Buku Menyelamatkan Reformasi dan Peringatan 24 Tahun Dekret Presiden dan SI-MPR 2001

cover buku Menyelamatkan Reformasi: Polri di Antara Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001/Ist

“Peristiwa ini sejarah, dan para polisi generasi muda harus tahu, bahwa polisi itu pernah bersikap tegas dan profesional. Tidak mau dijadikan alat kekuasaan, dan alat politik kepentingan penguasa.”

Bacaan Lainnya

Komjen (Purn) Sjachroedin ZP (Deputi Kapolri Bidang Operasi 2001-2002, Gubernur Lampung 2004-2014, Duta Besar RI untuk Kroasia 2017-2021)

Telah jauh hari Persatuan Keluarga Besar Purnawirawan Polri (PP-Polri) menggagas penerbitan buku mengenai detail peristiwa di sekitar Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001. Tepatnya sejak terbit surat rekomendasi PP-Polri untuk tim penulis buku, yaitu tiga orang jurnalis: Hesma Eryani, M Abriyanto, dan Budi Sanjaya di tahun 2012.

Gagasan awal PP-Polri ini diinisiasi oleh Irjen (Purn) Drs. Suseno Suparto (alm), Irjen (Purn) Drs Pamudji Soetopo (alm), Irjen (Purn) Drs. Ilham Martadinata (alm), Irjen (Purn) Drs. Marwan Paris, Brigjen (Purn) Soeroso, Kombes (Purn) Purwono Sigit, dan Kombes (Purn) Drs. Safri DM.

Sejak keluarnya surat rekomendasi dari PP-Polri, tim penulis segera mengumpulkan data-data dan melakukan wawancara dengan para pelaku sejarah. Tidak hanya seputar Jakarta, Tim Penulis juga berangkat ke Yogya, Lampung, dan Rembang untuk menemui para tokoh yang bersedia menjadi narasumber.

Ada dua puluh tokoh yang berbagi cerita: mulai dari jajaran Polri: Kapolri saat itu, Deputi Kapolri Bidang Operasi, Kapolda Metro Jaya, Menkopolsoskam, Ketua MPR, Ketua DPR, hingga jubir Presiden Gus Dur.

Mengumpulkan dan menulis seluruh kesaksian tokoh-tokoh tersebut tentu bukan pekerjaan yang mudah. Tim penulis bekerja selama bertahun-tahun, dan dalam proses yang panjang ini dua dari tiga penulis wafat sebelum buku sempat diterbitkan, yakni Hesma Eryani dan Budi Sanjaya.

Pada Juli 2025, akhirnya buku ‘Menyelamatkan Reformasi: Polri di Antara Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001’ dapat terbit.

Sebagai editor buku, saya merangkum tulisan singkat ini untuk merayakan terbitnya sebuah buku yang penting bagi sejarah bangsa Indonesia dan juga menyambut peringatan peristiwa bersejarah tersebut, yang jatuh pada 23 Juli.

Spesifikasi Buku

Judul: Menyelamatkan Reformasi: Polri di Antara Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001
Penulis: Hesma Eryani, M Abriyanto, Budi Sanjaya
Editor: Rilda A. Oelangan Taneko
Penerbit: Pustaka LaBRAK
Ukuran: 15×24 cm
Tebal: xviii+219
ISBN: 978-623-5315-25-6

Sinopsis

Peristiwa paling dramatis yang terjadi di Indonesia pada awal milenium kedua adalah dikeluarkannya dekret oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dekret ini berujung pada pencabutan mandat Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia.

Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Parlemen terpaksa melengserkan Gus Dur. Gus Dur dianggap banyak mengeluarkan manuver dan pernyataan yang membuat suhu politik di Tanah Air terus memanas.

Pihak yang harus bekerja ekstra keras saat sebelum dan setelah terbitnya Dekret Presiden adalah Polri dan TNI. Lebih khusus lagi Polri, yang baru saja lepas dari TNI (ABRI) dan saat itu sedang diguncang prahara karena adanya ‘Kapolri kembar’, yaitu Jenderal Surojo Bimantoro dan Jenderal Chairuddin Ismail.

Dalam suasana tegang dan mencekam akibat buruknya hubungan Presiden dan Parlemen, serta munculnya bibit perpecahan di internal institusi, Polri tetap berusaha bersikap netral. Tapi ketika dipaksa harus memilih, Polri akhirnya memilih menolak Dekret Presiden dan mendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR.

Ini bukan pilihan yang mudah bagi Polri, tapi inilah jalan keluar terbaik untuk menyelamatkan masa depan Reformasi. Pilihan ini membuktikan bahwa Polri tetap solid dan tegar berdiri untuk bangsa Indonesia. Polri menolak untuk dipecah-belah dan dijadikan alat penguasa.

Buku ini mencoba merekam detik-detik menegangkan saat terbitnya Dekret Presiden, yang kemudian disusul dengan digelarnya Sidang Istimewa MPR 2001, langsung dari kesaksian 20 orang pelaku sejarah.

Kutipan Penuturan Para Pelaku Sejarah

Dua puluh tokoh yang menjadi narasumber untuk buku Menyelamatkan Reformasi adalah Jenderal (Purn) Surojo Bimantoro, Jenderal (Purn) Chairuddin Ismail, Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Laksamana TNI (Purn) Indroko Sastrowiryono, Komjen Polisi (Purn) Sjachroedin ZP, Komjen Polisi (Purn) Moch Sofjan Jacoeb, Komjen Polisi (Purn) Ahwil Luthan.

Letjen TNI (Purn) Johny J. Lumintang, Marsekal Madya TNI (Purn) Budhy Santoso, Komjen Polisi (Purn) Posma L Tobing, Irjen Polisi (Purn) Taufiequrachman Ruki, Mayjen TNI (Purn) Tubagus Hasanuddin, Prof M. Amien Rais, Akbar Tandjung, Irjen Polisi (Purn) Sidarto Danusubroto, Irjen Polisi (Purn) Teuku Ashikin Husein, Irjen Polisi (Purn) Mathius Salempang, Udin Karongga, dan KH Yahya Cholil Staquf.

Dari penuturan nama-nama besar pembaca dapat memperoleh bermacam sudut pandang dan gambaran detail mengenai peristiwa Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001.

Betapa keadaan saat itu amat mencekam dan keamanan negara menjadi taruhan. Berikut ini beberapa kutipan dari cerita-cerita yang dengan apik dituliskan ke dalam buku ‘Menyelamatkan Reformasi’:

‘Risiko terbesar adalah bila ‘kita kalah’, ya mungkin dianggap insubordinasi. Bahkan saya baca di media, setelah Gus Dur turun, beliau mengadukan saya dan Mas Widodo (Panglima TNI) ke Mahkamah Internasional. Tapi syukurlah itu tidak digubris. Semua ada risikonya memang’ (Jenderal Polisi Surojo Bimantoro, Kapolri 2000-2001).

‘Saya katakan juga, bahwa Polri ke depan tetap harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, berpenampilan tidak militeristik, serta tidak terseret dalam pusaran politik praktis (Jenderal Polisi Chairuddin Ismail, Pjs. Kapolri 2001).

Lalu saya berdiri dan pindah duduk di kursi kosong sebelah Presiden. “Pak Presiden, ini Agum Gumelar, pembantu, menteri dan staf Bapak. Kalau Bapak mengeluarkan dekret, situasi akan sulit untuk bangsa ini. Akan terjadi perpecahan. Sebaiknya jangan sampai keluar.”

Begitu saran saya kepada Presiden Gus Dur. Di sini saya kaget dan terkejut, karena Gus Dur langsung marah serta menuduh saya ‘pengecut dan banci’. Setelah suasana hening, saya berbicara lagi.

“Pak Presiden, saya tidak ingin pemimpin saya, presiden saya, mengambil keputusan yang salah untuk bangsa ini …” Tapi langsung dibentak lagi, dicaci-maki saya’ (Jenderal TNI Agum Gumelar, Menkopolsoskam 2001).

‘Peristiwa ini sejarah, dan para polisi generasi muda harus tahu, bahwa polisi itu pernah bersikap tegas dan profesional. Tidak mau dijadikan alat kekuasaan, dan alat politik kepentingan penguasa’ (Komjen Polisi Sjachroedin ZP, Deputi Kapolri Bidang Operasi 2001-2002)

Ternyata di ruang rapat sudah ada Jenderal-Jenderal bintang satu, dua dan tiga dari semua Angkatan TNI, minus Polri. Kemudian rapat dibuka Pangkostrad. Kesimpulan rapat, mereka meragukan kesiapan Polri.

Lalu saya ditanya, bagaimana sikap Polri? Saya katakan, “Belah dada saya, merah putih di dalamnya. Jangan ragu, keamanan Ibu Kota jangan diambil alih. Polda Metro siap. Saya yang bertanggung jawab. Kalau ada pasukan masuk Jakarta tanpa sepengetahuan saya, saya sikat.”

Lalu Pak Ryamizard bilang, ”Kalau begitu, rapat bubar. Kita dukung sikap Polri!”’ (Komjen Polisi Moch Sofjan Jacoeb, Kapolda Metro Jaya 2001-2002).

“Bagi Fraksi TNI-Polri, Presiden adalah panglima tertinggi, sehingga kami tentunya harus patuh terhadap keputusan yang diambilnya. Tetapi dalam perkembangan situasi di masa Reformasi, walaupun pahit, saat itu kami fraksi TNI/Polri, seperti juga mayoritas fraksi di Parlemen, sepakat mengatakan Presiden melakukan kesalahan” (Komjen Polisi Posma L. Tobing, Ketua Fraksi TNI-Polri dan Wakil Ketua MPR 1999- 2004).

“Pengalaman Polri dalam mengamankan Bangsa, dan mengatasi kekuatan luar yang ingin mencampurinya jadi pelajaran sangat berharga. Mencermati kasus yang melanda bangsa ini umumnya, dan Polri khususnya, di masa lalu dan di tahun 2001, saya melihatnya dalam konteks semangat pembelajaran. Kadang kita masih jatuh-bangun, pada masa awal Reformasi, tapi itu merupakan awal pembelajaran” (Amien Rais, Ketua MPR-RI 1999-2004).

“Dengan MPR, hubungan Gus Dur juga semakin tidak baik. Terbukti dengan adanya Memorandum I dan II. Dibentuknya Pansus untuk meminta penjelasan Gus Dur pun semakin menguat. Di sisi lain, suara pendukung Gus Dur di masyarakat juga semakin masif. Banyak sekali demo. Bahkan di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ada spanduk yang bunyinya kira-kira, “Halal darahnya Amien Rais dan Akbar Tandjung” (Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar dan DPR-RI 1999-2004).

‘Saya melihat, sikap Polri yang tetap menempatkan dirinya sebagai pihak keamanan negara. Polri sendiri tegas akan mengamankan Sidang Istimewa MPR, karena Polri memahami betapa pentingnya menjaga agar Reformasi terus berlangsung. Keberlangsungan Reformasi adalah tuntutan perubahan yang tak dapat ditolak, dan saat itu semua elemen bangsa menghendaki adanya Reformasi, bahkan sampai dengan penurunan Presiden Soeharto. Maka segala hal yang berpotensi menghambat laju Reformasi harus dicegah, termasuk dekret yang dikeluarkan Presiden Gus Dur” (Irjen Polisi Sidarto Danusubroto, anggota Koalisi Lintas Fraksi DPR RI).

“Suhu politik semakin panas. Tak lama setelah dekret keluar, Ketua MPR Amien Rais memimpin rapat di Gedung DPR/ MPR. Saat bersamaan, Ketua DPR Akbar Tandjung mengadakan konferensi pers tentang dekret pembekuan partai yang dipimpinnya. Pagi harinya, sekitar pukul 05.40 WIB, Presiden Gus Dur mengancam menteri-menteri yang menolak dekret. Pada pukul 06.14 Mahkamah Agung menegaskan Presiden tidak berwenang membekukan/ membubarkan Parlemen. Paginya sekitar pukul 07.00 WIB, ada rapat antara Menko Polsoskam dengan para menteri Bidang Polkam. Polri diwakili Pak Sjachroedin ZP. Dalam rapat itu, Pak Sjachroedin menegaskan, Polri dalam kondisi Siaga I, dan SI-MPR dapat dilaksanakan” (Irjen Polisi Teuku Ashikin Husein, Kabag Intel Polri).

Agenda Peluncuran Buku

Buku Menyelamatkan Reformasi: Polri di Antara Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001 akan diluncurkan awal Agustus 2025 dan bertempat di gedung DPR/MPR Republik Indonesia. Senayan, Jakarta.

Penulisan buku ini juga mendapat sambutan dari banyak pihak, di antaranya apresiasi dari Jenderal Polisi Badrodin Haiti, Kapolri 2015-2016: “Saya sangat mengapresiasi gagasan sekaligus penyusunan buku ini, sehingga dapat merangkum ingatan dan kesaksian para pelaku peristiwa, menjadi catatan sejarah yang penting dan berharga, baik untuk Polri khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.”

Rycko Menoza SZP, anggota Komisi VII DPR RI berharap buku ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk generasi penerus.

“Semoga menjadi pelajaran yang sangat berharga akan sejarah perjalanan Reformasi untuk seluruh masyarakat Indonesia, khususnya generasi penerus, agar memahami bagaimana sangat menegangkannya peristiwa tersebut, yang tentunya sangat berisiko bagi para pengambil keputusan di lapangan pada saat situasi negara sedang tidak stabil.”

Sementara Ketua PP-Polri, yang juga Kapolri 2008-2010, Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri berharap buku ini dapat menstimulasi sudut pandang berbeda mengenai peristiwa Dekret Presiden dan SI-MPR 2001.

“PP-Polri berharap buku ini dapat menstimulasi pihak lain untuk melakukan kajian yang lebih mendalam terhadap topik yang sama dari perspektif yang berbeda. Karena peristiwa Dekret Presiden maupun Sidang Istimewa MPR 2001 adalah peristiwa yang sangat langka dalam sejarah di Republik ini,” pungkasnya.

Akhir kata, adalah harapan tim penulis dan tim penyusun untuk buku ini menjadi bacaan wajib bagi rakyat Indonesia, terutama generasi muda, dan lebih khusus lagi generasi muda dari Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia –agar hendaknya mereka memahami, bahwa institusi tempat mereka mengabdi, pernah menjadi faktor penentu masa depan bangsa.

Lancaster, 21 Juli 2025

Rilda A. Oelangan Taneko adalah novelis Indonesia. Ia meraih Krakatau Award, nominasi Khatulistiwa Literary Award dan Penghargaan Sastra Badan Bahasa Republik Indonesia. Buku-bukunya: Kereta Pagi Menuju Den Haag (2010), Anomie (2017), Seekor Capung Merah (2019) dan Selama Air Hilir (2023). Lulusan terbaik S1 Sosiologi Universitas Lampung dan S2 Women, Gender, and Development Studies ISS-Erasmus Universiteit, Belanda, ini pernah diundang oleh Ford Foundation untuk mengikuti Leadership for Social Justice Institute di Washington DC. Sejak tahun 2005, Rilda menetap di Eropa.

 

 

 

 

Sumber: RMOL

Pos terkait