Oleh: Gede Sandra*
POSISI (akumulasi) utang luar negeri (external debt) Indonesia sejak akhir masa Suharto terus mengalami kenaikan, terkecuali pada masa BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sempat mengalami penurunan. Meskipun memang, posisi utang luar negeri Pemerintah Habibie tetap naik.
Pada masa Gus Dur (1999-2001), posisi utang luar negeri mengalami penurunan sebesar USD 17,6 miliar, yang disumbang penurunan posisi pemerintah sebesar USD 6,3 miliar dan penurunan posisi swasta-BUMN sebesar USD 11,3 miliar.
Yang sangat menarik, adalah ternyata hanya dalam 5,5 tahun pemerintahan Jokowi sudah bisa mengalahkan 10 tahun pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam hal kenaikan posisi utang pemerintah. Artinya lajuĀ kenaikan posisi utang luar negeri pemerintah pada era Jokowi adalah yang tertinggi sepanjang sejarah.
Semakin agresif menarik utang luar negeri seharusnya diimbangin dengan produktivitas perekonomian. Masalahnya adalah bila laju utang luar negeri terus bertambah, tapi pertumbuhan ekonomi stagnan.
Kecuali era Gus Dur yang posisi utang luar negerinya bisa turun 3,2 miliar per tahun, seluruh rezim pemerintahan memerlukan kenaikan posisi utang luar negeri pemerintah untuk memompa pertumbuhan ekonomi. Yang terjadi di era Gus Dur adalah suatu model ekonomi yang tidak mainstream, tetapi malah paling menguntungkan untuk Bangsa. Belum pernah terjadi dalam sejarah: pertumbuhan ekonomi naik dari minus ke positif dengan sambal mengurangi utang.
Bila diperhatikan tabel di atas, yang paling tidak produktif bila ditinjau dari laju posisi utang luar negeri (ULN) adalah pemerintahan Jokowi. Laju posisi ULN pemerintah naik sebesar USD 14,62 miliar pertahun, tapi hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di 5 persen selama 5 tahun pemerintahannya.[***]
*Penulis adalah peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR).