Kumbanews.com – Situasi perpolitikan nasional terguncang saat etua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Sirodj melontarkan ritikan tajam terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo di berbagai forum.
Karena ormas Islam terbesar yang selama ini dianggap pendukung pemerintah, maka perubahan posisi NU menjadi berhadapan dengan rezim yang sedang diterpa berbagai skandal korupsi ini menimbulkan guncangan yang cukup signifikan.
Memang ada juga yang curiga langkah Kiai Said ini karena tidak masuk dalam jajaran kabinet. Tapi pandangan ini ditepis Adhie M. Massardi. Jelas Adhie, NU sedang menjalani takdirnya sebagai penyelamat bangsa.
“NU itu organisasi besar keagamaan yang berbasis moral, dan dikontrol sepenuhnya oleh para kiai berpengaruh di negeri ini, jadi tidak mungkin bisa dipakai untuk kepentingan (pragmatis) golongan, apalagi kepentingan pribadi,” kata Adhie, Jumat (17/1) seperti melansir rmol.id.
“Nahdlatul Ulama yang sekarang dipimpin duet Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA (tanfidziyah) dan ulama Jawa Timur kharismatik KH. Miftachul Akhyar sabagai Rais Aam sedang menjalankan tugas sejarahnya meluruskan kembali jalannya bangsa ini dalam berbangsa dan bernegara,” tutur aktivis anti-korupsi yang pernah jadi jubir KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat Presiden RI (2000-2001) hingga beliau wafat (2009).
Napaki Jejak Sejarah
Adhie bisa memahami jika banyak orang salah membaca gerak langkah NU, karena memang tidak banyak juga yang mau melihat (dan mengakui) jejak sejarah yang ditorehkan kaum Nahdliyin dalam bangunan kebangsaan NKRI.
Pada zaman kolonial (Belanda), misalnya, meskipun secara organisasi tampaknya tidak melakukan perlawanan, tapi di medan perjuangan kemerdekaan, kaum Nahdliyin banyak yang mempertaruhkan jiwa raganya demi berdirinya NKRI.
Dalam sejarah Indonesia modern, peran politik kebangsaan NU makin jelas. Pada tahun 1960-an, untuk membendung kekuatan komunis (PKI) yang kian mendominasi kekuasaan Presiden Soekarno, NU di bawah duet kepemimpinan Rais Aam KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Dr. KH. Idham Chalid (Tanfidziyah), masuk kedalam poros Nasakom (nasionalis, agama, komunis). NU mewakili unsur agama.
Ketika itu, karena tidak memahami strategi NU, banyak politisi mencibir langkah politik “kaoem saroengan” ini. Tapi sejarah membuktikan, kekuatan paling militan dalam melawan PKI yang berlindung di balik kekuasaan Soekarno adalah kaum Nahdliyin.
Begitu juga di era Soeharto, saat PBNU dipimpin KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan menyatakan mendukung sepenuhnya gagasan politik “asas tunggal” ala orde baru. Banyak yang menuduh NU menjalankan politik pragmatis, pendompleng kekuasaan.
Tetapi sejarah kemudian membuktikan. Duet kepemimpinan KH. Mohammad Ilyas Ruhiat (Rais Aam) dan Gus Dur menempatkan NU di posisi paling berhadapan dengan rezim Soeharto.
Adhie mengaku sekarang ini sedang melihat NU menapaki takdir sejarahnya, meluruskan jalannya politik kebangsaan NKRI yang sedang dirundung banyak masalah.
Mulai dari korupsi yang merata ke semua strata, terutama di ranah BUMN, hingga runtuhnya kepercayaan (distrust) rakyat terhadap lembaga-lembaga negara.
“Dan duet KH. Miftachul Akhyar dan Kiai Said ini mengingatkan saya pada duet klasik Kiai Wahab Chasbullah-Idham Chalid yang berhadapan dengan PKI dan Soekarno pada pertengahan 1960-an, serta duet Kiai Ilyas Ruhiat-Gus Dur pada era orde baru Soeharto,” kata Adhie.
Menurut koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, dengan melihat jejak sejarah perjalanan perjuangan kebangsaan NU ini, kita bisa melihat “politik banting stir”, dari semua tampak mendukung kemudian berhadapan, adalah jurus pamungkas Nahdlatul Ulama.
Karena para ulama NU itu terikat pada kaidah fiqih “Tasharruful imam `alar ra`iyyah manuthun bil maslahah” (kebijakan seorang pemimpin itu harus terkait langsung dengan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya).
“Jadi kalau kebijakan-kebijakan pemimpin (pemerintah) sudah tidak sesuai dengan kaidah kepemimpinan dalam fiqih, ya menjadi tugas para ulama untuk mengkritisinya,” demikian Adhie Massardi.[ljc]