Dari Tragedi Sengkon dan Karta: Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani Indonesia

Sengkon dan Karta. (TEMPO)

Kisah Sengkon dan Karta: Inspirasi untuk Bicara Petani

Kisah Sengkon dan Karta menjadi inspirasi bagi saya menuliskan cerita ini. Dua petani miskin asal Desa Bojongsari, Bekasi, dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan pada 1974. Meski bersikeras tidak bersalah, aparat memaksa keduanya mengaku dengan kekerasan. Pada 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta 7 tahun.

Kebenaran baru terungkap setelah seorang narapidana lain, Gunel, mengaku sebagai pelaku sebenarnya. Tragedi ini mencatat sejarah kelam: petani kecil yang miskin bisa dengan mudah terpinggirkan, bahkan menjadi korban salah tangkap. Tempo menyebut kasus ini sebagai tonggak lahirnya mekanisme Peninjauan Kembali (PK) dalam sistem hukum Indonesia.

Narasi ini menunjukkan bahwa petani bukan hanya menghadapi kesulitan ekonomi, tetapi juga kerentanan sosial dan hukum.

Indonesia: Negara Agraris, tapi Bergantung Impor

Indonesia kerap digambarkan sebagai negara agraris dengan tanah yang subur. Namun, data impor pangan justru memperlihatkan hal sebaliknya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras pada semester I 2025 mencapai US$90,75 juta, sementara ekspor hanya US$172.837.

Ketergantungan impor ini paradoksal. Negeri yang mestinya mampu memenuhi kebutuhan pangan justru bergantung pada pasokan luar. Kondisi ini mengancam kedaulatan pangan sekaligus melemahkan posisi petani dalam negeri.

Orde Baru dan Hilangnya Generasi Petani

Sejak Orde Baru, pembangunan lebih condong ke industrialisasi. Migrasi besar-besaran dari desa ke kota untuk menjadi buruh pabrik mempercepat hilangnya generasi petani. Lahan pertanian menyempit akibat alih fungsi untuk industri dan perumahan.

Akibatnya, anak-anak petani enggan melanjutkan profesi orang tuanya. Berita media kerap menyoroti kisah anak petani yang sukses keluar dari desa-bukan sebagai petani, melainkan pegawai negeri, birokrat, atau pekerja kantoran. Bahkan lulusan pertanian pun lebih memilih bekerja di bank atau sektor formal ketimbang membuka usaha tani.

Seperti kata Tan Malaka dalam Madilog:

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”

Potret Kemiskinan dan Pendidikan Petani

Data menunjukkan, pada Maret 2024, 47,94% penduduk miskin ekstrem bekerja di sektor pertanian. Pendidikan pun masih rendah: 60,72% hanya lulusan SD ke bawah, sedangkan yang menamatkan SMP ke atas hanya 39,28%.

Rendahnya pendidikan berdampak pada terbatasnya akses teknologi, informasi, dan manajemen usaha tani. Petani gurem—yang hanya menggarap lahan kecil—hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, itupun dengan akses pupuk, bibit, dan modal yang terbatas.

Alih Fungsi Lahan: Ancaman Nyata

Alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian terus berlangsung. Data resmi menunjukkan:

Setiap tahun, 100.000–150.000 hektare sawah hilang.

Di Jawa Tengah, 2019–2024, sawah berkurang 62.000 hektare.

Secara nasional, luas sawah menyusut dari 8,1 juta hektare (2015) menjadi 7,38 juta hektare (2024).

Pemerintah memang menetapkan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), termasuk tambahan 2,7 juta hektare LSD pada 2025. Namun, implementasi di lapangan menghadapi tekanan pembangunan industri dan perumahan.

Jejak Sejarah: Partai Parindra dan Petani di Jambi

Ketika kakek saya, dr. Sagaf Yahya, mendirikan Partai Parindra di Jambi tahun 1935, kesejahteraan petani menjadi salah satu fokus perjuangan. Sebagian besar kadernya adalah petani, buruh, dan pemuda. Sistem kaderisasi Parindra saat itu menjadi salah satu yang terbaik di daerah.

Sejarah ini menunjukkan bahwa petani pernah ditempatkan sebagai basis perjuangan politik nasionalis. Semangat itu penting dihidupkan kembali yaitu pembangunan bangsa tidak boleh meninggalkan petani.

Kajian dan Pemberdayaan Lokal: Perempuan sebagai Penopang

Dalam banyak kajian, saya menekankan pentingnya kearifan lokal dan peran perempuan dalam pertanian. Ibu-ibu di desa bisa menjadi motor gizi keluarga melalui pertanian pekarangan, beternak ikan lele dalam terpal, dan memelihara ayam kampung. Pendekatan sederhana ini lebih realistis untuk masyarakat agraris Indonesia. Saya menuliskan pandangan dalam kajian berjudul ” Kajian Nutrisi Berbasis Kearifan Lokal dengan Pemberdayaan Perempuan.

Sebelum program makan bergizi gratis diluncurkan, saya sudah menuliskan evaluasi kebijakan makan bergizi gratis dalam buku elektronik PAMI Jawa Timur 2023-2024 dengan judul buku jelajah opini Makan Bergizi Gratis ” Mengukur Dampaknya Menjamin Keberlanjutan. Strategi Kebijakan Aksi Bergizi Sehat Berkemajuan. Artikel yang di muat di elektronik book tersebut berjudul ” Strategi Kebijakam Publik Aksi Bergizi Sehat Berkemajuan, Evaluasi Kebijakan Makan Bergizi Gratis oleh dr. Novita sari yahya

Fokus saya tetap: kesejahteraan petani, sebagaimana ide kakek saya tentang pemberdayaan ekonomi rakyat desa.

Kedaulatan Pangan sebagai Pilar Welfare State

Satu bangsa dikatakan mandiri ketika kedaulatan pangan tercapai. Pangan bukan sekadar soal gizi, tetapi soal perut lapar. Sejarah menunjukkan banyak revolusi dipicu oleh persoalan kelaparan.

Karena itu, negara wajib menjamin ketersediaan pangan melalui petani lokal. Kebijakan pangan tidak boleh hanya berbicara soal gizi, tetapi harus menjamin bahwa petani mampu memproduksi pangan dengan harga yang adil.

Petani Harus Diberi Hak Istimewa

Petani layak diperlakukan dengan hak istimewa, bahkan lebih dari pejabat yang hanya bisa berpose di depan publik. Alasan sederhana: petani menjamin ketersediaan pangan.

Maka kebijakan harus memprioritaskan:

Subsidi pupuk dan bibit yang mudah diakses.

Permodalan melalui lembaga mikro syariah seperti BMT.

Harga panen yang adil sehingga petani tidak merugi.

BMT dan Filantropi Desa: Jalan Kemandirian

Model BMT (Baitul Maal wat Tamwil) terbukti efektif dalam membantu petani mengakses modal. Dompet Dhuafa, misalnya, menjalankan program MUFAKAT yang menyalurkan modal usaha bagi petani dan dhuafa. Hingga pertengahan 2025, program ini menjangkau 140 penerima manfaat di Yogyakarta.

Selain itu, perlu didirikan yayasan filantropi independen di desa, dengan subdivisi perbankan mikro BMT dan pendampingan petani. Sumber dananya bisa berasal dari CSR perusahaan, CSR BUMD, infak, dan sedekah. Sistem semacam ini memungkinkan petani lepas dari jeratan birokrasi yang rawan korupsi.

Pendidikan: Jalan Modernisasi Petani

Karena mayoritas petani hanya lulusan SD, pendidikan non-formal sangat penting. Alternatif yang bisa dilakukan:

Kejar Paket C berbasis pertanian, agar petani bisa belajar sambil tetap bekerja.

SMK pertanian untuk petani, dengan kelas sore atau akhir pekan.

Pendidikan ini tidak hanya meningkatkan literasi, tetapi juga memberi akses pada teknologi dan manajemen usaha tani.

Penutup: Dari Sengkon dan Karta ke Petani Masa Kini

Kisah Sengkon dan Karta mengingatkan kita bahwa petani adalah kelompok paling rentan. Meski bentuk kerentanan kini berbeda—kemiskinan, keterpinggiran, dan hilangnya lahan—intinya tetap sama: petani belum mendapat posisi strategis dalam pembangunan nasional.

Jika Indonesia ingin kedaulatan pangan, maka kesejahteraan petani harus menjadi prioritas. Tanpa petani yang sejahtera, kedaulatan pangan hanyalah slogan.

Daftar Referensi

Tempo. Kilas Balik Korban Salah Tangkap Fenomenal Sengkon dan Karta.

Kompas.com. Sengkon dan Karta, Dua Petani yang Dituduh Merampok dan Membunuh, 2 Agustus 2023.

Badan Pusat Statistik (2025). Data Impor dan Ekspor Pangan Semester I 2025.

Antara News (2025). Menteri ATR: Penerapan LSD Tekan Konversi Alih Fungsi Lahan Sawah.

Kompas.id (2024). Tantangan Konversi Lahan dalam Semangat Cita-Cita Swasembada Pangan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1979). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi.

Dompet Dhuafa (2025). Laporan Program MUFAKAT.

 

 

Novita Sari Yahya, penulis dan peneliti yang bergabung di Filantropi kesehatan PKMK FKKMK UGM dan Filantropi Indone

Pos terkait