Indonesia Tertinggal dari Nigeria sebagai Negara Paling Dermawan

Ilustrasi/Net

Kumbanews.com – Pemeringkatan dalam laporan World Giving Report (WGR) 2025 terkait negara paling dermawan di dunia, tidak lagi menempatkan Indonesia dalam peringkat teratas.

Bacaan Lainnya

WGR sebagai pengembangan dari World Giving Index (WGI), mencatat negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi bukan berasal dari kelompok negara maju, melainkan mayoritas dari negara-negara berkembang, terutama di Afrika.

Indonesia yang pada tahun 2017 dicatat WGI menempati posisi puncak negara dermawan global, mengalami penurunan drastis pada tahun ini menjadi di urutan 21 dari 101 negara yang disurvei.

Sementara laporan yang dirancang untuk memberikan gambaran lebih lengkap dan inklusif tentang kegiatan kedermawanan di seluruh dunia, menempati Nigeria pada posisi pertama.

Executive Director Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Hamid Abidin mengomentari penurunan peringkat Indonesia sebagai negara dermawan.

Katanya, turunnya peringkat Indonesia di WGR 2025 sebagai hal yang wajar karena penelitian ini menggunakan metodologi yang berbeda, yang lebih terperinci dan inklusif dengan memasukkan aspek nilai donasi terhadap pendapatan serta keragaman jalur pemberian.

“Pendekatan ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kedermawanan global dibanding WGI yang mengandalkan frekuensi aktivitas memberi,” ujar Hamid dalam keterangan tertuliS, Sabtu, 2 Agustus 2025.

Dia menjelaskan, perubahan itu juga berpengaruh terhadap rangking negara-negara yang sebelumnya menduduki posisi atas di WGI, meskipun Indonesia tetap menunjukkan kedermawanan tinggi secara global.

“Indonesia tidak lagi menduduki posisi pertama dan tergeser oleh negara-negara dengan proporsi pendapatan donasi yang lebih besar, seperti Nigeria, Mesir dan cHINA, yang menempati 3 urutan teratas,” urainya.

Menurutnya, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amal atau filantropi sebagai faktor kunci dalam membangun budaya kedermawanan yang kuat, berkorelasi dengan budaya menyumbang masyarakat.

“Tingkat partisipasi dan nilai donasi masyarakat jauh lebih tinggi jika mereka menilai lembaga filantropi/amal di negaranya dapat dipercaya dan memiliki peran penting dalam kehidupan sosial,” ucapnya.

Tren itu, kata Hamid, juga tergambar dalam WGR 2025 yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan kepercayaan tinggi pada organisasi amal filantropi (Afrika dan asia) menunjukkan tingkat partisipasi dan donasi yang lebih tinggi.

Secara global, dia mengurai skor rata-rata untuk penilaian pentingnya peran lembaga amal dalam masyarakat adalah 10,98 dari 15, sedangkan skor kepercayaan terhadap Lembaga amal adalah 9,22 dari 15.

“Tingkat kepercayaan ini berperan ganda, tidak hanya mendorong masyarakat untuk berkontribusi secara finansial, tetapi juga mendukung keterlibatan sukarela dan advokasi yang menyokong keberlanjutan sektor filantropi dan nirlaba,” katanya.

Untuk itu, Hamid mengingatkan kebijakan dan dukungan pemerintah dalam membangun ekosistem filantropi yang berdampak pada meningkatnya keterlibatan dan jumlah donasi masyarakat, harus dikedepankan.

Pasalnya, WGR 2025 mencatat tingginya donasi di 42 negara yang pemerintahnya dinilai aktif mendorong kegiatan filantropi, rata-rata pendapatan yang didonasikan oleh masyarakat lebih tinggi 1,7 kali lipat dibanding negara di mana pemerintah tidak mendorong kegiatan filantropi.

Karenanya, Hamid memandang laporan WGR 2025 menunjukkan potensi besar Indonesia menjadi pemimpin filantropi di kawasan Asia Tenggara, jika dukungan kebijakan pemerintah dan peningkatan kapasitas dan akuntabilitas lembaga filantropi terus ditingkatkan.

Terlebih, dia memperhatikan budaya kedermawanan yang kuat di Indonesia yang diperkaya oleh motivasi agama dan sosial, tapi sayangnya banyak regulasi terkait filantropi sudah usang, bersifat restriktif, dan tidak menyediakan insentif yang memadai bagi perkembangan kedermawanan.

Karena, UU 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) yang sampai saat ini masih jadi rujukan bagi kegiatan penggalangan sumbangan di Indonesia. Sementara kebijakan insentif pajak untuk donasi di Indonesia juga jauh tertinggal dibanding negara-negara lain di dunia, bahkan di Asia Tenggara.

“Secara global, Indonesia menjadi contoh inspiratif bagaimana negara berkembang dapat menggabungkan tradisi sosial dan modernisasi dalam meningkatkan kedermawanan yang berkelanjutan, sekaligus menunjukkan bahwa filantropi memainkan peran vital dalam pembangunan sosial di tengah tantangan ekonomi dan perubahan sosial yang dinamis,” ungkapnya.

“Potensi kedermawanan ini bisa lebih optimal jika pemerintah segera merevisi regulasi PUB yang sudah usang dan meningkatkan insentif pajak yang saat ini cakupan dan nilainya masih minim,” demikian Hamid menambahkan.

 

 

 

 

Sumber: RMOL

Pos terkait