(Sebuah Satire Sejarah dan Bayangan Kekuasaan yang Tak Mau Mati)
Saya tersenyum membaca tulisan di Fusilatnews berjudul “Horor yang Menghantui Pejabat Indonesia: Khawatir di-Nepalkan.” Bukan karena seramnya bayangan “hantu revolusi rakyat,” tetapi karena kebodohan yang terus berulang: mengapa selalu ada pejabat yang memancing kemarahan publik dengan keserakahan yang bahkan hantu pun enggan menakutinya.
Hidup ini sebenarnya sederhana. Makan secukupnya – lebih dari itu membuat kita muntah. Tidur di kasur semahal apa pun takkan membawa nyenyak kalau di kepala gentayangan hantu penjara dan amuk massa.
Namun, manusia modern tampaknya lebih takut kehilangan status ketimbang kehilangan moral. Ketakutan menjadi miskin dan tidak dipandang sering kali mendorong pejabat melampaui batas, menumpuk kekuasaan, dan mengabaikan rasa malu.
Padahal, yang lebih menakutkan dari semua itu adalah dihantui rasa bersalah dan diadili rakyat sendiri.
Ketakutan yang Diciptakan Kekuasaan
Ketika media menulis soal “Indonesia bisa di-Nepalkan,” sebagian elite politik gemetar. Namun ketakutan itu sebetulnya bukan terhadap rakyat, melainkan terhadap konsekuensi dari kerakusan yang mereka bangun sendiri.
Dalam sejarah panjang republik ini, kekuasaan selalu pandai menciptakan ketakutan: rakyat ditakut-takuti oleh bayangan komunisme, fundamentalisme, atau amuk massa.
Padahal, di balik layar, yang memainkan peran “hantu pengendali” adalah mereka yang memegang kendali kekuasaan dan informasi.
Orde Baru menjadi contoh paling konkret bagaimana ketakutan dijadikan alat politik.
Di bawah kendali Soeharto, negara menguasai narasi. Media dikontrol, mahasiswa diawasi, rakyat dibungkam dengan jargon stabilitas nasional.
Namun di sisi lain, preman dipelihara, intel dikirim ke kampus, dan kelompok radikal dimanfaatkan sebagai alat politik.
Malari 1974: Ketika Opsus Menyalakan Api
Kita masih ingat 15 Januari 1974, peristiwa yang kelak dikenal sebagai Malari (Malapetaka Lima Belas Januari).
Kala itu mahasiswa turun ke jalan memprotes dominasi modal asing dan kebijakan ekonomi pemerintah yang dinilai tidak adil.
Namun, di tengah demonstrasi idealis itu, muncul kelompok bayangan yang mengubah protes damai menjadi kerusuhan besar.
Mobil dibakar, toko dijarah, dan ibukota porak-poranda.
Laporan dari berbagai sumber, termasuk BBC dan kesaksian para aktivis, menunjukkan adanya peran Opsus (Operasi Khusus) yaitu unit intelijen politik di bawah komando Ali Moertopo.
Opsus memainkan peran ganda: di satu sisi mengaku menjaga stabilitas, namun di sisi lain menunggangi situasi untuk menyingkirkan lawan politik Soeharto.
Kerusuhan Malari akhirnya dijadikan alasan untuk menindak keras aktivis kampus Universitas Indonesia dan menekan gerakan mahasiswa di seluruh negeri.
Di balik kata “stabilitas”, sesungguhnya berlangsung pembersihan terhadap mereka yang berpikir kritis.
Politik Ketakutan, Preman, dan Kelompok Radikal
Soeharto memahami satu hal dengan amat baik: kekuasaan bisa bertahan bukan karena cinta rakyat, melainkan karena rasa takut. Ia memelihara preman dan membina kelompok-kelompok radikal untuk menciptakan musuh buatan.
Salah satunya adalah kelompok NII (Negara Islam Indonesia) yang direkayasa ulang menjadi isu keamanan nasional.
Ketika kekuasaan membutuhkan musuh, muncullah istilah “Komando Jihad” yaitu kelompok yang dikaitkan dengan upaya menggulingkan negara. Namun berbagai kajian menyebutkan, keberadaan Komando Jihad juga tidak lepas dari operasi intelijen internal Orde Baru sendiri.
Tujuannya jelas: menciptakan alasan bagi negara untuk memperketat kontrol terhadap umat Islam dan memperkuat militerisasi politik dalam negeri.
Setelah kelompok ini tidak lagi dibutuhkan, mereka diberangus melalui operasi Petrus (penembakan misterius) di awal 1980-an.
Ironinya, banyak dari mereka yang dulu digunakan untuk menakut-nakuti rakyat kini menjadi korban dari mesin yang sama.
Sebuah lingkaran setan di mana monster yang diciptakan akhirnya memakan penciptanya sendiri.
Kolaborasi Bayangan: Ali Moertopo dan Pater Beek
Di balik semua itu, ada kolaborasi unik antara seorang jenderal intelijen Ali Moertopo dan Pater Joop Beek SJ.
Dua figur yang tampak berseberangan keyakinan, namun sejalan dalam kepentingan politik yaitu menumpas gerakan kiri dan membatasi pergerakan radikal Islam.
Pater Beek menginisiasi program kaderisasi di Wisma Samadi, Klender, Jakarta Timur.
Program ini menjadi bagian dari upaya membentuk kader muda yang siap menghadapi pengaruh komunisme dan ideologi Islam politik.
Sementara itu, Opsus memberikan perlindungan politik dan dukungan logistik agar kegiatan ini aman dari pengawasan publik.
Rakyat, Preman, dan Amnesia Nasional
Setiap kali rakyat marah, kekuasaan panik. Setiap kali rakyat diam, kekuasaan merasa aman.
Padahal sejarah menunjukkan, ketika rakyat akhirnya bersuara, bukan karena mereka beringas—melainkan karena mereka lelah dibohongi.
Dalam kerusuhan 1998, pola yang sama terulang.
Rakyat yang lapar dijadikan bahan bakar kemarahan, sementara kelompok tertentu mengatur logistik dan arah gerak massa.
Komnas HAM mencatat adanya indikasi kuat bahwa sebagian kekerasan terencana, termasuk serangan terhadap warga Tionghoa dan pembakaran massal.
Tapi lagi-lagi, yang dikorbankan adalah rakyat kecil, sementara dalang besar menghilang dalam kabut transisi kekuasaan.
Kita hidup dalam bangsa yang mudah lupa, dan lupa adalah candu paling ampuh bagi mereka yang ingin terus berkuasa.
Setiap kali ada skandal baru, selalu ada cara untuk mengalihkan perhatian: jargon stabilitas, ancaman komunisme, hingga retorika “jangan seperti Nepal”.
Padahal rakyat tak meminta revolusi berdarah; mereka hanya ingin keadilan dan pemimpin yang tidak mempermainkan nasib mereka.
Cermin Sejarah dan Dosa yang Belum Usai
Jika hari ini para pejabat takut “Indonesia di-Nepalkan,” mungkin bukan karena rakyat yang lapar, tetapi karena bayang-bayang sejarah yang belum selesai.
Hantu yang mereka takutkan bukan rakyat, melainkan bayangan masa lalu yang menuntut balas:
kerusuhan yang direkayasa, operasi intelijen yang menunggangi rakyat, dan dosa politik yang disembunyikan di balik jargon keamanan nasional.
Orde Baru telah tumbang, tetapi warisannya masih hidup dalam mentalitas kekuasaan: anti kritik, penuh sandiwara, dan pandai menciptakan musuh imajiner.
Mereka yang dulu menuduh orang lain sebagai ancaman kini justru takut pada bayangan mereka sendiri.
Sungguh ironis: di negeri yang katanya religius, ketakutan terbesar pejabat bukanlah pada Tuhan, melainkan pada rakyat yang mulai sadar.
Penutup: Hantu yang Tak Bisa Didoakan Pergi
Sejarah Indonesia ibarat rumah tua yang ramai penghuni tak kasat mata.
Hantu masa lalu gentayangan di setiap periode: Malari, Petrus, Komando Jihad, Tragedi Mei.
Dan seperti rumah tua, kita terus menambal dinding tanpa pernah membersihkan akar masalahnya: keserakahan, manipulasi, dan ketidakjujuran.
Hantu yang sesungguhnya bukanlah rakyat, bukan pula komunisme atau fundamentalisme.
Hantu yang paling menakutkan adalah bayangan dosa kekuasaan yang belum diakui.
Dan sebelum bangsa ini berani menatap cermin sejarahnya sendiri, setiap kali rakyat marah, mereka akan kembali berkata:
“Jangan sampai Indonesia di-Nepalkan.”
Padahal, yang lebih mengerikan dari revolusi rakyat adalah kelanjutan kebohongan tanpa akhir.
Tulisan ini merupakan refleksi atas sejarah yang terus berulang dalam wajah kekuasaan Indonesia.
Biodata Penulis:
Novita Sari Yahya adalah penulis dan peneliti yang fokus pada kajian sejarah politik Indonesia, khususnya Orde Baru dan transisi demokrasi. Ia aktif menulis artikel dengan pendekatan kritis dan reflektif, mengajak pembaca untuk memahami dinamika kekuasaan dan dampaknya pada masyarakat.
Daftar Referensi
1. Fusilatnews. Horor yang Menghantui Pejabat Indonesia: Khawatir di-Nepalkan. 2025.
“https://fusilatnews.com/horor-yang-menghantui-pejabat-pejabat-indonesia-khawatir-di-nepalkan” (https://fusilatnews.com/horor-yang-menghantui-pejabat-pejabat-indonesia-khawatir-di-nepalkan)
2. BBC Indonesia. Orde Baru: Mafia Berkeley, Ali Moertopo, hingga Opsus. 2025.
“https://www.bbc.com/indonesia/articles/clyvv72l72wo” (https://www.bbc.com/indonesia/articles/clyvv72l72wo)
3. RMOL.ID. Islam Radikal Peliharaan Orde Baru. 2017.
“https://rmol.id/politik/read/2017/05/30/293409/islam-radikal-peliharaan-orde-baru” (https://rmol.id/politik/read/2017/05/30/293409/islam-radikal-peliharaan-orde-baru)
4. Voice of Indonesia. Api Suci Pater Beek, CSIS, dan Ali Moertopo. 2019.
“https://www.voiceofindonesia.com/politics/details/74/Api-Suci-Pater-Beek-CSIS-dan-Ali-Murtopo” (https://www.voiceofindonesia.com/politics/details/74/Api-Suci-Pater-Beek-CSIS-dan-Ali-Murtopo)
5. Komnas HAM RI. Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Tragedi Mei 1998.
“https://id.wikisource.org/wiki/Laporan_Tim_Gabungan_Pencari_Fakta_(TGPF)_Peristiwa_Tanggal_13-15_Mei_1998” (https://id.wikisource.org/wiki/Laporan_Tim_Gabungan_Pencari_Fakta_(TGPF)_Peristiwa_Tanggal_13-15_Mei_1998)
6. Tempo Magazine. Petrus: Teror Negara dan Bayang-Bayang Ketakutan. 2014.





