat Direktur Penindakan di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kemudian ada Irjen. Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si. Mantan ajudan Jokowi ini lulusan Akpol 1991. Kini menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Lulusan Akpol 91 lainnya yang memegang posisi strategis di Mabes Polri adalah Irjen. Pol. Muhammad Iqbal, S.I.K., M.H. Sebelum menjabat Kepala Divisi Humas Polri, dia pernah menjadi Wakapolda Jatim.
Wajah Baru
Berkaca pada performa para pemegang bintang tiga, dua, dan satu tadi, terlihat soal pembinaan karier anggota Polri, menjadi sesuatu yang perlu mendapat perhatian serius. Tidak gampang. Saat ini Tito baru setengah jalan, belum tuntas.
Begitu pula pembinaan karir di tingkat Komisaris Besar (Kombes). Perlu ditangani secara berkesinambungan. Bila tidak, akan menimbulkan gejolak berkepanjangan.
Tito sendiri mengakui, anggota Polri berpangkat Kombes, jumlahnya cukup melimpah. Sementara jabatan bintang satu (Brigjen) terbatas. Muncul bottle neck dan buntutnya karir Kombes macet.
Sebelum tahun 1984, relatif rekrutmen polisi tidak terlalu besar. Ketika angkatan Akpol 82 cuma 46 orang, berkembang cukup signifikan sejak angkatan 87, mencapai 177 orang. Jumlah ini terus membesar. Angkatan Akpol 88A hampir 202 orang dan 88B juga 200 orang lebih. Lalu Akpol angkatan 89 ke atas tambah berkembang.
Setidaknya, kini anggota Polri berpangkat Kombes ada sekitar 1300-an. Berasal dari angkatan 84 sampai 97. Sementara yang sudah mengikuti jenjang Sespimti ada sekitar 500 orang dan layak untuk mendapat jabatan Brigjen. Saat ini ada sekitar 400 orang Kombes yang kualifikasi bagus, namun sekarang masalahnya mereka tidak ada jabatannya.
Misalnya Tito membuat kebijakan, mengerem ledakan Kombes melalui kebijakan memperpanjang masa dinas Komisaris Polisi (Kompol) ke Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) dan laju AKBP ke Kombes.
Juga mengembangkan organisasi. Misalnya dari Polda yang semula tipe B atau dipimpin Brigjen menjadi tipe A atau dipimpin Irjen. Sehingga akan ada job Wakapolda bintang 1 di bawahnya.
Di luar struktur Polri, ada slot menempatkan para Brigjen di BNN, Polhukam, OJK, Bakamla, hingga Dirjen Hubungan Darat. Ini pun masih jauh dari cukup.
Inilah tantangan di depan mata yang harus dihadapi, untuk dicarikan solusi. Tito sudah melakukan, namun masih perlu dituntaskan..
Untuk mengurai masalah internal, terkait mutasi dan promosi anggota Polri, memang bukan perkara mudah. Diperlukan kecermatan dalam mengidentifikasi masalah, walau sistem pembinaan karier sudah ada. Perlu taat azas. Sehingga tidak sulit membedakan polisi yang berprestasi dan tidak berprestasi.
Sikap keterbukaaan yang digaungkan Tito, berterus terang, secara gradual membawa perubahan di internal Polri. Sebuah sikap baru, dimana Kapolri membuka diri untuk berbagai urusan, baik kepada publik maupun terhadap persoalan internal Polri.
Tampaknya alumnus Nanyang Technological University, Singapore berpredikat magna cum laude (2013) ini mendapat penugasan membangun suasana baru di Polri pa
da era demokrasi, budaya diskusi. Walaupun, pada saat yang sama dia tetap menjaga budaya hierarki dalam struktur kewenangan komando.
Wajah baru Polisi Indonesia. Institusi yang tetap patuh terhadap struktur birokrasi, tapi juga patuh melayani kepentingan masyarakat dan tetap independen.
Sebuah pekerjaan yang tidak mudah, belum selesai, dan harus diselesaikan. Melakukan dekonstruksi citra Polri. Tidak hanya secara substansi, termasuk cara mengemban peran penting sebagai pengayom, pelindung, sekaligus pelayan untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Promoter (profesional, modern, terpercaya). Menjadikan Polisi bukan hanya sekadar penegak hukum, tapi juga penegak ketertiban. Sehingga kejujuran menjadi hal yang sangat prinsip untuk ditanamkan pada setiap individu polisi. Demi terciptanya ketentraman dan kedamaian di masyarakat.
Disini jiwa polisi mendapat tantangan. Polisi ya polisi. Polisi bukan pengusaha, bukan juga politisi, tapi sebagai pengabdi masyarakat.
Demi meletakkan pondasi kokoh wajah baru polisi Indonesia, tentu Presiden Joko Widodo berkepentingan untuk itu. Selain akan menjadi legenda, juga penting menjaga ‘keriuhan’ di kalangan internal Polri.
Tantangan tugas itu perlu dituntaskan Tito. Masih ada waktu yang tersisa, sebelum masa pengabdian aktif alumnus University Exeter (1993) berakhir, tahun 2022. [rmol]