Kumbanews.com – Melihat perkembangan sebuah negeri dalam jangka pendek mungkin paling tepat dilihat dari kaca mata orang yang selama ini tidak pernah menetap di sana. Wartawan ABC David Lipson akan mengakhiri tugasnya di Indonesia setelah dua tahun berbagi pengalaman pibadinya:
Liputan pertama saya dari Indonesia adalah mengenai massa (mob dalam bahasa Inggris lebih bermakna gerombolan).
Waktu itu Januari 2018 dan sebuah kelompok bernama Front Pembela Islam (FPI) mendatangi kantor Facebook di Jakarta untuk melakukan unjuk rasa.
Kedatangan anggota itu diwarnai rasa marah dan teriakan, karena keputusan Facebook menutup akun miliki kelompok tersebut karena dianggap mendukung kekerasan dan kebencian.
Di Indonesia, ABC melaporkan bahwa kelompok seperti FPI sudah bergerak juga di online dan mempertahankan keberadaan mereka dengan melakukan protes langsung, bukan lagi di media sosial.
Liputan ini juga memberikan makna lebih dalam mengenai apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini.
Pertama adalalah usaha dari kelompok ini, yang kadang berhasil, memaksakan kehendak mereka kepada kalangan bisnis, pengadilan atau Parlemen.
Dan kedua, adanya ketakutan bahwa wajah Islam Indonesia yang beraneka ragam tertutup dengan berita dengan hadirnya kelompok yang konservatif yang kadang bertindak radikal dan intoleran.
Bulan Juli tahun lalu, saya meliput mengenai usaha pemurnian secara Islam untuk membersihkan jiwa dari kesalahan masa lalu hal yang dikenal dengan nama Rukyah.
Kami menyaksikan proses Rukyah itu dilakukan terhadap seorang bekas anak jalanan bernama Ucup yang berguling-guling di lantai ketika doa-doa dikumandangkan untuk membersihkan jiwanya.
Pada awalnya saya tidak percaya dengan kegiatan tersebut, namun setelah menyaksikannya sendiri saya benar-benar terpukau.
Kegiatan Rukyah ini antara lain juga mencakup bisa membersihkan tato yang pernah dimiliki mereka yang sekarang ingin menghilangkannya, dan juga bisa menyembuhkan dari kecenderungan menjadi homoseksual.
Kegiatan ini berkembang pesat
Pendirinya Zaki mengatakan kepada kami bahwa 50 ribu orang sudah mendaftar untuk mengikuti kegiatan mereka.
Dengan sumbangan terus berdatangan, dia berencana untuk memperluas kegiatannya ke tiga pulau lain, selain Jawa.
Tema masyarakat yang semakin konservatif ini berulang kali muncul semasa saya bertugas di Indonesia.
Dari hal yang mungkin terlihat konyol seperti patung di Ancol yang setelah 15 tahun berada di sana tanpa adanya keberatan apa pun, sekarang tiba-tiba dianggap porno dan dada patung itu ditutupi dengan kain.
Dan juga ke hal yang lebih serius mengenai Meiliana, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang beragama Budha yang mempertanyakan suara azan Masjid yang dirasanya terlalu keras.
Massa di kotanya kemudian marah dan merusak beberapa kelenteng di kota tersebut.
Mereka yang melakukan kekerasan tidak pernah dihukum, Meiliana malah dihukum 18 bulan penjara.
Juga ada contoh-contoh agama digunakan oleh mereka yang merasa kuat untuk menekan yang lemah.
Saya kadang mempertanyakan penggunaan kata “Sudah kehendak Tuhan” – yang dijadikan alasan orang tua yang menolak anaknya divaksinasi karena takut vaksinya tidak halal.
Atau kata “Takdir” itu dikatakan oleh para korban bencana alam mulai dsri Palu ke Lombok, sampai ke Anyer yang mengatakan penderitaan mereka adalah karena kehendak yang Kuasa.
Pertarungan berbagai kekuatan agama di Indonesia tampak jelas dalam kancah pemilihan presiden di tahun 2019.
Kelompok Islam sebagian mendukung Prabowo Subianto, seorang tokoh yang sebenarnya tidak bisa disebut sebagai calon dari kalangan religious.
Kampanye terakhir Prabowo seperti terlihat sebagai panggung bagi kelompok Islam konservatif.
Acara dimulai dengan sholat Subuh berjamaah di Stadion Gelora Bung Karno dimana massa yang hadir mengenakan pakaian putih, dan juga menampilkan pemimpin FPI Habib Rizieq lewat layar video dari Arab Saudi, tempat dia mengasingkan diri sekarang ini.
Di sisi lain kampanye Presiden Jokowi dengan massa yang penuh warna dan dari berbagai kalangan.
Namun Presiden Jokowi yang dikenal sebagai tokoh progresif masih harus menggandeng salah satu ulama konservatif Mar”uf Amin sebagai calon wakil presiden.
Pada akhirnya, pertarungan selama kampanye pemilu yang juga diwarnai dengan pertarungan di media sosial yang tidak tampak berhasil dipadamkan oleh aparatur keamanan, polisi dan tentara.
Namun untuk mempertahankan dukungan polisi dan tentara Presiden Jokowi harus membuat beberapa kebijakan.
Menjelang hari pemungutan suara, Jokowi menjanjikan bahwa pejabat militer akan bisa menduduki jabatan sipil, hal yang berarti menghapus reformasi sebelumnya yang melarang TNI berkecimpung di dunia sipil.
Dan baru-baru ini, mendukung seorang jenderal polisi yang menghadapi tuduhan melakukan pelanggaran etika menduduki jabatan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam waktu bersamaan, Presiden juga mendukung perubahan UU mengenai KPK, hal yang jelas-jelas menurunkan kemampuan lembaga tersebut untuk menyelidiki kasus korupsi.
Dalam masa-masa akhir persidangan DPR juga berusaha untuk meloloskan RUU KUHP yang kontroversial di mana mereka yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan bisa dijatuhi hukuman penjara, dan menghina Presiden adalah tindakan kriminal.
Minggu-minggu terakhir saya di sini dipenuhi dengan rasa prihatin dengan Indonesia. Rasanya kemajuan yang sudah diperjuangkan dengan keras, yang dimulai dari Reformasi 20 tahun lalu, seperti tergerusi.
Yang lebih menyedihkan bahwa ini terjadi beberapa hari setelah meninggalnya mantan Presiden BJ Habibie, tokoh yang memimpin Indonesia keluar dari jaman kediktatoran selama lebih dari 32 tahun.
Unjuk rasa pertama yang kami hadiri pada awalnya kecil.
Presiden Jokowi, entah tidak tertarik atau mendapat informasi salah atau tidak mampu untuk menghentikan pengesahan UU KUHP itu disahkan oleh parlemen setelah adanya tekanan selama bertahun-tahun dari kelompok Islam.
Dan akhirnya, mahasiswa terbangun. Puluhan ribu di antara mereka turun ke jalan.
Mereka sebelumnya juga bagian dari api Reformasi di tahun 1998 dan tampaknya tidak mau pengorbanan yang sudah dilakukan generasi sebelumnya menguap begitu saja.
Jadi bila kelompok FPI menjadi berita pertama saya, kelompok mahasiswa yang berjuang kembali menjadi liputan saya yang terakhir.
Dan di saat saya menulis cerita ini, para mahasiswa tampaknya menjadi pemenang, namun semua belum tentu begitu.
Saya melihat bahwa Indonesia adalah negeri yang mengagumkan sekaligus yang penuh keriuhan, negeri di mana siapa pun yang berkuasa — sampai ke Presiden — dikepung dan didesak oleh massa yang mencari sasaran siapa yang dianggap berkuasa saat itu.
Namun saya melihat bahwa aset terbesar Indonesia adalah warganya, orang kecil, para pekerja dan tentu saja mahasiswa, yang ketika keadaan kritis akan berdiri untuk berjuang, untuk mempertahankan negeri mereka. [vv]