Kumbanews.com – Wasekjen Demokrat Andi Arief mengaku khawatir Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum NasDem Surya Paloh menghidupkan kembali Demokrasi Terpimpin seperti yang diterapkan Soekarno di masa lalu. Dia berharap Presiden Jokowi mencegah hal tersebut terjadi.
Prabowo dan Surya Paloh sepakat amendemen UUD 1945 mesti dilakukan secara menyeluruh, tidak sekadar menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN).
“Mudah-mudahan Pak Jokowi bisa menyelamatkan jalan demokrasi yang benar menghadapi rencana Demokrasi Terpimpin ala Pak Prabowo, Surya Paloh dan beberapa kekuatan politik lainnya,” tutur Andi melalui pesan singkat, Senin (14/10).
Andi melihat ada indikasi Prabowo dan Paloh serta kekuatan politik lainnya bakal menerbitkan Ketetapan MPR (TAP MPR) di periode mendatang. Meski begitu, dia tetap berharap Prabowo dan Paloh tidak melakukan itu.
“Indikasinya ini TAP MPR untuk kembali ke UUD 1945,” imbuh Andi.
“Semoga kekhawatiran saya soal cita-cita Prabowo menghidupkan Demokrasi Terpimpin tidak terjadi. Saya betul-betul khawatir, apalagi beliau sering pragmatis seperti Surya Paloh,” lanjutnya.
Sekjen NasDem Johnny G. Plate membantah dugaan Andi Arief. Dia menegaskan bahwa ketua umumnya yakni Surya Paloh tidak ada rencana atau misi agar MPR menerbitkan TAP berisi penerapan kembali UUD 1945 yang asli.
“Indikasi atau halusinasinasi Andi Arief. Ngarang aja,” tuturnya.
Prabowo menyambangi kediaman Paloh di bilangan Permata Hijau, Jakarta, Minggu (13/10). Mereka menyepakati beberapa hal. Salah satunya ihwal amendemen UUD 1945.
Sekjen NasDem Johnny G. Plate mengatakan Prabowo dan Paloh sepakat amendemen UUD 1945 harus menyeluruh. Tidak sekadar menghidupkan kembali GBHN.
“Kedua pemimpin parpol sepakat bahwa amendemen UUD 1945 sebaiknya bersikap menyeluruh, yang menyangkut tata kelola negara, dan sehubungan tantangan kekinian dan masa depan kehiudpan berbangsa yang baik,” kata Johnny G. Plate.
Sebelumnya, Johnny G. Plate juga pernah menyarankan agar masa jabatan presiden-wakil presiden juga dibahas dalam proses amendemen UUD 1945 oleh MPR. Menurut dia, pembahasan amendemen UUD 1945 nantinya harus dilakukan secara komprehensif atau tidak boleh hanya sepotong.
Tidak boleh ada istilah terbatas dalam amendemen UUD 1945 yang rencananya akan dilakukan oleh MPR periode 2019-2024.
“Ada yang bilang masa jabatan presiden delapan tahun satu kali, ada tiga kali empat tahun, ada tiga kali lima tahun, saat ini dua kali lima tahun. Itu harus didiskusikan,” kata Johnny di kompleks parlemen, Jakarta (7/10).
Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon juga pernah menyampaikan bahwa UUD 1945, jika ingin diamendemen, harus dikembalikan dulu kepada aslinya. Baru kemudian dilakukan pengubahan. Diketahui, UUD 1945 sudah pernah 4 kali diamendemen sejak 1999 lalu.
“Kalau menurut saya amandemen itu mestinya bisa kita kembalikan dulu pada UUD 1945 yang asli, kemudian rekonstruksi. Kalau kita berani melakukan itu sebagai sebuah overhaul (pemeriksaan seksama) ya,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada 8 Agustus lalu.
Riwayat Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin diterapkan Soekarno sejak 1959 hingga sekitar 1966. Kala itu, dia memulai dengan menerbitkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, isinya tentang penerapan kembali UUD 1945 dan meninggalkan UUDS 1950 yang digunakan sejak Agustus 1950.
Perbedaan antara UUD 1945 dan UUDS 1950 yang paling mendasar yakni soal sistem pemerintahan yang harus diterapkan Indonesia. UUDS 1950 menghendaki Indonesia menerapkan sistem parlementer, sementara UUD 1945 presidensial.
Kala itu, Soekarno menganggap UUDS 1950 tidak cocok dengan Indonesia. Stabilitas politik tak pernah tenang lantaran kabinet serta perdana menteri berulang kali jatuh bangun sebelum selesai masa jabatannya.
Selain itu, Dewan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru untuk menggantikan UUD 1945 pun tidak kunjung rampung. Walhasil, Soekarno akhirnya menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisi tentang penerapan kembali UUD 1945. Dewan Konstituante juga dibubarkan.
Kemudian, Soekarno membubarkan DPR hasil pemilihan umum 1955. Dia membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR). Orang-orang didalamnya tidak dipilih lewat pemilu, melainkan ditunjuk dan diangkat oleh Soekarno.
Pada masa Demokrasi Terpimpin pula, Soekarno membubarkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Soekarno menganggap kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta di beberapa daerah.
Demokrasi Terpimpin tidak disukai oleh kalangan terpelajar, termasuk mantan wakil presiden Mohammad Hatta. Dia mengkritik keras Soekarno melalui majalah Panji Masyarakat pada 1960. Majalah itu kemudian dibredel.
Kalangan mahasiswa juga tak suka dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Hingga kemudian, mereka menggelar aksi demonstrasi pada 1966 secara besar-besaran.
Krisis ekonomi dan politik membuat Soekarno harus lengser dari kursi presiden. MPRS lalu mengangkat Soeharto sebagai pemangku jabatan presiden hingga pemilu selanjutnya dilaksanakan. [cnn]