Belajarlah ke Barat, Jadilah Murid Cerdas dari Timur

Ilustrasi

Di tengah derasnya arus globalisasi dan ketergantungan ekonomi pada utang luar negeri, bangsa ini perlu menengok kembali pesan Tan Malaka:

“Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas.”

Bacaan Lainnya

Kalimat itu bukan sekadar nasihat masa lalu, melainkan alarm yang berdentang di tengah dunia yang kini menjajakan kemajuan dengan bunga pinjaman. Dunia berlomba menciptakan kecerdasan buatan, sementara bangsa ini masih berjuang menumbuhkan kecerdasan yang berdaulat.

Warisan Tan Malaka dan Jiwa Timur yang Merdeka

Tan Malaka pernah menulis:
“Carilah ilmu sampai ke negeri Barat, tetapi jadilah jiwa Timur yang merdeka.”
Kata-kata itu seperti surat cinta dari masa lalu yang tak lekang oleh zaman. Pesan agar bangsa ini tak hanya pandai meniru, tapi berani berpikir dengan akar sendiri.

Bung Karno mengutus anak-anak muda ke Moskow, Beijing, dan Pyongyang untuk membawa ilmu dan semangat revolusi. Namun, tahun 1965 mengguncang negeri, menghancurkan harapan membangun di atas kaki sendiri, dan menyingkirkan para pemuda yang dulu diutus sebagai duta ilmu dan semangat perubahan. Sebagian pergi ke pengasingan, sebagian kembali tanpa tanah air, membawa luka yang tersimpan rapat.

“Ilmu tanpa kebijaksanaan akan melahirkan peradaban tanpa hati.”
— Tan Malaka, Madilog (1943)

Ketika Dunia Terbelah dan Indonesia Bergulir dalam Sejarah

Dunia pada masa itu seperti kaca yang pecah dua. Khrushchev dari Uni Soviet memilih bungkam terhadap tragedi Indonesia, mungkin sedang menimbang antara nuklir dan nurani. Mao Zedong dan para pemimpin komunis bersaing membuktikan siapa yang paling revolusioner, sementara di pedesaan Tiongkok jutaan orang menjadi korban kelaparan dan represi yang membekas dalam sejarah. Revolusi berubah menjadi badai yang meluluhlantakkan kehidupan rakyat biasa.

Di Indonesia, sejarah pun bergejolak. Tahun 1965 mengguncang negeri, menghancurkan cita-cita Soekarno: pembangunan yang berdikari.

Ideologi dan Ingatan yang Terkubur

Komunisme, kapitalisme, nasionalisme , semuanya pernah berjanji mensejahterakan manusia. Tapi mana yang benar-benar bersih dari darah?
Lenin memimpin revolusi yang merenggut jutaan nyawa demi membangun fondasi kekuasaan baru. Stalin melanjutkan dengan penindasan brutal yang menewaskan puluhan juta rakyatnya, membungkam suara-suara yang menentang rezim.

Di Indonesia, gelombang pergolakan dan pembelahan politik begitu keras hingga membelah keluarga dan menghancurkan cita-cita pembangunan berdaulat dan berdikari menurut Soekarno. Tahun 1965 mengguncang negeri, menyingkirkan para pemuda pengusung perubahan yang berkuliah ke Uni Soviet, Tiongkok, Korea Utara, dan Eropa Timur. Sebagian terpaksa mengasingkan diri, sebagian kembali dalam kepedihan tanpa tanah air.
Kita di Indonesia hanya lebih pandai menimbun sejarah di bawah semboyan pembangunan. Beton bertumpuk menutupi luka lama, tapi tidak pernah menyembuhkannya.

Babak Baru Ketergantungan Ekonomi

Enam dekade berlalu, wajah penjajahan berganti. Kini, perang ideologi berubah menjadi perang tagihan. Dulu kita takut dijajah, kini kita takut gagal bayar.

Kontrak internasional yang ditandatangani dengan senyum diplomatik bisa berubah menjadi tali pengikat kedaulatan. Negara yang dulu berdiri karena darah para pahlawan kini terpaksa tunduk pada angka bunga pinjaman. Kita pernah melawan penjajah agar bisa berdiri tegak.
Bangsa ini tampak sibuk membangun jalan tol menuju kemajuan, namun di ujung jalan itu berdiri papan bertuliskan:
“Silakan bayar di sini karena utang luar negeri Anda telah jatuh tempo.”

Natuna dan Kedaulatan yang Harus Dijaga

Prof. Mahfud MD memperingatkan bahaya jebakan utang luar negeri yang dapat menyeret Indonesia kepada situasi ketergantungan geopolitik. Wilayah seperti Natuna Utara bisa saja menjadi jaminan tak tertulis bila bangsa ini gagal membayar utang berupa pinjaman dan bunga. Menkeu Purbaya menolak menanggung proyek kereta cepat melalui APBN. Keputusan itu bukan semata pertimbangan ekonomi, tapi etika. Bangsa besar tidak boleh menukar kehormatan dengan beban utang.
Satu tanda tangan salah dapat membuat laut kehilangan batas dan generasi kehilangan masa depan.

Kedaulatan adalah harga diri bangsa yang tak boleh tergadaikan apa pun risikonya.

Kedaulatan bukan slogan di podium, tapi napas bangsa merdeka. Sekali tergadaikan, tak ada harga yang mampu menebusnya.

Tan Malaka mengingatkan dengan kalimat seolah ditulis untuk zaman ini:
“Belajarlah dari dunia, tetapi jangan sampai menjual jiwa.”

Para pejabat yang menandatangani perjanjian tanpa kehati-hatian harus tahu: tinta itu mungkin cepat kering, tetapi sejarah tak pernah melupakan tangan yang salah menulis takdir bangsanya.

Refleksi Akhir: Menjadi Anak Bangsa yang Cerdas dan Berdaulat

Bangsa ini tidak lahir dari keberuntungan, melainkan keberanian. Kita dibangun bukan oleh modal, tapi oleh moral.

Generasi muda harus belajar dari dunia bukan untuk meniru, tapi untuk menakar: mana yang patut diserap, mana yang mesti ditolak.
Menjadi modern tidak berarti kehilangan arah. Menjadi global tidak berarti melupakan akar.

Barat mungkin punya mesin lebih cepat, tetapi Timur memiliki kebijaksanaan yang tak bisa dibeli. Kita boleh berbicara seperti Harvard, tapi hati kita harus tetap berdenyut seperti Nusantara.
Kemajuan tanpa kedaulatan hanyalah kecepatan tanpa arah, dan bangsa yang kehilangan arah hanyalah penumpang di kapal yang dikemudikan oleh orang lain.

Epilog: Cermin dari Timur

Tan Malaka tidak mengajak kita menutup diri dari dunia, melainkan mengingatkan: kemajuan sejati lahir dari kesadaran, bukan ketakutan.
Dunia berlomba menciptakan kecerdasan tanpa jiwa, sementara Indonesia masih berjuang menumbuhkan jiwa yang cerdas.
Barat mengajarkan berpikir cepat; Timur mengajarkan berpikir dalam.
Dan mungkin, di tengah dunia yang memuja mesin pintar, bangsa ini justru harus kembali belajar menjadi manusia yang berpikir dengan hati dan mencintai dengan akal.

Daftar Referensi

Anderson, Benedict. Imagined Communities. Verso, 1983.

Kahin, Audrey R. Historical Dictionary of Indonesia. Scarecrow Press, 2003.
Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1300. Stanford University Press, 2008.

Tan Malaka. Madilog. 1943.
Tan Malaka. Menuju Republik Indonesia. Digoel Manuscripts, 1946.

Gonggong, Anhar. Sejarah PKI 1920–1965. LP3ES, 1998.

Mahfud MD. “Kedaulatan dan Utang Luar Negeri.” Pidato di UI, 2023.

Purbaya, Menkeu. “Etika Pembangunan dan Kemandirian Fiskal.” Forum Ekonomi Nasional, 2024.

Laporan Natuna dan Ketahanan Geopolitik Indonesia (2024–2025), Kemenko Polhukam RI.

Glantz, David M. The Soviet Military Experience. Routledge, 1998.
Said, Edward. Orientalism. Vintage Books, 1978.

Historia.id. “Analisis Hubungan Indonesia–Uni Soviet Pasca-G30S.” (2025).

Novita Sari Yahya
Penulis dan peneliti.

Pos terkait