Kumbanews.com – Sekelompok pemburu hiu Afrika Selatan tanpa sengaja menemukan populasi ikan yang diyakini telah lama punah oleh komunitas ilmiah.
Populasi ikan tersebut bukan hewan laut biasa karena ikan ini diketahui sudah hidup di zaman dinosaurus.
Ikan coelacanth atau yang dikenal sebagai ikan fosil berkaki empat diketahui sudah eksis di lautan planet ini 420 juta tahun yang lalu.
Kini, dalam sebuah laporan terbaru, coelacanth ditemukan hidup dengan sehat di Samudera Hindia Barat di lepas Pantai Madagaskar.
Mengutip Newsweek, Selasa (25/5/2021) keberadaan coelacanth ini kembali terdeteksi berkat nelayan yang menggunakan jaring dalam ekspedisi berburu hiu.
Jaring berteknologi tinggi yang seharusnya digunakan untuk menangkap hiu itu mencapai tempat berkumpulnya ikan coelacanth yang berada di 100 hingga 150 meter di bawah permukaan air.
Terima kasih telah membaca Kompas.com.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Mengutip Gizmodo, bukti keberadaan ikan coelacanth ini sebenarnya diketahui pertama kali pada 1938. Saat itu sekelompok nelayan juga menemukan ikan purba tersebut.
Ilmuwan pun dibuat kaget dengan temuan tersebut karena bukti soal ikan ini pernah hidup di Bumi hanya dalam bentuk fosil.
Sejak tangkapan yang luar biasa itu, ratusan spesimen coelacanth telah ditangkap di sekitar Madagaskar.
Tetapi berhubung tak ada studi konservasi formal yang dilakukan, tak ada yang tahu seberapa baik populasi tersebut.
Penemuan coelacanth menjadi temuan penting bagi ilmu pengetahuan. Sayangnya, sebuah studi yang dipublikasikan di SA Journal of Science menunjukkan bahwa coelacanth mungkin menghadapi ancaman baru untuk bertahan hidup seiring dengan peningkatan perburuan hiu yang berkembang pesat pada 1980-an.
“Jaring Jarifa yang digunakan untuk menangkap hiu adalah inovasi yang relatif baru dan lebih mematikan karena ukurannya yang besar dan dapat dipasang di perairan dalam,” tulis peneliti dalam studi mereka.
Hal tersebut membuat peneliti khawatir jika coelacanth berisiko untuk dieksploitasi, terutama di Madagaskar.
“Ada kekhawatiran bahwa jaring jarifa sekarang menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup coelacanth di Madagaskar,” tulis mereka.
Lebih lanjut penulis utama Andrew Cooke mengatakan kepada Mongabay News bahwa dia dan para peneliti lainnya terkejut dengan peningkatan penangkapan coelacanth yang tidak disengaja.
“Kami terkejut dengan jumlah yang tertangkap. Meski belum ada proses proaktif di Madagaskar untuk memantau atau melestarikan coelacanth,” katanya.
Temuan yang cukup banyak jumlahnya ini membuat Madagaskar berpotensi sebagai pusat dari berbagai subspesies coelacanth sehingga sangat penting bahwa langkah-langkah konservasi diambil untuk melestarikan spesies purba tersebut.
Sayangnya, meski Cooke mendokumentasikan kasus penemuan coelacanth dan dugaan perdagangan, tak semua peneliti mendukung upaya konservasi itu.
Peneliti kelauan pemerintah Madagaskar Paubert Tsimanaoraty Mahatante mengatakan kepada Mongabay News bahwa dia tidak peduli dengan spesies yang menjadi komoditas para pemburu.
Terlepas dari itu, Cooke dan timnya ingin terus mengdukasi masyarakat tentang spesies Coelacanth yang unik berdasarkan penelitian mereka selama sekitar 40 tahun.
Coelacanth bukan satu-satunya spesies yang ditemukan kembali setelah “punah” dalam populasi lokal.
Pada bulan April, ular laut yang sangat berbisa ditemukan di Australia untuk pertama kalinya dalam 23 tahun.(*)