Kumbanews.com – Di tengah pandemi COVID-19, masyarakat dibuat terkejut oleh lonjakan tagihan listrik PLN. Keluhan masyarakat sempat menggema di media sosial pada awal bulan ini. Kenaikan yang tidak wajar itu dialami oleh pelanggan listrik pascabayar.
Rata-rata konsumsi listrik masyarakat memang meningkat karena pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aktivitas kerja dan belajar kini banyak dilakukan di rumah, istilah populernya Work From Home (WFH) dan School From Home.
Namun, kenaikan konsumsi listrik di rumah tangga karena WFH hanya sekitar 30 persen. Pelanggan listrik pascabayar mengeluh karena kenaikan tagihannya lebih dari itu, bahkan ada yang hampir 2 kali lipat. PLN pun dituding menaikkan tarif secara diam-diam.
Terkait hal ini, PLN menegaskan bahwa tidak ada kenaikan tarif listrik. Tapi diakui PLN, ada tambahan tagihan listrik di bulan April. Sejak bulan Maret, PLN tak lagi mengirim petugas pencatat meteran ke lapangan untuk mencegah penyebaran virus corona.
Sebagai gantinya, PLN menagih sesuai rata-rata pemakaian pelanggan dalam 3 bulan terakhir. Tagihan untuk pemakaian listrik di bulan Maret sesuai dengan rata-rata pemakaian 3 bulan sebelumnya. Tapi dalam perkembangannya, PLN mengubah kebijakan itu.
Pemakaian listrik di Maret meningkat karena pembatasan sosial, artinya ada kelebihan pemakaian yang belum dibayar karena PLN hanya menagih sesuai rata-rata pemakaian 3 bulan terakhir ketika aktivitas masyarakat masih normal, belum ada PSBB. Kelebihan ini kemudian diakumulasikan PLN ke tagihan pemakaian bulan April.
Pada bulan April sendiri pun tagihan meningkat karena ada konsumsi listrik bertambah seiring dengan pemberlakuan PSBB. Alhasil, tagihan listrik untuk bulan April jadi meningkat pesat. Pemakaian April sudah meningkat, lalu ditambah lagi ada sisa tagihan dari Maret.
“Misalnya rata-rata pemakaian sebulan 50 kWh, tapi kan sejak Maret itu orang mulai intensitas meninggi, sudah 70 kWh. Jadi real-nya konsumsi mereka 70 kWh tapi kita tagih 50 kWh berarti ada 20 kWh yang belum tertagih. Ini kita carry over ke April. Saat mereka pembayaran, itu ada yang 20 kWh terbawa ke tagihan Mei yang merupakan penggunaan April. Jadi itu 90 kWh. Di sana tercatat 90 kWh plus 20 kWh yang carry over bulan Maret. Jadi muncul tagihan 110 kWh seolah-olah tinggi. Ada konsumsi carry over 20 kWh di Maret dan ada peningkatan 40 kWh di April,” papar EVP Corporate Communication and CSR PLN, I Made Suprateka, dalam konferensi pers secara daring, Rabu (6/5).
“Jadi ini seolah-olah naik 2 kali lipat. Inilah yang jadi polemik. Ini kami sadari kami butuh pendekatan yang baik. Pertama, kenaikan tagihan ini bukan karena kenaikan tarif listrik. PLN enggak bisa naikkan tarif listrik semena-mena apalagi saat kondisi ini, tidak populis,” Made menambahkan.
Selain itu, ada juga pelanggan yang tagihan listriknya jadi tidak normal karena rata-rata pemakaian dalam 3 bulan terakhir sebelum Maret tidak mencerminkan rata-rata yang sebenarnya. Pemakaian pelanggan tersebut memang sedang meningkat di Desember 2019 sampai Februari 2020.
Sementara PLN menagih sesuai rata-rata 3 bulan terakhir untuk pemakaian Maret. Padahal bisa jadi pelanggan tersebut pemakaiannya tidak banyak di Maret.
“Ada juga kasus di mana rata-rata yang dimuat lebih tinggi dibandingkan Maret, bisa terjadi karena di Desember tinggi sehingga ada kelebihan tagihan,” ungkap Made.
Lebih lanjut ia mengatakan, PLN akan bertanggung jawab jika tagihan listrik terlalu tinggi dan tidak sesuai pemakaian pelanggan. Kelebihan bayar dari pelanggan akan memotong tagihan di bulan berikutnya.
“Jangan khawatir, itu akan kita perhitungkan, ini kan kita itu kumulatif. Enggak bisa kita hindarkan 1 kWh pun. Jadi sementara itu yang perlu kami sampaikan,” pungkasnya. (*)