Kumbanews.com – Darurat Sipil dicetuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna mengantisipasi bila wabah Corona tidak bisa diatasi dengan UU yang ada. Payung hukum Darurat Sipil adalah Perppu Nomor 23 Tahun 1959. Bagaimana sejarah lahirnya Perppu itu?
Perppu 23/1959 menyatakan yang disebut keadaan dalam kondisi Bahaya dan bisa menjadikan negara Darurat (Darurat Sipil, Darurat Militer, Darurat Perang) adalah ketika muncul:
1. Pemberontakan.
2. Kerusuhan- kerusuhan
3. Bencana alam.
4. Perang
5. Dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Perpu Nomor 23 Tahun 1959 menyangkut tentang keadaan Bahaya sesaat setelah Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden,” demikian uraian artikel yang dikutip detikcom dari website Kemenkum HAM, Selasa (31/3/2020).
Dekrit dilakukan Presiden karena kondisi politik sangat mencekam kala itu. Berikut ini adalah isi dekrit presiden 5 juli 1959:
1. Dibubarkannya Konstituante
2. Diberlakukannya kembali UUD 1945
3. Tidak berlakunya lagi UUDS 1950
4. Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang diberlakuakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Di masa Soeharto, Darurat Militer diterapkan ke Aceh. Setelah itu, Presiden Habibie, memberlakukan keadaan Darurat Sipil di Aceh berkenaan dengan pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pada 1999, juga diberlakukan Darurat Militer di Timor Timur. Kala itu situasinya adalah referendum, apakah rakyat Timor Timur ingin merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia. Darurat Militer itu diusulkan Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan diamini BJ Habibie dengan mengeluarkan Keppres Nomor 107 Tahun 1999.
Darurat Sipil juga dilakukan dalam upaya mengatasi kerusuhan dilakukan di Maluku dan Maluku Utara melalui Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2002.
Pada masa Presiden Megawati, seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dinyatakan Darurat Militer. Pada tanggal 18 Mei 2004, diubah lagi menjadi tingkatan Darurat Sipil di Aceh.
Lalu siapa yang berhak menyatakan negara dalam kondisi Darurat?
Untuk menjawab itu, perlu diketahui dalam hukum dikenal dengan istilah Hukum Tata Negara Darurat. Yaitu merupakan rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.
Syarat Darurat ada empat:
1. Adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa.
2. Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada.
3. Kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal.
4. Kewenang luar biasa itu, dan hukum tata negara darurat itu untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak membahayakan lagi.
“Para pemegang puncak kekuasaan eksekutif itu dapat disebut sebagai “the sovereign executive”, yang dianggap mempunyai hak-hak yang bersifat prerogatif apabila negara berada dalam keadaan darurat. “The sovereign executive” inilah yang sebenarnya merupakan pemegang kekuasaan untuk mengecualikan berlakunya hukum yang biasa (ordinary laws),” ujarnya.(dtk)