Dua Tahun Terakhir Perbankan Perang Bunga Deposito

  • Whatsapp

Kumbanews.com – Dalam dua tahun terakhir, perbankan memiliki pola baru. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh rendah sementara kredit masih tumbuh tinggi. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana DPK selalu tunggu menyamai pertumbuhan kredit.

Masalah menjadi lebih runyam ketika Bank Indonesia (BI) aktif menaikkan suku bunga acuan. BI memang tak sendirian, bank sentral negara lain juga menempuh kebijakan ini untuk menahan keluarnya dana asing dari sistem keuangan mereka.

Bacaan Lainnya

Di kawasan Asia, Pakistan menjadi negara yang paling agresif menaikkan suku bunga acuan. Bank sentral Pakistan sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 175 bps. Pada peringkat kedua ada BI dan bank sentral Filipina yang sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 bps.

Kenaikan suku bunga acuan berdampak pada kenaikan yield atau imbal hasil dari obligasi. Ini sesuai dengan tujuan dari bank sentral untuk menjaga daya tarik obligasi di mata investor asing.

Buktinya, tingkat imbal hasil produk tersebut per hari ini, Rabu 31 Oktober 2018 berada di level 8,612 %. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan, tingkat imbal hasil Indonesia merupakan yang tertinggi.

Tingkat Imbal Hasil Obligasi Pemerintah Tenor 10 tahun (%)

Kenaikan yield obligasi ini menjadi masalah baru bagi perbankan. Pasalnya, kenaikan yield membuat banyak nasabah mengalihkan dana dari perbankan ke obligasi. Maklum, sejak ekonomi global memasuki resesi dan pemulihan banyak banyak sentral yang menerapkan suku bunga rendah, hal ini membuat investor memburu instrumen yang memberikan yield menarik.

Pergerakan DPK Industri Perbankan di Indonesia (Rp triliun)

Yield yang lebih tinggi dan beralihkan pemilik dana ke obligasi membuat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan semakin seret. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perlambatan DPK terjadi di semua bank baik BUKU I, II, III dan IV utamanya dalam 3 bulan terakhir.

Untuk mengatasi hal ini, mau tidak mau industri perbankan harus menawarkan bunga yang lebih menarik lagi. Tujuannya jelas, agar deposan lebih memilih memarkir dananya di perbankan ketimbang obligasi.

Pergerakan paling agresif diperlihatkan oleh bank BUKU III. Bank Kategori tersebut berani menawarkan special rate hingga 7,17%. Padahal suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya 6,5%.

Angka ini lebih tinggi dibandingkan ditawarkan bank-bank BUKU I, II dan IV masing-masing 6,9%, 6,91% dan 6,96%. Selain menarik dana masyarakat, tindakan ini juga didasari oleh penyaluran kredit bank BUKU III yang begitu tinggi.

Realisasi Kredit Bank BUKU III (Rp triliun)

Bunga deposito special rate adalah deposito yang bunganya di atas bunga penjaminan LPS. Bunga ini ditawarkan over the counter dan ditawarkan kepada deposan pemilik dana besar. Artinya, deposito ini tidak dijamin LPS bila bank bermasalah atau kolaps.

Sejatinya, kebijakan bank BUKU 3 menawarkan bunga sebagai cara untuk menghimpun likuiditas adalah pilihan yang paling logis. Berdasarkan rilis Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Agustus 2018, penyaluran kredit bank BUKU 3 mencapai Rp 1.761,12 triliun. Angka ini meningkat Rp 232,23 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2017.

Total DPK Bank BUKU III (Rp triliun)

Di sisi lain, DPK yang dihimpun sekitar Rp 1.703,44 triliun atau ini lebih kecil dibandingkan penyaluran kredit di periode tersebut. Hasilnya, loan to Deposit Rasio (LDR) pun menembus di atas 100%. BI sendiri sejak 2013 telah menetapkan ambang batas LDR perbankan di level 92%.

Dengan kondisi LDR yang melebihi batas yang ditetapkan, menyebabkan likuiditas bank-bank BUKU III lampu kuning atau sudah ketat. Namun bukan hanya hal itu masalahnya. Keberanian bank BUKU III menawarkan special rate cukup tinggi, bisa mengancam bisnis dari bank-bank kategori lain seperti BUKU I dan II.

Situasi DPK yang sama-sama anjlok, maka peluang DPK terus melambat cukup besar. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin bank BUKU I dan II akan mengambil sikap nekat dengan menaikkan spesial rate. Belum lagi jika bank BUKU IV ikut-ikutan menaikkan, maka era perang suku bunga terjadi.

Perang bunga deposito sudah pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 2012 dan 2013 perbankan berlomba-lomba menawarkan bunga deposito di atas penjaminan LPS. Bunga deposito tinggi ini ditawarkan pada deposan pemilik dana besar.

Bank melakukan ini karena likuiditas ketat dan bank memilih cara ini untuk mengamankan likuiditas. Ketika itu bahkan ada bank yang menawarkan bunga deposito hingga 11%.

Perang bunga deposito tinggi membawa masalah bagi perbankan terutama bagi bank-bank kecil. Sebab, banyak dana-dana dari bank kecil akhirnya beralih ke bank menengah dan besar. Bank kecil bisnisnya terancam karena likuiditas ketat dan tak bisa menghabiskan laba. Maklum, bank kecil hanya bergantung pada penyaluran kredit.

Bank kecil tidak bisa menghasilkan pendapatan non bunga (fee based income) karena tidak bisa memberikan layanan berbasis jasa. Bank kecil tidak dapat bersaing dengan bank menengah dan kecil.

Perang bunga deposito merugikan masyarakat. Ketika bank memberikan bunga deposito tinggi maka bunga yang akan dikenakan kepada nasabah peminjam akan semakin tinggi pula. Bila bunga kredit tinggi, debitur akan menghadapi masalah pada pembayaran cicilan sehingga bisa mengerek rasio kredit bermasalah (NPL).

Bunga kredit yang tinggi juga bisa membuat pengusaha menahan diri mengajukan kredit yang artinya pengusaha akan mengerem ekspansi bisnis. Hal ini bisa membuat pertumbuhan ekonomi terganggu. Maklum, kredit perbankan masih menjadi sumber utama pembiayaan perekonomian.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya bertindak. Untuk menghentikan perang bunga deposito ini, OJK menerapkan batas atas bunga deposito spesial rate. OJK mematok bunga deposito bank BUKU 4 maksimal BI rate plus 75 bps dan BUKU III bunga deposito maksimal BI rate plus 100 bps. Aturan ini kemudian di cabut pada OJK.

Surat Utang sebagai sumber dana bank

Saat ini perbankan memang memiliki sumber pendanaan lain untuk membiayai kredit. Yakni lewat surat utang. Hal ini karena BI merubah kebijakan LDR menjadi loan to funding ratio (LFR). Dalam aturan ini surat utang bisa diperhitungkan sebagai sumber dana baru bank dalam salurkan kredit.

Namun, melihat kondisi sekarang menerbitkan surat utang tidaklah murah. Kebijakan BI menaikkan bunga acuan telah mengerek yield obligasi. Artinya, bank juga harus membayar mahal untuk mendapatkan pendanaan dari pasar modal.

Bank CIMB Niaga baru saja membatalkan penerbitan sebesar Rp 1,98 triliun. Ini merupakan sisa dari obligasi berkelanjutan yang totalnya mencapai Rp 8 triliun. Obligasi ini pertama kali diterbitkan pada 2016. Alasannya, yield obligasi.

Nah, melihat kondisi yang terjadi saat ini perbankan harus dihadapkan pada pilihan lebih selektif menyalurkan kredit atau bahkan mengerem penyaluran kredit dengan konsekuensi bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Atau regulator mengeluarkan kebijakan untuk membantu likuiditas bank dan mengulang kebijakan OJK yang lama dengan mematok suku bunga deposito spesial rate.

 

Pos terkait