Siapa Pencari Keuntungan Perceraian Indonesia–Papua?

Oleh: Varhan Abdul Aziz*

YANG sudah menikah, punya istri cantik, pasti akan menjaga istrinya baik–baik. Karena kalau tidak dijaga, diluar banyak orang yang siap menjaganya. Kalau ada rumah tangga yang baik–baik saja, tiba–tiba geger, karena ada pihak ketiga yang tampan, membujuk sang istri untuk berpisah, lalu jalan dengan dirinya.

Bacaan Lainnya

Pasti sang suami tidak terima dan akan mempertahankan Istri tercintanya. Karena sang suami yang telah selama ini menjaga, menafkahi, merawat dan mencintai sang istri, tidak rela Istri sah dan halal-nya direbut oleh orang tidak bertanggungjawab yang hanya mencari keuntungan sesaat.

Begitulah analogi romansa rumah tangga Indonesia dan Papua. Indonesia yang sedang diuji kesetiaan cintanya. Ikatan cinta NKRI pada Papua terjalin resmi pada tanggal 1 Mei 1963. Indonesia menunjukan kesungguhan memiliki Papua dengan harga yang mahal, dengan perjuangan, darah dan nyawa.

Penerjunan Airborne Trikora Terbesar di Hutan Merauke, Pertempuran Laut Aru, juga Operasi Amfibi terbesar di Indonesia, Operasi Jaya Wijaya. Betapa untuk mendapatkan Papua, ratusan nyawa lepas dari jasadnya di hutan belantara, rawa–rawa papua, pesisir pantai pertempuran, sampai di tengah lautan.

Cinta ini bukan hanya sepihak, NKRI dan Papua saling mencintai. Hasil Penentuan Pendapat Rakyat/PAPERA (referendum) tahun 1969, menyatakan rakyat Irian (nama sebelumnya) menginginkan hidup bersama Merah Putih di dada. Pahlawan nasional Papua Frans Kaisiepo adalah yang mengusulkan pergantian nama dari New Guenea menjadi Irian, dengan makna ‘Tanah yang Panas’, namun nama ini juga dijadikan sebuah akronim. Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Para Pahlawan, Tetua adat dan generasi Papua terdahulu, telah sepakat menguatkan cintanya kepada NKRI dengan penuh kebanggaan dan kebulatan hati.

Berkali–kali kesucian cinta ini diuji , berdasarkan catatan Wikipedia, sejak tahun 1968–1998, lebih dari 20 kali konflik terjadi di Papua. Hal ini karena adanya pihak ketiga yang tidak menginginkan keutuhan kasih NKRI pada Papua terus terjalin. Adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM), residu dari peninggalan Belanda di masa lampau. Kala mereka masih setengah hati melepas Papua pada NKRI.

Hari ini Belanda sudah mengikhlaskan Papua sepenuhnya, namun OPM masih tetap menurunkan doktrin perpecahan untuk melepaskan Tanah Papua. Tujuan awal OPM adalah pembentukan Negara Boneka Papua untuk Belanda. Hari ini tujuan tersebut menjadi disorientasi dan penuh dengan ketidakjelasan tujuan.

Kenapa mereka masih ada dan bertahan? Karena mereka masih memiliki bandar–bandar. Para bohir yang siap mensuplai kebutuhan ekonomi ditukar dengan intrik politis yang menjijikkan karena darah Rakyat Indonesia tercecer disana. Pemodal ini bukanlah kelas kacangan, karena merebut Papua membutuhkan biaya besar! Sebagai pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland, penguasaan pada Papua memberikan saluran syahwat kekuasaan yang begitu nikmat.

Papua adalah Wanita cantik milik Indonesia yang sudah dijaga sebaik mungkin puluhan tahun lamanya, dengan biaya, pengorbanan dan keikhlasan. Namun dengan seenaknya, pihak lain yang tidak berhak ingin merebut paksa dengan muslihat.

Gaya okupasi suatu negara dengan sistim kolonialisme dan penaklukan perang bersenjata oleh negara lain, tidak lagi sesuai dengan perkembangan pemikiran politik dunia modern. Perang memiliki konsekuensi besar, biaya, nyawa, stabilitas politik, sampai potensi kekalahan dan kebangkrutan. Era lama agresi militer tergantikan dengan era proxy war dan perang asimetris. Proxy war menempatkan tangan pihak lain, sebagai anjing peliharaan untuk dijadikan kambing hitam dalam setiap pertanggungjawaban aksi.

Sedangkan si pemilik uang, mengendalikan dalam senyuman di ribuan kilometer jauhnya tanpa rasa bersalah. Sistem MLM (multi leve marketing) berlaku, yang mendapat keuntungan terbesar adalah mereka yang berhubungan langsung dengan si Bankir, lalu turun suplai ke panglima perang, para perwira pergerakan, komandan gerilya, kepala tim, hingga prajurit yang dihargai murah untuk nyawa sekali pakai yang gampang digantikan dengan nyawa lainya. Dan yang paling rugi adalah rakyat jelata yang tidak paham tujuan, hingga siap menjadi martir dengan harga yang gratis untuk satu maksud yang salah.

Modal besar yang mereka gelontorkan tidak akan dikeluarkan tanpa ukuran potensi untung. Bagi mereka, perang adalah bisnis nyawa yang menghasilkan materi kekuasaan. Kita tahu Papua kaya akan emasnya, uraniumnya, hutannya, floranya, kekayaan alamnya. Itulah margin besar yang harganya ribuan kali lipat dari modal yang mereka keluarkan. Seperti halnya perusahaan, investasi berdarah yang di tanam, harus memiliki revenue semakin cepat semakin baik. Namun NKRI berhasil mempertahankan cintanya pada Papua. Bukan karena harga dan angka, tapi karena sejengkal tanah Indonesia adalah hak mutlak seluruh rakyat, warisan untuk anak cucu kita yang dipinjam dari perjuangan para leluhur pahlawan.

BBM Satu harga, adalah satu hal konyol yang merugikan, namun kecintaan NKRI menjadikan harga yang layak untuk dipersembahkan kepada Papua. Jalan trans papua dibangun, jembatan Holtekamp, keistimewaan otonomi khusus daerah Papua, hingga hak–hak pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan dan pangan yang diberikan dengan upaya terbaik dari Pemerintah NKRI kepada rakyat Papua. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kala pernah menyampaikan, Freeport hanya memberi royalti sekitar 10 triliun pada 2017, pemerintah RI mendapatkan pemasukan dari Papua sekitar 20–25 T=triliun, namun yang diberikan kepada Papua setiap tahunya lebih dari 100 Triliun!

(Banjarmasin Tribunews 2018).

Pos terkait