Kumbanews.com – Setelah menuai kritikan dari Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani mendadak minta rapat dengan DPR secara segera. Hal ini diketahui dari surat bernomor S- 426/MK/2020 tertanggal 19 Mei 2020 dan bersifat segera.
Surat permintaan rapat dilayangkan ke pimpinan Komisi XI DPR yang berisikan, Menteri Keuangan menyampaikan bahwa dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 6 Mei 2020 terdapat butir kesimpulan bahwa Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan LPS akan berkonsultasi dengan DPR terkait kebijakan, regulasi, dan program penyelamatan perekonomian nasional dan prakiraan kebutuhan pembiayaan untuk penyelamatan perekonomian nasional, beserta sumber pembiayaan dan pembagian risiko dan beban.
“Sehubungan dengan hal tersebut, kami mengharapkan kesediaan pimpinan untuk menjadwalkan rapat secara virtual antara Komisi XI DPR RI dan KSSK guna membahas perihal dimaksud dalam konsteks pemulihan ekonomi nasional. Adapun waktu pelaksanaan rapat dapat menyesuaikan dengan agenda Komisi XI DPR RI,” isi surat Sri Mulyani.
Surat itu diteken oleh Sri Mulyani dan ditembuskan kepada pimpinan DPR RI, Gubernur BI, Ketua Dewan Komsioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS.
Permintaan rapat bersama DPR tersebut menui respons Ketua Komisi XI DPR, Dito Ganinduto pada 20 Mei 2020, dengan meminta izin kepada Ketua DPR yang direncanakan pada Selasa, 26 Mei mendatang.
“Mengingat pentingnya rapat tersebut dan mengingat pula bahwa rapat kerja diadakan pada masa reses, Komisi XI DPR RI mengharapkan izin ketua DPR RI,” demikian surat yang ditandatangani Dito.
Berdasarkan hasil penulusuran, permohonan izin rapat antara Komisi XI dengan KSSK itu telah mendapat persetujuan pimpinan dewan melalui surat nomor PW/05891/DPR RI/V/2020, yang diteken Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Beberapa hari terakhir, kebijakan Sri Mulyani menuai kritik dewan. Pertama terkait defisit APBN 2020 yang dipatok Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen dari PDB yang berubah karena mengacu Perpres 54/2020 dinaikkan menjadi Rp 852,9 triliun atau 5,07 persen dari PDB, belakangan diubah lagi jadi Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen dari PDB.
Berikutnya, Menke terbaik sedunia itu dianggap ngawur dan tidak konsisten dalam menyusun skema penempatan dana pemerintah di bank-bank penyangga likuiditas dalam negeri atau bank jangkar sebesar Rp 87,59 triliun.
Skema yang Menkeu sampaikan bahwa penempatan dana pemerintah itu bukan merupakan penyangga untuk membantu likuiditas bank.
Namun dalam penjelasannya, dinyatakan bahwa bank pelaksana atau bank yang melakukan restrukturisasi kredit/kekurangan likuiditas, menyampaikan proposal penempatan dana kepada bank peserta atau bank jangkar berdasarkan restrukturisasi yang dilakukan, jumlah dana yang dibutuhkan, dan seterusnya.
Saat dikonformasi, anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengaku juga telah mengetahui surat permohonan Menkeu Sri Mulyani untuk mengadakan rapat kerja dengan komisi keuangan dewan.
“Makanya ngomong defisit dan postur APBN jangan ke media Bu Haji (Sri Mulyani), tetapi ke Komisi XI. Setelah diteriakin baru minta rapat. Pintar wajib, tapi jangan kepintaranlah,” ujar Heri Gunawan, Jumat (22/5).
Jelas dia, ini adalah negara demokrasi, ada tataran antara eskekutif, legislatif dan yudikatif. Dia berharap, semoga dukungan politik DPR kepada pemerintah tidak disalahartikan oleh Menkeu.
“Belajarlah menghormati kesepakatan politik yang sudah dibuat. Komunikasikanlah baik-baik,” ungkap Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR ini. (Rm)