Kumbanews.com – Siapa tak kenal nama ini? Dipa Nusantara (DN) Aidit. Nama DN Aidit ini identik dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Ia disebut sebagai dalang utama peristiwa yang mengubah garis sejarah Indonesia tersebut.
Benarkah Partai Komunis Indonesia (PKI) memberontak dan melakukan kudeta pada 1965? Di mana Aidit pada malam berdarah itu?
Bagaimana nasibnya kemudian?
Menjelang peristiwa G30S, DN Aidit adalah sosok yang sangat berpengaruh.
Selain mengomandoi partai dengan jutaan pengikut di seluruh Indonesia, Aidit sangat dekat dengan Presiden Soekarno. Ia pernah menjabat Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS.
Masuknya PKI dalam pusaran politik nasional membuat cita-cita revolusi menuju masyarakat komunis tak lagi menjadi agenda utama. Di bawah Aidit, kesuksesan PKI membuat banyak pihak cemburu.
Salah satunya datang dari Angkatan Darat yang kala itu juga sangat berkuasa.
Peristiwa G30S boleh jadi dipicu dari kabar burung yang mengatakan adanya sekelompok jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengudeta Presiden Sukarno. Hingga kini keberadaan Dewan Jenderal itu adalah misterius.
Peter Kasenda dalam Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI (2016) menulis, Aidit memimpin badan rahasia dalam PKI dengan nama Biro Chusus (BC) PKI.
Badan ini dirancang sebagai intelijen yang menghimpun informasi dari para perwira militer simpatisan PKI.
Pada zamannya, tiap partai dan kelompok politik punya jaringan serupa dalam militer.
Informasi dari BC PKI penting untuk menentukan apakah PKI akan bertindak sebelum kudeta terjadi atau menunggu.
Berdasarkan rapat dengan para perwira militer, Kepala BC PKI Syam Kamaruzaman menyimpulkan pihak militer siap melancarkan langkah untuk mencegah kudeta terjadi.
Sayangnya, persiapan tak dilakukan dengan matang. PKI mengira pihaknya hanya membantu tentara. Sebaliknya, tentara mengira mereka hanya mengikuti PKI.
Pergi Tanpa Pesan
Kamis, 30 September pukul 21.30, Aidit hendak menidurkan putranya Ilham Aidit. Tiba-tiba, mobil Jeep tiba di depan rumahnya. Istrinya, Soetanti, membentak dua orang berseragam militer warna biru yang ada di depan pintu.
“Ini sudah malam!” kata Soetanti.
“Maaf, tapi ini darurat. Kami harus segera!” jawab mereka.
Aidit yang keluar menemui tamunya tak lama segera kembali ke kamar tidur. Ia memasukkan beberapa pakaian dan buku ke dalam tas. Soetanti ngotot agar Aidit tak usah pergi.
Aidit pun ragu. Namun ia tetap pamit mencium kening Soetanti dan bocahnya yang masih berusia 6,5 tahun. Aidit tak memberi penjelasan akan ke mana dan alasannya.
Mayor (Udara) Soejono mengaku ia lah yang menjemput Aidit. Ia membawa Aidit ke rumah dinas Menteri/Panglima Angatan Udara Laksdya Omar Dhani di Wisma Angkasa, Kebayoran Baru.
Namun karena Omar tak ada di sana, Aidit dibawa ke rumah mertua Omar di Jalan Otto Iskandardinata III, Jakarta Timur.
Mereka gagal menemukan Omar dan mengajak Aidit ke rumah dinas seorang bintara AU di Kompleks Perumahan AU di Halim Perdanakusuma. Rumah itu dijadikan Central Komando (Cenko) II.
Saat penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah jenderal berlangsung, Aidit hanya diam di rumah itu.
Hingga pagi menjelang dan terendus bahwa operasi tak berjalan sesuai rencana dengan tewasnya sejumlah jenderal, Aidit pun dibawa ke Pangkalan Udara Halim sesuai perintah Omar Dhani untuk diterbangkan ke Yogyakarta.
Sebelum berangkat ke Yogyakarta, Aidit menyerahkan mandat kepemimpinan PKI kepada Wakil Ketua III Sudirman.
Di Yogyakarta, Aidit hendak menemui Ketua Committee Daerah Besar (CDB) PKI Yogyakarta dan menjelaskan kudeta yang hendak terjadi.
Dari Yogyakarta, Aidit bertolak ke Semarang keesokan harinya.
Ia berusaha mengkonsolidasikan agar PKI bisa dilepaskan dari insiden penembakan jenderal-jenderal yang dilaksanakan oleh tentara sendiri.
Dari Semarang, ia ke Boyolali dan Solo. Di sana, ia dikecam atas apa yang terjadi di Jakarta. Aidit terus bergerak untuk konsolidasi.
Hingga pada 6 Oktober di Blitar, Aidit menulis surat ke Soekarno yang menyampaikan versinya soal G30S.
Ia mengaku dijemput seorang berpakaian Tjakrabirawa dari rumah untuk menghadiri rapat kabinet di Istana. Namun ia malah dibawa ke tempat lain.
Aidit mengaku sempat bertanya apakah penangkapan para jenderal sudah diketahui Presiden Soekarno.
Kepada Aidit, mereka menjawab, Soekarno telah memberikan restunya untuk menindak para jenderal.
Aidit Bertanggung jawab
Aidit menyadari Angkatan Darat di bawah Pangkostrad Mayjen Soeharto tengah memburu para tokoh PKI yang dianggap sebagai dalang pembunuhan para jenderal.
Aidit tak juga kembali ke Jakarta dan berusaha meredam aksi kekerasan militer terhadap simpatisan PKI di Jawa Timur.
Pada suratnya yang terakhir tertanggal 10 November, Aidit mengatakan kemungkinan akan mencari perlindungan ke China.
Aidit terus bersembunyi di rumah teman-temannya.
Ia akhirnya tertangkap dan dibawa ke Boyolali pada 22 November.
Saat diproses verbal, Aidit mengaku bertanggung jawab.
“Saya adalah satu-satunya orang yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S yang gagal dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI yang lain, dan organisasi massa di bawah PKI,” kata Aidit dalam surat pemeriksaan yang ditandatanganinya.
Ia kemudian dibawa oleh Kolonel Jasir Hadibroto ke markas Batalion Infanteri 444. Jasir hendak menghabisi Aidit.
“Ada sumur?” tanyanya.
Di tepi sebuah sumur tua, Aidit dipersilakan mengucapkan pesan terakhir. Namun Aidit malah berpidato berapi-api yang membuat Jasir kesal.
“Aidit berteriak kepada saya, daripada saya ditangkap, lebih baik kalian bunuh saja. Saya sih, sebagai prajurit yang patuh dan penurut, langsung memenuhi permintaannya. Karena dia minta ditembak, ya saya kasih tembakan,” kata Jasir dalam wawancara dengan Suara Pembaruan pada September 1998.
Ditembaknya Aidit membuat ia tak sempat diadili. Peristiwa G30S semakin kabur dan tak pernah benar-benar terungkap hingga saat ini. (*)