Jebakan Personalisasi Partai Politik

OLEH: YUDHI HERTANTO
GESTUR tidak bersalaman petinggi partai politik itu tampil di layar kaca. Publik melakukan penilaian soal disharmoni relasi partai koalisi. Arah politik partai menjadi bagian dari personalisasi gerak-gerik para ketua partai sebagai tokoh utama.

Para pembesar partai politik, merupakan aktor penting kehidupan sebuah organisasi kepartaian. Terlebih dalam memandang budaya politik di Indonesia. Hubungan patron-klien menjadi model keterkaitan antara ketua-ketua partai dengan para anggotanya.

Bacaan Lainnya

Proses pembentukan partai politik di tanah air pascareformasi memang kerap kali diinisiasi oleh seorang tokoh maupun figur yang berperan sentral. Tidak hanya itu, sang aktor pun memiliki ruang dominasi di dalam sistem kepartaian tersebut.

Maka tidak salah, bila penilaian publik tentang relasi antarpartai, dicerminkan melalui gestur para petinggi partai. Situasi ini menghadirkan apa yang disebut sebagai personalisasi partai politik.

Pada tahap awal pembentukan partai, peran personal tokoh kerap muncul. Harus diimbangi dengan kemampuan edukasi, rekrutmen, dan pergantian peran di dalam organisasi setelahnya.

Kegagalan Rotasi Tokoh
Kehadiran partai-partai yang berkontestasi sejak era pemilu pascareformasi 1999, menghadirkan fenomena ketokohan yang menjadi episentrum dinamis sebuah partai. Termasuk di dalamnya memainkan peran sebagai inisiator, pendiri bahkan menjadi ketua partai itu sendiri.

Situasi yang terus berkembang, bila tidak diimbangi dengan mekanisme demokratisasi internal partai, maka akan kesulitan dalam melakukan suksesi serta regenerasi kepemimpinan partai. Dengan begitu, skema penunjukan secara aklamasi untuk kembali menjadi ketua maupun pemimpin partai menjadi fenomena ritual dalam setiap kongres. (*)

Pos terkait