PARA Pengkritik akan selalu dimusuhi, dijauhi dan dicemohkan. Anehnya hasil kritikan mereka dijalankan, dilaksanakan dan kemudian mereka yang terpukul oleh lontaran kritik tak pernah tahu berterima kasih. Bahkan dengan kritikan itu mereka bisa meraup materi dan kenaikan derajat, karena dinilai telah berbuat baik, bekerja sempurna dan berprestasi.
Menurut batasannya, kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti “dapat didiskusikan”. Dengan demikian bisa disimpulkan, pribadi yang anti kritik adalah mereka yang tidak siap berdiskusi.
Kritik atau kritikan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya; kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sebagian pelontar kritik, menggunakan pilihan kata yang ‘manis’ atau eufemisme, sebagian menggunakan kata yang jelas dan tegas pada inti masalah, karena daya serap setiap manusia berbeda-beda.
Tanpa kritik pribadi maupun lembaga selalu merasa benar menjalankan fungsi dan perannya. Jika itu menyangkut diri pribadi mungkin saja tidak terlalu bermasalah, lain halnya jika pribadi itu bagian dari domain publik. Juga tidak bersiap jika tidak menyandang pelayan publik atau pejabat publik. Kritik akan bergema bilamana yang bersangkutan adalah pejabat publik yang berkuasa atas anggaran publik.
Kesombongan terbesar dan mencelakai adalah ketika dalam status pelayan publik, melahirkan banyak kebijakan publik, diamanahkan melayani, digaji besar dengan dana publik, kemudian bersikap benar sendiri, sewenang-wenang, arogan dan tidak mengindahkan keinginan dan harapan publik. Hampir bisa dipastikan pejabat semisal ini berkategori sakit jiwa, merasa diri benar dan tidak pernah bercermin akan tampilan kinerjanya.
Pujian dan kritik sesungguhnya dua sisi dari mata uang yang sama. Nilainya tak pernah berubah dan hanya akan bermanfaat bagi pemegangnya. Tipe pejabat publik yang senang ‘bersolek’ untuk selalu terlihat ‘cantik’ dan sempurna, hanya mengenal satu sisi mata uang itu, yakni pencitraan. Sisi lain yang tak pernah ingin dilihatnya adalah kritik, yang dengannya kesempurnaan juga bisa diraih, pencitraan bisa diciptakan, dan kualitas diri maupun kerja dapat terwujud.
Di negeri ini amat sangat banyak pribadi maupun lembaga yang punya karakter buruk anti kritik, dan gemar mengumbar citra. Dari layanan publik terkecil hingga terbesar. Dari layanan rumah sakit yang isinya orang gila, hingga lembaga pendidikan yang isinya konon orang terpelajar dan bergelar kehormatan maha guru, semua tidak sepi dari kerja-kerja pencitraan, sangat sedikit mengandung substansi. Belum lagi kalau anggaran negara yang digunakannya menjulang dalam angka ratusan miliar rupiah.
Mungkin orang yang paling pantas dicela ketika menghadapi kritik ialah orang yang memberikannya. Seperti dijelaskan dengan cermat oleh akademisi Douglas Stone dan Sheila Heen dalam buku mereka “Thanks for the Feedback,” Ketika kami memberi masukan, kita menyadari si penerima tidak pandai menerimanya. Ketika kami menerima masukan, kami menyadari si pemberi masukan tidak pandai memberikannya, begitu urainya.
Jadi setinggi apapun pangkat, jabatan, gelar akademik, harta kekayaan, juga kedudukan di masyarakat, belajarlah melihat sisi sebelah yang bernama kritik. Dengannya pelajaran tersembunyi akan dilihat, bukan dengan sanjungan yang sesungguhnya lebih sebagai racun yang mematikan ketimbang obat yang menyembuhkan.
Antang, 18 Juni 2021
Zulkarnain Hamson