Ilustrasi
KOORDINATOR Divisi Kampanye Indonesia Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari, dilansir kompas.com, mengungkapkan bahwa pihaknya bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil menemukan ada 49 kecurangan selama pemantauan implementasi program JKN periode Maret-Agustus 2017. ICW menilai, praktik korupsi di banyak kampus, Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. “Korupsi di perguruan tinggi bukan hal baru, ini hanya satu yang naik ke permukaan dan sepertinya tidak pernah ada perbaikan juga dari sisi pengelolaan perguruan tingginya,” Siti Juliantari dalam konferensi pers, Rabu 3 Juni 2020.
Berdasarkan catatan ICW, sektor pendidikan merupakan satu dari sepuluh sektor yang paling banyak dikorupsi pada 2015 hingga 2019 lalu dengan kerugian negara mencapai Rp41,09 miliar. Paling tidak dari 202 kasus di sektor pendidikan ada sekitar 20 kasus atau sekitar 10 persen yang terjadi di ranah PT dengan kerugian negara mencapai Rp81,9 miliar. Ada berbagai modus yang kerap terjadi dalam pengelolaan kampus, antara lain korupsi pengadaan barang dan jasa, korupsi dana hibah, dana penelitian, hingga beasiswa. Praktik suap juga rawan terjadi di PT dalam hal pemilihan dekan dan rektor serta pemberian akreditasi.
Dampaknya yang memprihatinkan adalah instutisi pendidikan yang harusnya menanamkan mengajarkan nilai-nilai transparansi, kejujuran, keadilan, itu ternyata tidak mencerminkan hal itu. Dampak korupsi di PT tidak hanya sebatas kerugian negara melainkan juga memperburuk kualitas pendidikan serta dapat menutup akses pendidikan bagi masyarakat. Yerbaru adalah KPK bersama tim Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap DAN, Kepala Bagian Kepegawaian UNJ, Rabu 20 Mei 2020.
Ani Cahyadi, akademisi Universitas Islam Negeri Antasari, menuliskan “Pendidikan tampaknya bukan lagi menjadi tanggungjawab pengembang ilmu pendidikan formal, tetapi milik masyarakat yang membutuhkan. Pendidikan menjadi gerakan membangun sebuah peradaban masyarakat. Pendidikan di Indonesia dapat dibangun dalam kerangka mendukung lahirnya sebuah peradaban baru (manusia masa depan). Puncak dari jenjang itu berakhir di Perguruan Tinggi (PT). Pertanyaan yang mengikutinya, sudahkan PT menjadi pusat peradaban?.
Memakai catatan Wikipedia, batasan PT adalah satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Peserta didiknya disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidiknya disebut dosen. Tujuan dibentuknya PT menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012, pada Pasal 1 poin ke-2, tertulis: “Tujuan perguruan tinggi ialah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Ketika Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dijabat Mohamad Nasir, saat memberikan Kuliah Umum di kampus Universitas Borneo Tarakan (UBT), Kalimantan Utara. Menteri Mohamad Nasir menyebutkan di Indonesia tercatat 4.498 PT, dengan 25.548 program studi. Menurunya jumlah itu lebih banyak, dibandingkan jumlah perguruan tinggi di China yang hanya 2.825 PT. Berdasarkan data Dirjen Dikti, dari hasil analisis terhadap data-data dari 2.136 PT yang tersedia diperoleh hasil klasterisasi PT tahun 2020 yang terdiri dari 5 (lima) klaster dengan komposisi klaster 1) 15 PT, klaster 2) 34 PT, klaster 3) 97 PT, klaster 4) 400 PT, dan klaster 5) 1,590 PT.
Jumlah mahasiswa di Indonesia pada 2019 sebanyak 7.3 juta. Jumlah itu naik 5,01 persen dibandingkan tahun 2018. Itulah mahasiswa yang terdaftar di PT Negeri dan PT Swasta masing-masing 2,9 juta dan 4,4 juta berdasarkan data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Kemendikbud. Dilansir dari website kemdikbud jumlah dosen di Indonesia, total 296.040. Meliputi Laki-laki sebanyak 166.979 dan Perempuan sebanyak 129.062. Sedangkan jenjang pendidikan S1 ada 15,38%, S2 ada 70,12% dan S3 ada 14,5%. Data diambil pada tanggal 10 Juni 2020.
Dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), diperoleh data anggaran pendidikan di APBN 2020 yakni sebesar Rp508,1 triliun atau meningkat 6,2 persen dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp478,4 triliun. Kenaikan anggaran pendidikan salah satunya karena adanya program Kartu Prakerja. Program pelatihan dan pengentasan angka pengangguran, salah satu janji kampanye Presiden RI Joko Widodo. Anggaran pendidikan memakan porsi sekitar 20 persen dari total APBN. Pada APBN tahun 2018, anggaran pendidikan tercatat Rp431,7 triliun, tahun 2017 Rp406,1 triliun dan 2016 sebesar Rp370 triliun.
Anggaran itu dibagi ke sejumlah kementerian/lembaga (K/L). Terdapat dua instansi dengan alokasi anggaran pendidikan terbesar yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama. Rinciannya, dana pendidikan di pemerintah pusat yaitu sebesar Rp172,2 triliun, berikut anggaran pendidikan yang ditransfer ke pemerintah daerah sebesar Rp306,9 triliun, dan sisanya berupa pembiayaan Rp29 triliun. Jika dirinci penggunaannya, Rp284,1 miliar untuk riset LPDP, beasiswa S2/S3 LPDP sebesar Rp1,8 triliun, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah Rp6,7 triliun, dan KIP SD/SMP/SMA sederajat sebesar Rp11 triliun. Untuk dana BOP PAUD Rp4,5 triliun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Rp64 triliun, Sapras PAUD Rp307,6 miliar.
Dilansir dari kataberita.com dengan Garis Kemiskinan Masyarakat (GKM) Indonesia di angka Rp2.216.714/rumah tangga/bulan saja penduduk miskin di Tanah Air mencapai 10,19% atau setara dengan 27,55 juta jiwa. Bagaimana jika kebutuhan minimumnya naik? Tentu saja daya beli akan tergerus dan jumlah masyarakat miskin di dalam negeri akan terancam naik. Belum lagi kita mampu mengurus jutaan orang miskin yang sulit mengakses pendidikan tinggi, kini kita harus berhadapan dengan lahirnya generasi miskin baru.
Makassar, 20 Juni 2021
Zulkarnain Hamson