Kumbanews.com – Lembaga binaan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) resmi menyurati lembaga rasuah agar segera menyupervisi 10 kasus dugaan korupsi mega proyek di Sulsel.
Hamka, pegiat ACC Sulawesi mengatakan upaya pihaknya menyurati KPK meminta dilakukan supervisi terhadap 10 kasus dugaan korupsi mega proyek tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil monitoring lapangan yang telah dilakukan pihaknya.
Dimana ACC Sulawesi sebagai lembaga konsern di bidang pemberantasan korupsi memandang perlu mengingatkan penegak hukum agar dapat konsisten dan profesional dalam mengusut perkara dugaan korupsi. Khususnya yang terjadi di Sulsel.
“Apalagi kasus dugaan suap proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare yang belakangan cukup menggemparkan namun sepertinya penanganannya berlarut-larut tanpa ada kepastian hukum. Kami khawatir proses penyelidikannya tidak berjalan objektif sehingga kami desak KPK lakukan supervisi terhadap kasus tersebut,” terang Hamka, Kamis 27 Juni 2019.
Ia mengatakan ada 10 total kasus dugaan korupsi mega proyek yang diminta pihaknya untuk disupervisi oleh KPK yakni dugaan korupsi pengadaan obat, alat dan bahan habis pakai pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Andi Makkasau, Kota Parepare tahun anggaran 2016-2017 yang ditaksir telah merugikan keuangan negara senilai Rp 2,2 miliar.
Dimana kasus yang ditangani oleh Kejari Pare-Pare tersebut telah menetapkan mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pare-Pare, Muh. Yamin sebagai tersangka dan hingga saat ini penyidikannya belum dinyatakan rampung.
Kasus kedua, yakni kasus dugaan korupsi pembangunan laboratorium Fakultas Teknik Universitas Negeri
Makassar (FT UNM) yang telah menelan kerugian negara sebesar Rp 4,2 miliar.
Dimana kasus yang sejak awal ditangani oleh Polda Sulsel tersebut, sebelumnya telah disupervisi oleh KPK. Namun hasil supervisi yang dimaksud diabaikan begitu saja oleh pihak Polda Sulsel.
Dalam supervisinya terhadap kasus laboratorium UNM itu, KPK dengan tegas merekomendasikan penyidik Polda Sulsel agar menyeret pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus itu. Diantaranya ada mantan Rektor UNM Prof Dr Arismunandar, Direktur Utama PT Asta Kencana Arsimetama, Unggul Roseno, mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Ismail dan pejabat penandatanganan surat perintah membayar (SPM) Nurdiana.
Penyidik Polda Sulsel hanya menyeret tiga orang tersangka yang kemudian telah dijatuhi hukuman pidana beragam oleh Pengadilan Negeri Tipikor Makassar.
Mereka masing-masing Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Prof Mulyadi, Direktur Utama PT Jasa Bhakti Nusantara selaku pelaksana pekerjaan Edy Rachmat Widianto, dan Team leader PT Asta Kencana Arsimetama, Yauri Razak selaku konsultan manajemen konstruksi.
Proyek yang diketahui menelan anggaran APBN 2015 sebesar Rp 34,9 miliar lebih itu, diketahui telah dibayarkan 100 persen meski pengerjaannya belum rampung dan tidak sesuai kontrak. Sehingga atas kejadian itu, negara dinyatakan merugi sebesar Rp 4,2 miliar sesuai dari hasil perhitungan BPKP.
Ketiga ada kasus dugaan korupsi Dana Intensif Daerah (DID) di Kabupaten Lutra tahun anggaran 2011. Dimana dalam kasus tersebut telah menjerat dua orang tersangka dan telah dijatuhi hukuman pidana. Mereka masing-masing Agung dan Andi Sarimin.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar menyatakan perbuatan keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana. Agung di jatuhi hukuman 2 tahun 1 bulan penjara dan denda Rp 50 Juta subsider 2 bulan kurungan. Sedangkan Andi Sariming di vonis 1 tahun 6 bulan penjara.
Meski demikian, para penggiat anti korupsi di Sulsel berharap penyidikan perkara korupsi DID Lutra tidak berhenti di situ. Pasalnya dalam fakta persidangan perkara tersebut telah membeberkan keterlibatan pihak lain yang dinilai ikut andil dalam proyek yang merugikan negara sebesar Rp 3,7 Miliar itu.
Salah satu pihak lain yang di maksud yakni keterlibatan mantan Bupati Lutra Arifin Djunaid dan Mantan Wakil Bupati Lutra, Indah Putri Indriani.
Dalam persidangan kala itu, saksi dari BPKP Sulsel menyatakan bahwa kerugian negara dikarenakan perencanaan yang keliru yang dilakukan oleh pihak lain di luar PPK dan PA. Saat ditanyakan Hakim siapa pihak yang dimaksud, saksi BPKP Sulsel menyebut itu direncanakan oleh Mantan Bupati dan Wakil Bupati saat itu.
Tak hanya itu, fakta sidang lainnya di mana terdapat beberapa keterangan para saksi yang membeberkan keterlibatan mantan pasangan Kepala Daerah Lutra tersebut.
Ada saksi yang bernama Ronni juga dengan memperlihatkan bukti di hadapan persidangan jika terdapat dua draf dokumen rencana kegiatan terkait DID yang berbeda. Yang satu di tanda tangani Indah selaku Wakil Bupati saat itu dan satunya lagi ditanda tangani oleh Bupati yang juga di periode yang sama.
Agung, salah seorang terdakwa dalam perkara tersebut juga mengakui hal yang sama mengenai fakta persidangan yang membeberkan keterlibatan pihak lain dalam hal ini mantan Bupati Lutra Arifin Djunaid dan mantan Wakil Bupati Lutra Indah Putri Indriani.
Dalam amar putusan yang dijatuhkan Hakim kepada Agung, tertuang kalimat melakukan perbuatan pidana secara bersama-sama. Sehingga harusnya Jaksa kala itu mengejar siapa pihak yang bersama-sama dengan Agung melakukan tindak pidana yang dimaksud.
Agung membeberkan keterlibatan pasangan mantan Kepala Daerah Lutra tersebut dengan jelas dan kemudian didukung lagi oleh pemaparan saksi BPKP Sulsel dalam persidangan.
Selain keterangan terdakwa dan saksi BPKP dalam persidangan, keterlibatan pasangan Bupati dan Mantan Bupati Lutra kala itu terungkap dari beberapa dokumen diantaranya dokumen tentang harga penentuan sendiri (HPS) yang tidak ditemukan ada paraf Agung selaku PPK dan Andi Sariming selaku PA. Melainkan yang ada paraf pasangan mantan Kepala Daerah Lutra pada dokumen HPS yang dimaksud.
Terdakwa Agung juga dengan tegas mengaku telah menindak-lanjuti fakta persidangan perkara yang menjerat dirinya bersama Andi Sariming tersebut dengan melayangkan laporan resmi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga melapor terpisah ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel.
Tujuan Agung agar penyidikan perkara DID Lutra dapat berlanjut dan tidak menutupi keterlibatan mantan Bupati dan Wakil Bupati sebagai orang yang turut menikmati. Agung berharap ada kelanjutan penyidikan mengejar fakta sidang yang ada. Karena sejak awal ia menilai penyidikan perkara sangat terkesan mencoba mengaburkan pihak yang paling bertanggung-jawab.
Proyek senilai Rp 24 Miliar yang menjerat Agung dan Sarimin tersebut, diketahui bersumber dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI yang kegiatannya terbagi dalam 11 item.
Untuk kegiatan pengadaan barang masing-masing program barang dan sumber belajar virtual (PSBV) sebesar Rp 4.891.258.000. Pengadaan barang program life science untuk tingkat SMP senilai Rp 3.980.000.000, kegiatan pengadaan barang program modul eksperimen sains untuk tingkat SD senilai Rp 2.244.000.000, kegiatan pengadaan barang program modul eksperimen sains untuk tingkat SMP senilai Rp 3.374.600.000 dan kegiatan pengadaan barang program modul eksperimen sains untuk tingkat SMU senilai Rp 3.462.300.000.
Selanjutnya, kegiatan fisik di antaranya kegiatan pembangunan dan rehab SDN/SMPN/SMAN/SMKN senilai Rp 6.510.000.000, kegiatan jasa konsultasi perencanaan senilai Rp 228.000.000, kegiatan jasa konsultasi pengawasan senilai Rp 171.000.000. Lalu kegiatan pengadaan meubelair senilai Rp 1.003.000.000, kegiatan pelatihan guru senilai Rp 300.000.000, serta kegiatan administrasi pelaksanaan kegiatan senilai Rp 194.681.000.
Dalam perjalanan khusus jenis kegiatan pengadaan barang tersebut, ditemukan adanya kesalahan spesifikasi sehingga terjadi selisih harga dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 3,7 miliar. Hal itu sesuai dengan hasil perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel setelah dimintai kepolisian menghitung kerugian negara dalam proyek itu.
Kasus dugaan korupsi keempat yakni dugaan korupsi pengadaan kandang ayam di Kota Palopo. Dimana sejak ditangani Polisi pada tahun 2015, penanganan kasus pengadaan kandang ayam itu belum memberikan isyarat akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Penyidik Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel berdalih masih mendalami adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam kegiatan yang telah menelan anggaran sebesar Rp 8 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kota Palopo tersebut.
Padahal dalam data lembaga ACC Sulawesi, kasus tersebut sangat jelas. Selain dikabarkan melibatkan sejumlah publik figur di kota Palopo, hingga saat ini kegiatan tersebut tak memberikan azas manfaat kepada masyarakat kota Palopo secara luas.
Bahkan kandang ayam yang dikabarkan dibangun sebanyak 1000 unit tersebut, hingga saat ini tak diketahui sebagian besar fisiknya alias diduga fiktif.
Kasus dugaan korupsi pengadaan kandang ayam di kota Palopo itu diketahui sejak awal ditangani oleh Polres Palopo, kemudian diambil alih oleh Subdit III Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel dan hingga saat ini belum ada progres.
Proyek pengadaan kandang ayam sebanyak 1000 unit yang merupakan program Pemkot Palopo itu, diketahui pengerjaan tahap awalnya dilaksanakan pada tahun 2014 yang tersebar di Kelurahan Lebang 15 unit, Kelurahan Sampoddo 15 unit dan Kelurahan Mawa 10 unit.
Selanjutnya proyek berlanjut di tahun 2015. Dimana pihak Pemkot Palopo terus melakukan inovasi dengan harapan dapat berjalan sukses dalam pengadaan budidaya ayam kampung unggul bagi 35 Kepala Keluarga (KK) calon penerima manfaat yang masing-masing 15 KK di Kelurahan Purangi dan 20 KK di Kelurahan Sendana.
Padahal pada APBD Perubahan tahun anggaran 2014 harusnya dibangun sebanyak 342 kandang. Kemudian APBD 2015 dibangun kembali 658 Kandang sehingga totalnya 1000 unit.
Kegiatan ini kemudian diketahui bermasalah ketika awal tahun 2017. Dimana produksi ayam di kota Palopo dinilai tidak produktif secara signifikan. Sehingga sejumlah anggata DPRD Palopo kala itu, mempertanyakan sejauh mana hasil produksi pengadaan kadang ayam yang dimaksud.
Harusnya, menurut DPRD kota Palopo kala itu, melalui program pengadaan 1000 unit kandang ayam yang dimaksud, taraf ekonomi masyarakat kota Palopo utamanya sebagai penerima manfaat, tentunya juga meningkat.
Kasus dugaan korupsi yang kelima yakni dugaan korupsi proyek pengadaan dan pemasangan jaringan pipa di Kecamatan Telluwanua, Kota Palopo yang telah menelan anggaran sebesar Rp 4,6 miliar yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2016.
Meski status penanganannya sejak lama ditingkatkan ke tahap penyidikan, kasus tersebut tak pernah terdengar lagi kabar perkembangannya.
Kemudian ada kasus dugaan korupsi yang cukup menggemparkan. Yakni dugaan korupsi yang telah menjerat seorang pengusaha ternama di Makassar yang juga dikenal masyarakat kerap terlibat dalam sejumlah perkara sengketa lahan. Dia adalah Soedirjo Aliman alias Jentang.
Selama statusnya naik menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar dan disertai dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Jentang memilih buron dan hingga saat ini belum juga tertangkap.
Ia diketahui sudah memasuki tahun kedua menjadi buronan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Meski demikian, sejumlah aktifis anti korupsi di Sulsel menyayangkan sikap Kejati yang dianggap takut menyebarkan surat DPO Jentang.
Jentang dinilai berperan sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara yang terdapat di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar itu.
Penetapan dirinya sebagai tersangka telah dikuatkan oleh beberapa bukti diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa sebelumnya dalam kasus korupsi penyewaan lahan negara Buloa yang hingga saat ini perkaranya juga masih bergulir di tingkat kasasi. Ketiga terdakwa tersebut masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.
Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.
Ia diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.
Dana tersebut diduga diterima oleh Jentang melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya.
Tak hanya itu, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional di Sulsel.
Atas penetapan tersangka Jentang, Kejati Sulsel pun langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.
Jentang disangkakan dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam kasus yang menjerat Jentang ini pun mengungkap peranan pihak lain. Namun hingga saat ini Kejati dinilai setengah hati dalam mengusut secara utuh apalagi diharap dapat menyeret seluruh pihak yang jelas terlibat dalam kasus yang menyeret Jentang itu.
Beberapa pihak lain yang dimaksud ACC Sulawesi terlibat dalam kasus Jentang, diantaranya keterlibatan Edy Aliman, Johny Aliman, Ulil Amri, mantan Lurah dan mantan Camat serta pihak PT. PP dan PT. Pelindo selaku pembayar uang sewa ganti rugi lahan tersebut.
Dari fakta penyidikan telah jelas mengungkap kronologi sejak awal kasus Buloa tersebut. Dimana adanya penerbitan surat keterangan garapan yang dikeluarkan oleh Lurah Tallo kala itu, Ambo Tuo dan disetujui oleh Camat Tallo di era kepemimpinan AU Gypping Lantara.
Bukti keterangan garapan yang dimiliki oleh kedua anak buah Jentang atas laut yang terletak di Kelurahan Buloa terbit dengan memberikan keterangan yang tidak benar alias kuat dugaan ada unsur kolusi dalam proses pemberian keterangan garapan tersebut oleh mantan Lurah Buloa, Ambo Tuo dan disetujui oleh Mantan Camat Tallo, A.U Gypping Lantara kala itu.
Kedua anak buah Jentang masing-masing Rusdin dan Jayanti mendapatkan keterangan garapan dari Kelurahan Buloa dan disetujui oleh Camat Tallo saat itu, karena pertimbangan keduanya sejak lama menggarap atas laut Buloa sebagai petani budidaya rumput laut.
Padahal jelas-jelas sejak dulu hingga sekarang ini, dilokasi laut yang dimaksud tak pernah ada kegiatan budidaya rumput laut. Letak geografis lokasi sangat tidak memungkinkan dijadikan sebagai tempat budidaya rumput laut.
Tak hanya itu, pihak PT. PP dan PT. Pelindo selaku pelaksana pengerjaan sekaligus pembayar uang sewa lahan negara juga patut dimintai pertanggung jawaban. Karena dianggap lalai dan tidak cermat sehingga membayarkan uang sewa lahan begitu saja.
Hal itu dikuatkan dari pengakuan saksi ahli yang dihadirkan Kejati Sulselbar pada waktu sidang kasus Buloa tersebut digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar saat itu. Dimana perusahaan BUMN tersebut dinilai turut andil berperan menimbulkan kerugian negara.
Ahli Hukum Keuangan Negara asal Universitas Airlangga, Surabaya, Siswo Wijanto saat memaparkan kesaksiannya dalam sidang perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa yang mendudukkan tiga orang terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti di Pengadilan Tipikor Makassar, Senin 30 Oktober 2017 saat itu, menegaskan jika ada unsur kelalaian dari pihak BUMN yang bersangkutan, baik itu PT. PP dan PT Pelindo yang secara tidak cermat membayarkan uang sewa pada oknum yang mengkalim lahan negara.
Menurut mantan Sekretaris Departemen Keuangan RI tersebut, penyewa lahan dalam hal ini PT. PP dan PT. Pelindo tidak bertindak profesional sebelum melakukan pembayaran kepada pihak yang mengaku sebagai penggarap lahan.
Harusnya, kata dia, selaku penyewa lahan mengetahui betul seluk-beluk lahan. PBB yang diajukan oleh tersangka itu bukan surat hak milik, sementara surat garap juga tidak bisa jadi dasar. Sehingga ketika BUMN melakukan transaksi, jelas itu bisa disebut menimbulkan kerugian negara dan dikategorikan sebagai kelalaian.
Lebih jauh, Siswo juga menjelaskan bahwa ada dua tipe aset negara, yakni aset potensial dan operasional. Melihat data lahan dalam perkara Buloa yang dimaksud, menurut dia, area tersebut merupakan aset potensial.
Ia bahkan mengatakan sangat mudah membuktikan terjadinya kerugian negara dalam perkara Buloa tersebut. Pertama sambung dia, merujuk pada keberadaan surat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dijadikan dasar untuk menerima uang sewa lahan.
PBB tegas dia, bukan dasar kepemilikan lahan, apalagi sudah sangat jelas sejarah lahan yang dimaksud merupakan aset potensial negara yang timbul karena hasil reklamasi atau sengaja ditimbun.
Sehingga lanjut Siswo, secara teori, lahan Buloa tersebut merupakan aset negara yang disewakan karena kelalaian dan tidak dengan cara prefesional dan akhirnya menimbulkan kerugian negara.
Meski, kata dia, diatas lahan tersebut timbul izin garap bukan berarti menjadi dasar transaksi sewa-menyewa. Sebab jika negara membutuhkan untuk kepentingan negara, wajib bagi penggarap menyerahkan lahan yang dimaksud.
Selain keterlibatan pihak BUMN serta mantan Lurah dan Camat diatas, peran ketiga orang terdekat Jentang yakni Edy Aliman, Johny Aliman dan Ulil Amri juga sangat jelas. Dimana rekening Edy maupun Johny disebut sempat mengendap atau digunakan dalam menerima transferan uang sewa lahan Buloa.
Ulil Amri sendiri, dimana sejak awal hingga akhir pembayaran sewa lahan selalu terlibat. Bahkan dalam proses penyidikan ia dinilai sebagai aktor intelektual yang mengadakan seluruh dokumen perjanjian sewa lahan negara Buloa.
Nama Ulil masuk dalam salah satu nama penting turut disebut di dalam berkas dakwaan perkara dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa Kecamatan Tallo, Makassar yang menjerat Muh. Sabri, Asisten 1 Bidang Pemerintahan Pemkot Makassar sebagai terdakwa.
Selain Ulil, Owner PT Jujur Jaya Sakti, Soedirjo Aliman alias Jentang Bin Liem Eng Tek turut disebut. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irma Arriani, dalam berkas dakwaan menyebut, Jen Tang dan Ulil hadir di semua pertemuan proses sewa lahan negara Buloa.
Proses terjadinya penyewaan lahan negara disebut terjadi setelah difasilitasi Sabri, yang mempertemukan pihak penyewa PT Pelindo dan PT Pembangunan Perumahan (PP) dengan Rusdin dan Andi Jayanti Ramli selaku pengelola tanah garapan yang juga berstatus terdakwa dalam perkara ini.
Bukti keduanya adalah pengelola tanah garapan didasari surat keterangan tanah garapan register nomor 31/BL/IX/2003 yang diketahui oleh Lurah Buloa Ambo Tuwo Rahman dan Camat Tallo AU Gippyng Lantara nomor registrasi 88/07/IX/2003 untuk Rusdin, sementara Jayanti nomor registrasi 30/BL/IX/2003 saksi lurah dan camat nomor registrasi 87/07/IX/2003 dengan luas 39.9 meter persegi.
Pada pertemuan pertama turut dihadiri Jen Tang selaku pimpinan Rusdin dan Jayanti yang bekerja di PT Jujur Jaya Sakti serta Ulil Amri yang bertindak sebagai kuasa hukum keduanya.
Pertemuan pertama terjadi pada 28 Juli 2015 bertempat di ruang rapat Sabri selaku Asisten 1. Pada pertemuan itu terjadi negosiasi antara kedua belah pihak.
Kemudian lanjut pada pertemuan kedua pada tanggal 30 Juli 2015. Dimana Jentang dan Ulil Amri kembali hadir bersama Rusdin yang bertindak mewakili Jayanti.Dalam pertemuan itu disepakati harga sewa lahan negara Buloa senilai Rp 500 Juta atau lebih rendah dari tawaran Jen Tang cs yang meminta nilai Rp1 Miliar.
Draf sewa lahan akhirnya disetujui dalam pertemuan berikutnya di ruko Astra Daihatsu Jalan Gunung Bawakaraeng. Dalam pertemuan ini kembali dihadiri oleh Jentang, Ulil Amri dan Rusdin mewakili Jayanti.
Akhirnya pada tanggal 31 Juli 2015 di Kantor Cabang Mandiri, PT PP melakukan pembayaran terhadap Rusdin dan Jayanti yang juga kembali dihadiri oleh Jentang dan Ulil Amri. Uang senilai Rp 500 Juta itu pun di terima Rusdin namun di bagi dua dengan Jayanti Ramli.
Selanjutnya ada kasus dugaan korupsi yang terbilang lama dan hingga saat ini menghilang yakni dugaan korupsi proyek sarana dan prasarana jaringan pipa PDAM Kabupaten Gowa tahun anggaran 2014 yang juga diketahui ditangani oleh Kejati Sulsel.
Kegiatan proyek tersebut diketahui menggunakan anggaran sebesar Rp 10 miliar dan berdasarkan hasil laporan pemeriksaan BPK Sulsel dimana ditemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp1,5 miliar.
Kemudian ada kasus dugaan suap proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp 49 miliar di Kabupaten Bulukumba tahun anggaran 2017. Meski status penanganannya telah naik ke tahap penyidikan, namun Kejati belum juga menetapkan siapa pihak selaku tersangka dalam kasus tersebut.
Lalu ada juga kasus dugaan korupsi dana pendidikan gratis di Kabupaten Gowa Tahun 2010 dengan taksiran kerugian negara mencapai Rp 20 miliar. Kasus yang ditangani Kejati di era Chaerul Amir selaku Asisten Pidana Khusus Kejati Sulsel itu kemudian menghilang pasca Chaerul terjaring mutasi. Meski dalam kasus tersebut sejumlah saksi tepatnya 218 orang Kepala Sekolah (Kepsek) meliputi Kepsek SD, SMP dan SMA telah menjalani pemeriksaan.
Dan terakhir kasus dugaan suap Dana Alokasi Khusus (DAK) 2016 senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare.
ACC Sulawesi berharap Dit Reskrimsus Polda Sulsel yang menangani kasus tersebut dengan harapan penyelidikan dapat berjalan secara profesional.
“Kasus ini kan lagi ramai mendapat perhatian masyarakat sehingga kami harap Polda Sulsel yang menanganinya agar berjalan maksimal,” kata Abdul Muthalib, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi).
Tak hanya itu, secara kelembagaan ACC Sulawesi juga berharap dalam penyelidikan kasus itu, Polda Sulsel nantinya mengonfirmasi pernyataan mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Pare-Pare, Muh. Yamin yang menyatakan dirinya diperintahkan oleh Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe menyerahkan uang sebesar Rp 1,5 miliar kepada seorang pengusaha dari Papua, H. Hamzah sebagai bentuk pengembalian biaya pengurusan proyek DAK tambahan perubahan tahun anggaran 2016 sektor jalan sebesar Rp 40 miliar yang turun di Kota Pare-Pare.
Tak sampai disitu, ACC Sulawesi juga mendesak Polda Sulsel nantinya turut juga mengonfirmasi perihal pernyataan mantan Kepala Dinas Kesehatan Pare-Pare, Muh. Yamin yang telah menyebutkan bahwa setiap selesai rapat dengan DPRD Kota Pare-Pare, ia dikabarkan kerap menyerahkan sejumlah uang.
Kasus dugaan suap proyek DAK senilai Rp 40 miliar di Kota Pare-Pare terkuak setelah beredarnya sebuah surat pernyataan tiga orang PNS Pemkot Pare-Pare masing-masing dr Muhammad Yamin, Taufiqurrahman dan Syamsul Idham ke media sosial (medsos).
Dimana dalam surat pernyataan yang dibubuhi materai bernilai Rp 6000 itu, ketiga PNS Pemkot Pare-Pare yang dimaksud menyatakan telah bersama-sama mengantarkan dan menyerahkan dana sebesar Rp 1,5 miliar kepada pengusaha dari Papua, H. Hamzah di sebuah mal diMall Ratu Indah Makassar sebagai pengembalian pengurusan proyek DAK 2016 sebesar Rp 40 miliar yang telah diterima oleh Kota Pare-Pare.
Ketiganya juga menyatakan melakukan hal yang dimaksud berdasarkan perintah Wali Kota Pare-Pare, Taufan Pawe.(*)