Di Meja Makan Makassar: Ketika Kreator Konten Menemukan Rasa yang Tersembunyi

Ilustrasi

Pagi di Makassar selalu dimulai dengan cara lama. Api dinyalakan pelan, bumbu diaduk tanpa tergesa, dan kuah dibiarkan menemukan waktunya sendiri. Pada jam-jam seperti ini, kuliner tradisional berada pada bentuk paling jujur tenang, konsisten, dan belum dituntut apa-apa selain rasa.

Beberapa tahun terakhir, suasana itu perlahan berubah. Kamera ponsel ikut hadir di meja makan. Konten kuliner, ulasan singkat, dan video mencicipi menjadi bagian dari keseharian. Kreator konten datang bergantian, membawa perhatian publik yang sebelumnya tak pernah sebesar ini.

Bacaan Lainnya

Perubahan tersebut tak sepenuhnya buruk. Fakta di lapangan menunjukkan banyak usaha kecil kembali hidup. Warung yang lama berjalan pelan kembali ramai, dapur yang nyaris berhenti kembali bekerja. Kuliner tradisional Makassar menjangkau generasi baru dan menemukan ruang di tengah arus digital.

Bahkan warung-warung kecil yang dulu tersembunyi berada di gang sempit, jauh dari jalan utama, atau tanpa papan nama kini tak lagi luput dari sorotan.

Inilah keunikan zaman sekarang yang sunyi pun bisa ditemukan, yang lokal bisa mendunia dalam hitungan hari.
Namun perhatian yang datang cepat membawa irama baru. Jam makan menjadi padat, antrean memanjang, dan dapur dituntut bekerja lebih cepat dari kebiasaan. Kuliner tradisional yang dibangun dengan ketelitian dan pengulangan kini berhadapan dengan tuntutan kecepatan.

Di titik inilah perbedaan mulai terasa. Kuliner tradisional hidup dari proses dan waktu, sementara dunia digital bekerja dengan durasi singkat dan visual menarik. Dua dunia ini bertemu di satu meja, namun tidak selalu berjalan seiring.

Dalam praktiknya, tak jarang muncul jarak antara apa yang terlihat di layar dan apa yang diterima di meja makan. Rasa yang dipromosikan bisa berbeda karena waktu kunjungan yang tak sama, kondisi dapur yang berubah, atau lonjakan pengunjung yang datang bersamaan. Porsi pun kadang menyesuaikan keadaan bukan karena niat mengecewakan, melainkan karena keterbatasan yang jarang terlihat kamera.

Hal-hal semacam ini kerap luput dari konten singkat. Bukan karena sengaja ditutupi, tetapi karena pengalaman makan tidak selalu bisa diulang persis sama setiap waktu. Makanan tradisional, dengan segala prosesnya, memiliki sifat yang dinamis dan bergantung pada banyak faktor.

Bagi penikmat lama, rasa terbaik sering hadir di luar jam ramai. Kuah pertama di pagi hari, bumbu yang belum banyak tersentuh, atau suasana dapur yang masih tenang menjadi bagian dari pengalaman makan. Inilah sisi kuliner yang sulit direkam, tetapi mudah dirasakan.

Di banyak warung lama, masih hidup kebiasaan yang tak tertulis. Cara memesan, waktu terbaik datang, hingga pilihan menu tertentu yang hanya muncul di saat-saat tertentu. Tradisi ini tidak dipromosikan, tetapi dijaga lewat kebiasaan sehari-hari.

Masuknya kuliner ke ruang digital juga membentuk ekspektasi baru. Pengunjung datang dengan bayangan dari layar ponsel. Ketika kenyataan terasa berbeda baik dari sisi rasa maupun porsi kekecewaan kadang muncul. Padahal yang berubah bukan semata kualitas, melainkan situasi dan waktu.

Penting dipahami, kondisi ini bukan kesalahan satu pihak. Kreator konten bekerja dalam sistem yang menuntut kreativitas dan kecepatan. Pelaku usaha kuliner tradisional berusaha menjaga rasa sambil menyesuaikan diri dengan perhatian yang besar. Keduanya bergerak dalam realitas yang sama, dengan keterbatasan masing-masing.

Di antara keduanya, yang dibutuhkan adalah kesadaran bersama. Konten kuliner yang menyertakan konteks tentang waktu terbaik datang, kondisi dapur, dan karakter tempat justru membantu menjaga pengalaman tetap utuh. Bukan untuk membatasi, tetapi untuk memberi pemahaman.

Hari ini, kuliner legendaris Makassar mungkin tak lagi sunyi. Kamera datang bergantian, perhatian mengalir cepat. Bahkan yang tersembunyi pun kini mudah ditemukan. Namun rasa masih bertahan, meski suasana berubah. Dapur tetap menyala, meski ritmenya tak lagi sama.

Pada akhirnya, makanan bukan sekadar untuk dilihat. Ia adalah ruang perjumpaan, kebiasaan, dan ingatan. Menjaga keseimbangan antara rasa, harapan, dan sorotan menjadi tanggung jawab bersama agar yang tersisa bukan hanya rekaman singkat, tetapi pengalaman yang tetap jujur dan bermakna.

 

 

Redaksi Kumbanews.com

Pos terkait