Kumbanews.com – China dilaporkan sedang membangun tentara generasi mendatang dengan kemampuan ala tokoh-tokoh pahlawan super di buku-buku komik.
Setidaknya itulah analisis badan intelijen Amerika Serikat (AS).
Tapi apakah tentara super — dengan kemampuan di atas manusia biasa seperti kita — memang bisa diciptakan?
Kembali ke China, mantan direktur badan intelijen nasional (DNI), John Ratcliffe, secara terang-terangan menuduh China sedang “membangun tentara dengan kemampuan di atas manusia normal”.
“China melakukan percobaan terhadap anggota Tentara Pembebasan Rakyat dengan harapan mengembangkan tentara dengan kemampuan biologis yang jauh lebih andal. Dalam ambisi ini, Beijing tak mempedulikan hal-hal yang bersifat etis,” kata Ratcliffe dalam tulisan di The Wall Street Journal.
Pemerintah di Beijing menggambarkan tulisan Ratcliffe sebagai “tak lebih dari kebohongan semata”.
Sebenarnya tak hanya China yang punya ambisi memiliki tentara super.
Pada 2014, Presiden Amerika Serikat (AS) ketika itu, Barack Obama, kepada para wartawan mengatakan, “Yang akan saya umumkan adalah, kami akan membangun Iron Man.”
Hadirin tertawa, padahal Obama sedang tidak bercanda.
AS pun sudah memulai mengembangkan seragam pelindung canggih bagi personel militer yang disebut Tactical Assault Light Operator Suit, disingkat Talos.
Promosi video memperlihatkan baju Talos ini mementalkan peluru yang ditembakkan oleh musuh.
Tapi proyek Iron Man tak berlanjut. Setelah lima tahun, ambisi membuat seragam antipeluru dihentikan.
Meski demikian, para pengembang masih berharap komponen-komponen seragam yang bisa mementalkan peluru ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tempur.
Seragam hanya satu dari sekian banyak aspek kemiliteran yang menjadi objek penelitian dan pengembangan.
Di dunia militer — sama halnya dengan bidang-bidang lain — orang berusaha untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teknologi agar bisa lebih maju atau unggul.
Dan praktik ini sudah dimulai sejak zaman dulu.
Di era modern, unggul tak selalu terkait dengan persenjataan, tapi juga mengubah individu agar memiliki fitur tentara unggulan atau tentara super.
Pada 2017, Presiden Rusia Vladimir Putin, memperingatkan bahwa “manusia mungkin tidak lama lagi akan membuat sesuatu yang jauh lebih buruk dari bom nuklir”.
Putin mengatakan manusia “bisa membangun tentara yang bertempur tanpa rasa takut, tanpa penyesalan dan tanpa merasakan sakit”.
Antara ambisi dan realitas
Tentu banyak yang berambisi punya tentara super, tentara yang tahan sakit, tahan suhu dingin atau tetap bugar meski tak tidur.
Tapi, seperti terlihat dalam proyek Iron Man yang dikembangkan AS, kendala praktis sering kali membuat program militer tak bisa diwujudkan sesuai harapan.
Pada 2019, terbit tulisan akademis soal militer China “yang aktif mengeksplorasi teknik modifikasi genetika untuk membangun tentara super”.
Disebutkan pula China “mengeksplorasi kemungkinan mengembangkan seragam canggih dan kolaborasi antara manusia dan mesin”.
Namun, salah seorang penulis artikel tersebut, Elsa Kania, juga mengungkap hal lain.
“Memang penting mendiskusikan mengapa militer China membahas dan ingin mewujudkan ambisi mereka, tapi penting juga untuk mengakui kesenjangan antara ambisi dan kemampuan teknologi mereka secara riil,” kata Kania.
Ia menjelaskan militer di seluruh dunia punya ketertarikan yang besar soal kemungkinan manusia membangun tentara super.
Namun pada akhirnya semua tersadarkan oleh kenyataan bahwa sains juga punya keterbatasan, yang membuat ambisi membangun tentara super, tak bisa diwujudkan.
Dr Helen O’Neill, pakar genetika molekuler dari University College London, Inggris, berpendapat pertanyaanya bukan soal apakah pengembangangan tentara super dimungkinkan atau tidak, tapi lebih ke apakah para saintis mau menggunakan teknologi yang tersedia.
Ia mengatakan teknologi yang dimaksud, penyuntingan genom dan kombinasinya dengan metode reproduksi berbantu (assisted reproduction), sudah semakin sering diterapkan di bidang transgenik dan pertanian.
“Namun untuk saat ini penerapannya pada manusia masih dianggap tidak etis,” kata O’Neill.
Pada 2018, saintis China, He Jiankui, mengeluarkan pengakuan mengejutkan bahwa “ia berhasil mengubah DNA pada embrio dua gadis kembar agar mereka tak tertular HIV”.
Pengakuannya memicu kemarahan.
Penyuntingan DNA dilarang di banyak negara, termasuk China. Biasanya dibolehkan dalam situasi khusus dan hanya dibatasi untuk embrio hasil bayi tabung yang gagal. Masih ada persyaratan lain, embrio tersebut dihancurkan dan tak dipakai untuk membuat bayi.
He Jiankui membela diri namun ia kemudian dipenjara karena melanggar larangan pemerintah.
Pengakuan He Jiankui memicu perdebatan. Ada yang setuju dan tentu saja ada yang tidak.
Ada yang berpandangan, apa yang dilakukan He Jiankui, selain melindungi gadis kembar dari HIV, tekniknya juga bisa meningkatkan kemampuan kognitif.
He Jiankui menggunakan teknologi CRISPR untuk menciptakan gadis kembar yang ia katakan “mengalami penyuntingan DNA agar tak terkena HIV”. Metode CRISPR ini menjanjikan bisa menyembuhkan penyakit bawaan.
Tapi apakah metode ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan militer? Apakah penyuntingan genetika bisa dipakai untuk membangun tentara dengan otot lebih kuat atau bisa bernafas normal di ketinggian?
Peneliti genetika di Francis Crick Institute, London, Christophe Galichet mengatakan dalam praktiknya tidak akan mudah.
Ia mengatakan ada batasan-batasan. Penyuntingan gen, katanya, mungkin bisa membuat otot seseorang lebih kuat, tapi juga bisa menyebabkan munculnya kanker pada diri individu tersebut.
Ia juga mengatakan efek perubahan galur gen akan diturunkan ke generasi berikutnya.
O’Neill mengatakan China sudah melangkah jauh di bidang penelitian genetika dan mungkin saja negara-negara lain akan segera tertinggal.
Ia berpendapat banyak pihak yang terlalu fokus dengan debat tentang etika, bukan soal realita perkembangan di lapangan.
“Mestinya kita lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga soal risiko dan penerapan teknologi … dengan begitu kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik. [Cepat atau lambat] orang akan menggunakan teknologi ini,” kata O’Neill.
“Hanya dengan terus melakukan penelitian kita akan paham di titik mana (teknologi) ini bisa merugikan,” katanya. (*)