Kumbanews.com – Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) menyampaikan lima catatan kritis terkait materi muatan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 alias Perppu Corona. Pertama, Perppu ini berpotensi mengembalikan kekuasaan absolut dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh presiden.
“Pasal 12 Perpu No 1/2020 telah memberikan ruang kepada presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar perpres. Hal ini sama saja dengan menghilangkan checks and balances, salah satu karakteristik yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi suatu negara,” kata Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mustafa Fakhri, Selasa (12/5).
Menurut dia, kondisi ini akan membuat celah kepada presiden untuk dapat bertindak absolut dalam menentukan anggaran keuangan negara tanpa adanya persetujuan dari rakyat melalui DPR. Padahal, salah satu gagasan besar dari dicetuskannya Gerakan Reformasi 22 tahun silam adalah perlawanan terhadap absolutisme eksekutif.
Kedua, substansi dari Pasal 27 Perppu 1/2020 yang menjadikan sejumlah pengawasan konstitusional yang dilakukan DPR maupun kewenangan lembaga yudisial dalam menyidangkan perkara terkait penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat publik dalam penanggulangan Covid-19 menjadi hilang. Pasal 27 dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada semua pihak yang disebutkan dalam Perppu 1/2020, termasuk juga pengguna anggaran.
“Bahkan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu 1/2020 bukanlah merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN,” ujarnya.
Ketiga, Pasal 28 Perpu 1/2020 yang meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN. Perubahan APBN 2020 menurut Perppu ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden, yakni Perpres Nomor 54/2020.
Padahal, kata dia, APBN adalah wujud pengelolaan keuangan negara, yang dengan kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya, yang diwakili oleh DPR. Selain itu, pembentukan APBN juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 23 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945. Dengan demikian, pasal ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini.
Keempat, Perppu 1/2020 juga memiliki pendekatan yang tidak mencirikan kebutuhan spesifik terkait dengan penanganan Covid-19 di Indonesia. Dalam perppu ini, menurut dia, tidak tergambar secara jelas bagaimana public health policy atau kebijakan kesehatan umum yang diharapkan masyarakat dalam menanggulangi pandemi ini.
“Maka, perlunya pemisahan dua konsep penyelamatan yang diatur dalam Perppu 1/2020, sehingga perlu ada dua pengaturan (perppu) terpisah yakni Perppu Covid-19 dan Perppu tentang Stabilitas Keuangan Negara,” ujar Mustafa.
Selain itu, dia menekankan perlunya pengaturan baru tentang Perppu Covid-19 yang memiliki kandungan yang terkait dengan kebijakan kesehatan publik seperti pengaturan mengenai jaminan ketersediaan peralatan medis, farmasi, kebijakan kesehatan, serta kebijakan kesehatan masyarakat terkait Covid-19. DPR harus menolak perppu ini dalam sidang paripurna.
“Agar pemerintah dalam keadaan normal dan tidak dihantui unsur kegentingan memaksa, dapat memperbaiki kembali substansi dari Perppu sehingga kebijakan terkait penyelamatan keuangan negara dan upaya menghadapi Covid-19 ini dapat lebih tertata dan tepat sasaran,” katanya.
Dia juga meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengabulkan permohonan pengujian Perpu 1/2020 yang saat ini masih berlangsung. Dengan demikian, Perpu tersebut tidak lagi memiliki daya ikat dan dinyatakan inkonstitusional. []