Dampak Penghapusan Mandatory Spending pada Kualitas Kesehatan

  • Whatsapp

Ilustrasi/Net

Kumbanews.com – Refocusing anggaran kesehatan dan hilangnya kewajiban belanja minimal (mandatory spending) dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 berdampak signifikan terhadap sektor kesehatan di Tanah Air.

Bacaan Lainnya

Sebelumnya, pemerintah mewajibkan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dihapusnya ketentuan ini memungkinkan alokasi anggaran kesehatan menjadi tidak jelas, yang dapat berdampak pada penurunan kualitas dan akses layanan kesehatan bagi masyarakat.

Namun, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa kewajiban alokasi minimal anggaran kesehatan dihapus lantaran selama ini belanja wajib sebesar 5 persen untuk kesehatan tidak berjalan baik, dan justru rawan disalahgunakan untuk program-program yang tidak jelas.

“Pengalaman pemerintah mengenai mandatory spending itu tidak 100 persen mencapai tujuannya. Tujuan kita bukan besarnya mandatory spending, tapi adanya commitment spending anggaran dari pemerintah untuk memastikan program-program di sektor itu bisa berjalan,” ujar Budi, dikutip pada Senin, 4 November 2024.

Dampak Kurangnya Belanja Kesehatan dengan Daya Saing Ekonomi dan Rangking IQ

Berdasarkan data World Population Review, Indonesia memiliki rata-rata IQ minimal 78, jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura dengan rata-rata IQ minimal 105.

Korelasi ini memunculkan perhatian terkait daya saing ekonomi dan sistem kesehatan di Indonesia. Rendahnya angka IQ ini juga berkaitan erat dengan investasi di sektor kesehatan yang relatif masih rendah.

Rendahnya belanja kesehatan dapat berpengaruh pada kualitas gizi dan pendidikan, yang pada gilirannya berdampak pada kemampuan kognitif populasi.

Sebagai perbandingan, negara-negara dengan sistem kesehatan yang lebih baik cenderung memiliki tingkat IQ yang lebih tinggi, mendukung daya saing ekonomi mereka secara global.

Out-of-Pocket (OOP) Indonesia Masih Tinggi

Laporan Our World in Data menunjukkan bahwa pengeluaran kesehatan dari kantong pribadi (OOP) di Indonesia masih tinggi, turun dari 50 persen pada 2000 menjadi 30-40 persen pada 2021, meski Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita naik menjadi 4-5 ribu Dolar AS.

Peningkatan belanja kesehatan membantu menurunkan angka kematian anak dari 5 persen menjadi 2 persen dalam periode yang sama. Sebagai perbandingan, China berhasil menurunkan OOP dari 60 persen ke 30 persen dengan PDB per kapita naik menjadi 10 ribu Dolar AS.

Korelasi Antara Belanja Kesehatan dan Angka Kematian Anak

Pada tahun 2000, United Nations mencatat angka kematian anak di Indonesia sekitar 5 persen dengan belanja kesehatan per kapita antara 100-200 Dolar AS. China memiliki angka kematian yang serupa, sementara India lebih tinggi, sekitar 7-8 persen.

Menjelang 2021, Indonesia berhasil menurunkan angka kematian anak menjadi sekitar 2 persen dengan belanja kesehatan yang meningkat menjadi 500 Dolar AS.

China mencatat angka kematian anak kurang dari 1 persen, dan India juga mengalami penurunan menjadi 3 persen dengan peningkatan belanja kesehatan, namun tetap lebih tinggi dibandingkan Indonesia dan China.

Hasil ini menunjukkan bahwa investasi dalam kesehatan berkontribusi signifikan terhadap penurunan angka kematian anak di ketiga negara.

Pertumbuhan Belanja Kesehatan Publik Indonesia Lambat, Komitmen Politik Dipertanyakan

Belanja kesehatan publik di Indonesia masih tergolong rendah dan lambat. Pada tahun 2022, total belanja kesehatan hanya sebesar 2,9 persen dari PDB, sementara belanja publik untuk sektor kesehatan tercatat hanya 1,7 persen dari PDB.

Angka ini menunjukkan bahwa pemerintah belum memberikan alokasi anggaran yang cukup besar untuk kesehatan, yang mengindikasikan rendahnya komitmen politik dalam sektor vital ini.

Ketua Umum Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia (InaHEA), Hasbullah Thabrany, dalam presentasinya tentang anggaran kesehatan, mengatakan bahwa jika pejabat memiliki kapasitas yang baik dan konsisten dengan data epidemiologis, kapasitas fiskal, serta praktik terbaik, maka ada peluang untuk perbaikan.

Efek Investasi Belanja Kesehatan terhadap Usia Harapan Hidup, Indonesia vs China

Di Indonesia, pengeluaran kesehatan per kapita meningkat dari 247 Dolar AS menjadi 393 Dolar AS antara 2010 dan 2020, diiringi dengan kenaikan usia harapan hidup dari 68,36 tahun menjadi 68,82 tahun. Selama periode ini, populasi Indonesia juga bertambah dari 230,87 juta menjadi 278,83 juta jiwa.

Sementara itu, China mencatatkan lonjakan pengeluaran kesehatan per kapita yang signifikan dari 160 Dolar AS menjadi 945 Dolar AS antara tahun 2000 dan 2020, yang berdampak pada peningkatan usia harapan hidup dari 72,29 tahun menjadi 78,02 tahun. Populasi China turut meningkat dari 1,22 miliar menjadi 1,43 miliar jiwa.

Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan investasi kesehatan di China jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yang berdampak pada usia harapan hidup yang lebih tinggi di negara tersebut.

 

 

 

 

 

 

Sumber: RMOL

Pos terkait