Hacker China Bobol Komputer Diplomat RI, DPR: Segerakan RUU Kamtansiber

  • Whatsapp
Faceless Chinese hacker typing code hacking on his laptop with China flag in background. The person is wearing black hoodie and is unrecognizable. The scene is situated in a studio photo/video studio environment in front of a green screen background. The footage is shot with Panasonic GH5 camera.

Kumbanews.com – Grup peretas Naikon baru-baru ini menjadi perbincangan lantaran membobol dokumen lembaga negara di Asia Tenggara sejak beberapa tahun terakhir. Kelompok peretas asal Tiongkok itu juga diduga menguasai komputer milik diplomat Indonesia di Canberra, Australia dalam misi peretasan ke Kantor Premier Australia Barat lewat pesan email.

Keberadaan dan motif peretasan diketahui setelah surat elektronik atau email terkirim dari komputer sang diplomat pada 3 Januari 2020. Operasi peretas Naikon tersebut belakangan tercium oleh perusahaan keamanan siber Checkpoint Software Technologies. Naikon disinyalir melakukan peretasan menggunakan teknologi Aria-body yang disusupkan melalui dokumen dalam email, serta menerapkan metode spear-fishing.

Bacaan Lainnya

Upaya peretasan terhadap perwakilan RI di Australia sontak mendapat respon banyak kalangan. Anggota Komisi 1 DPR R, Sukamta meminta pemerintah secara serius meningkatkan keamanan siber perangkat elektronik yang digunakan oleh diplomat Indonesia. Kejadian peretasan komputer diplomat di Canberra menurutnya jangan sampai terulang karena memiliki konsekuensi yang serius terhadap kebocoran rahasia negara.

“Saat ini serangan siber menjadi ancaman yang semakin nyata, meskipun tidak berbentuk secara fisik tetapi bisa menghadirkan gangguan politik yang serius. Jangan sampai perundingan atau kebijakan kita bocor karena jalur yang kita miliki tidak aman,” ujar Sukamta dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Selasa (12/5).

Dirinya menyatakan kalau keamanan siber para diplomat mudah diterobos, maka akan menurunkan tingkat kepercayaan negara lain terhadap duta besar Indonesia. Hal tersebut terangnya akan sangat berdampak terhadap misi diplomatik yang dilakukan Indonesia. “Kalau keamanan siber para diplomat kita lemah, negara lain akan enggan berkomunikasi dengan kita dalam isu-isu yang sensitif. Pun kalau bahan-bahan diplomasi bocor karena email atau perangkat komunikasi berhasil dibobol, isinya bisa diketahui negara lain, jelas ini akan memperlemah diplomasi kita karena akan mudah diantisipasi negara lain,” ujarnya.

Politisi PKS itu meminta kepada pemerintah terutama Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk meningkatkan kewaspadaan terkait potensi peretasan serta pemerintah segera menyusun protokol keamanan siber yang standar untuk para diplomat. Bahkan ia turut mendorong agar pemerintah bersama DPR segera merampungkan payung hukum terkait keamanan siber.

“Dengan adanya beberapa kasus bobolnya jutaan data pengguna Tokopedia dan Bhinneka serta diretasnya perangkat komputer milik diplomat Indonesia, sudah semakin mendesak untuk bisa diwujudkan UU tentang Ketahanan dan Keamanan Siber yang pada periode lalu belum bisa diselesaikan,” ucap legislator asal Dapil Yogyakarta itu.

Sukamta mengatakan ketiadaan payung hukum kerap membuat rumit koordinasi karena tidak tahu siapa mengerjakan apa, khususnya dalam penanganan kasus peretasan siber milik diplomat RI.

“Belum adanya payung hukum ini membuat koordinasi antar sektor menjadi ruwet. Misal dalam hal peretasan komputer diplomat, siapa yang paling bertanggung jawab, apakah pihak Kemenlu, BIN atau BSSN?. BIN (Badan Intelijen Negara) menyatakan sudah mengetahui keberadaan Aria-Body yang digunakan oleh kelompok Naikon yang diduga berasal dari China sejak 5 tahun terakhir, namun masih ada perangkat komputer diplomat yang berhasil diretas,” ujarnya.

Doktor lulusan University of Salford, Inggris itu mengatakan perlunya koordinasi antar instansi lewat payung hukum atau regulasi. Sehingga tidak ada celah keamanan siber yang terlewati karena sudah dikawal dan dideteksi oleh lembaga yang memiliki kewenangan. “Hal ini menunjukkan masih ada kelemahan dalam ketahanan siber kita, yang boleh jadi bukan karena soal kemampuan teknologi tetapi dari sisi koordinasi antar instansi. Disinilah menjadi penting adanya payung hukum,” katanya.

Dirinya juga kembali mengingatkan agar pemerintah mewaspadai ancaman siber selama masa pandemi Covid-19. Beberapa modus operandi akan semakin kuat digencarkan oleh penjahat siber dengan memanfaatkan celah situasi.

“Mengingat selama pandemi, orang-orang lebih banyak terkoneksi ke internet sehingga sangat rentan untuk diserang. Termasuk dalam hal ini misi diplomasi akan banyak melakukan interaksi secara online, mengingat di berbagai negara diberlakukan lockdown,” pungkasnya. []

Pos terkait