Kumbanews.com – Dua kali dalam dua kampanye di periode yang berbeda, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai angka 7%. Pertama, saat kampanye pilpres 2014 silam, Jokowi pernah berjanji pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7%.
Kedua, saat melakukan kampanye pilpres 2019, Presiden Jokowi juga menargetkan angka pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6%-7% di periode keduanya bersama KH Ma’ruf Amin. Namun, janji atau target tersebut belum tercapai hingga saat ini.
Sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, pertumbuhan ekonomi hanya berkutat pada angka 5 persen. Bahkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2019 sebesar 5,05% secara year on year (yoy), melemah dibanding kuartal I 2019 sebesar 5,07%.
Jokowi mengakui sejumlah hal membuat angka pertumbuhan ekonomi sulit digenjot. “Beratnya, pertumbuhan ekonomi global terus turun, bolak-balik direvisi. Dalam kondisi seperti saat ini, semua negara memproteksi diri untuk kepentingan masing-masing,” kata Jokowi, beberapa waktu lalu.
Saat negeri ini berjuang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, negara tetangga yang sempat tertinggal jauh justru menyusul secara cepat. Siapa yang tidak akrab dengan perang Vietnam vs Amerika Serikat yang berlangsung hingga tahun 1975, kini negara tetangga itu justru bisa melompat ekonominya secara pesat.
Beberapa ekonom dari lembaga global telah memprediksi kontradiksi yang jelas. Saat ekonomi Indonesia diprediksi melambat, ekonomi Singapura berada di jurang resesi, sebaliknya justru ekonomi Vietnam terus melonjak pesat. Dikutip dari Bloomberg, bank investasi asal AS, Citigroup, memprediksi pertumbuhan ekonomi Vietnam sepanjang tahun 2019 melejit hingga 6,9%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya 6,7%. Hal ini didukung dengan kian solidnya performa perekonomian Vietnam di kuartal IV berjalan ini.
Sementara analis Maybank Kim Eng Research memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Vietnam bisa mencapai 7% tahun ini. Ekonom Maybank Linda Liu dan Chua Hak Bin mengatakan, meningkatnya pertumbuhan penanaman modal langsung (FDI) serta permintaan domestik yang kuat, seperti yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penjualan ritel, diprediksi akan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Vietnam hingga akhir tahun dan awal 2020 mendatang.
Kontradiksi janji Presiden terpilih Jokowi dengan prospek ekonomi Vietnam yang pernah ‘terbelakang’ di ASEAN mestinya menjadi pelajaran berharga di negeri ini. Sejumlah ekonom menilai janji Jokowi soal ekonomi yang tumbuh 7% belum terwujud karena tim ekonomi di kabinet yang belum solid dan berkinerja baik.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai sebagian besar menteri di tim ekonomi Kabinet Kerja memang perlu ditingkatkan kinerjanya. Menurut Huda, menteri di tim ekonomi Kabinet Kerja yang memperoleh nilai kinerja terburuk adalah Menteri BUMN. “Menteri BUMN nilainya 4 (dari skala 1 sampai 10). Alasannya, BUMN jadi tidak terkendali dan project infrastruktur banyak didapatkan oleh BUMN sehingga swasta tidak kebagian project infrastructure. Selain itu, pengelolaan BUMN sangat buruk sehingga banyak yang tertangkap tangan korupsi,” paparnya kepada indonesiainside.id, di Jakarta, Selasa (15/10).
Demikian juga dengan menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM) yang dinilai belum berkinerja baik. “Menteri ESDM nilainya hanya 4,5. Alasannya, tidak dapat mendatangkan investasi karena budaya korupsi yang kental dan profil Jonan sebagai menteri ESDM tidak pas. Akibatnya kebijakan menjadi ugal-ugalan,” paparnya.
Menko Kemaritiman, menurut Huda, juga dinilai belum berkinerja baik. “Menko Maritim nilainya 4,5. Alasannya, program tol laut tidak berjalan dengan semestinya dan Menterinya terlalu fokus dengan hal yang bukan tupoksinya seperti urusan investasi di bidang ekonomi digital,” katanya.
Huda juga menyoroti kinerja menteri koordinasi perekonomian. “Menko Perekonomian nilainya 5,5. Alasannya, tidak bertaji dan tidak menjalankan fungsi koordinasi dengan baik. Sebagai contoh koordinasi pertanian dan perdagangan yang seringkali tidak sejalan, salah satu contohnya adalah permasalahan tentang jagung,” ucapnya.
Untuk Menteri Keuangan Sri Mulyani, menurut dia, nilainya cukup baik karena mampu mengelola defisit keuangan negara. “Menteri Keuangan nilainya 6,5. Alasannya, bisa menjaga defisit keuangan sesuai ambang batas Undang-undang. Namun utang menjadi tidak terkendali dan banyak kebijakan yang pro impor seperti kebijakan PLB,” jelasnya.
Sedangkan nilai terbaik adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. “Menteri KKP nilainya 7,5. Alasannya, kebijakan untuk penenggelaman kapal sangat bagus untuk efek jera mafia perikanan dan sangat konsen terhadap kebijakan jangka panjang,” jelasnya.
Bukan hanya kinerja tim ekonomi, tantangan untuk merealisasikan janji pertumbuhan ekonomi 7% dari Presiden Jokowi terutama terkait ancaman resesi global. Bahkan, sejumlah ekonomi menilai pesimistis dengan kinerja kementerian bidang ekonomi dalam mencegah dan memitigasi resesi karena kepentingan politik.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia juga menjadi negara yang rentan. Dia menyebut, jika terimbas, situasi resesi saat ini bisa jadi lebih parah dari tahun 1998.
“Riak resesi ekonomi ini makin kompleks, makin multidimensional dibandingkan dengan resesi tahun 1998 atau krisis tahun 2008,” ujarnya di kawasan Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.
Bagi Indonesia, kata Bhima, kunci utamanya ada pada kesadaran pemerintah bahwa resesi sudah di depan pintu. “Misalnya APBN posturnya yang justru mitigasi resesi bisa dilakukan kalau belanja tepat sasaran, subsidinya jangan dipotong, iuran BPJS jangan dinaikkan. Saya kira usulan seperti ini di istana semakin lama semakin berkurang karena banyak kepentingan politik,” katanya.[ns]