Ini Tragedi Sepak Bola Paling Mematikan Sepanjang Masa

  • Whatsapp

Kumbanews.com – Tragedi Kanjuruhan usai laga Arema vs Persebaya Surabaya merupakan insiden paling buruk sepanjang sejarah sepak bola di Indonesia bahkan termasuk dunia. Tragedi ini merupakan hal yang paling mematikan kedua di dunia setelah tragedi 50 tahun lalu di Lima, Peru.

Menurut kabar terakhir dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malang pada Minggu (2/10/2022) pukul 09.20 WIB korban jiwa dalam tragedi kanjuruhan hari ini telah bertambah dari 127 jiwa menjadi 187 jiwa. Polres Malang juga melaporkan, sebagian besar korban belum berusia 17 tahun dan belum memiliki KTP, seperti ditulis oleh Singosari 65153 di laman Facebooknya Minggu pagi saat ia menghimbau warga malang untuk menyertakan ciri-ciri keluarganya yang belum pulang untuk proses identifikasi korban jiwa.

Bacaan Lainnya

Tak jauh beda dengan tragedi Peru 1964, tragedi Kanjuruhan Malang memiliki pemicu yang sama yaitu gas air mata yang ditembakkan oleh aparat dan para penonton yang saling berdesakan di stadion.

Para suporter di Kanjuruhan tewas karena sesak nafas usai terkena gas air mata. Aparat keamanan juga terpaksa melepaskan gas air mata untuk membubarkan suporter yang rusuh usai Arema menelan kekalahan 2-3 dari Persebaya.

Sama halnya dengan tragedi Peru 1964 yang para suporternya tewas akibat ada tembakan gas air mata untuk membubarkan kerusuhan.

Tragedi Kanjuruhan Malang ini juga menjadi sorotan dunia, pasalnya jumlah korban jiwa sangat banyak dan ada pelanggaran penggunaan gas air mata yang kini tidak lagi diperbolehkan oleh FIFA saat pertandingan berlangsung. Selain itu, hal ini juga menjadi trending topik di Twitter, banyak juga netizen yang menyampaikan belasungkawa terhadap para korban dan mengkritisi hal-hal yang terjadi di lapangan.

Kronologi Tragedi Lima, Peru

Tragedi Lima (Peru 1994) – Tragedi berdarah ini terjadi pada tanggal 24 Mei 1964. Berlangsung di Stadion kebanggan rakyat Peru yaitu Estadion Nacional Peru merenggut 328 nyawa melayang disebabkan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. (AFP)

Jika kita kembali pada peristiwa di Lima, 24 Mei 1964, Peru menjamu Argentina di Estadio Nacional di Lima yang merupakan bagian dari kualifikasi Olimpiade Tokyo. Saat itu Peru menyisakan dua pertandingan dan salah satunya adalah melawan Argentina, seperti dikutip dari laman Football Stadiums, Sabtu (2/10/2022).

Peru yakin bahwa mereka bisa lolos ke Olimpiade, tetapi, Brazil–penakluk seluruh tim–harus mereka hadapi di akhir. Maka dari itu, mereka setidaknya harus mendapatkan hasil imbang saat melawan Argentina agar mereka lolos kualifikasi Olimpiade Tokyo.

Sebanyak 53.000 orang hadir di Estadio Nacional untuk menyaksikan pertandingan Peru vs Argentina. Sebenarnya, jumlah tersebut 5% lebih banyak dari jumlah penduduk di Lima.

Di enam menit sisa waktu normal, salah satu pemain bertahan Argentina berusaha menghalau bola, tetapi pemain Peru, Kilo Lobaton, mengangkat kakinya untuk menghalau bola. Bola berakhir di belakang gawang tetapi wasit pertandingan, seorang Uruguay bernama Ángel Eduardo Pazos, menyatakan itu sebagai pelanggaran dan menganulir gol tersebut.

Saat itu, posisi Peru tertinggal 0-1 dari Argentina dan para pendukung tuan rumah tidak terima akan keputusan wasit. Seorang penonton lokal, yang dikenal dengan nama Bomba, berlari ke lapangan dan berusaha meninju wasit sebelum dihentikan oleh polisi dan diusir dari lapangan permainan. Penggemar tuan rumah lainnya bernama Edilberto Cuenca juga berlari ke lapangan untuk mengekspresikan kekecewaannya terhadap keputusan wasit.

Cuenca kemudian diserang secara brutal oleh Polisi. Lalu, para aparat yang berasal dari Lima mulai menendang dan memukulinya serta anjing-anjing aparat merobek-robek pakaiannya. Hal ini membuat marah massa karena tidak percaya bahwa polisi melakukan hal tersebut kepada salah satu dari mereka.

Kerumunan massa mulai melemparkan berbagai benda ke arah para petugas di lapangan dan beberapa mencoba masuk ke dalam lapangan permainan. Mereka yang tidak ingin terlibat dalam kekerasan berusaha meninggalkan stadion dengan menuruni tangga menuju gerbang keluar. Namun ketika mereka sampai di sana, mereka mendapati bahwa gerbang itu tertutup sehingga mereka berbalik arah untuk kembali ke tribun.

Pada saat itu polisi mulai melepaskan gas air mata ke dalam lapangan. Hal itu mengakibatkan orang-orang dari tribun berlari menuju terowongan yang sama untuk melarikan diri, tetapi mereka justru saling bertabrakan dengan orang sudah lebih dulu berada di gerbang yang terkunci. Tembakan gas air mata sebagian besar diarahkan ke tribun Utara dengan harapan bahwa hal itu akan menghalangi orang-orang untuk berlari ke lapangan. Sebaliknya, hal itu menyebabkan mereka yang berada di tribun panik dan terjadilah eksodus massal.

Karena gerbang di pintu keluar terbuat dari baja bergelombang, bukan gerbang standar yang digunakan di sebagian besar stadion sepak bola, gerbang-gerbang itu tidak dapat didobrak dan mereka yang berada di bagian bawah tangga berhimpitan. Mereka terjepit di dekat daun jendela dan tidak bisa melarikan diri.

Orang-orang yang masih berada didalam stadion berhasil terhindar dari cedera dan kematian, kecuali yang tewas karena asfiksia di dalam terowongan yang mengarah ke luar stadion.

Namun, kekacauan tidak berakhir setelah pintu-pintu tersebut dibuka. Setelah pintu terbuka, mereka yang selamat perkelahian dengan polisi bersenjata di jalanan.

Pemicu yang Sama

Tetapi pihak keamanan melakukan kebijakan yang kontroversial. Mereka justru menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang terus merengsek ke dalam lapangan. Langkah tersebut justru membuat kondisi di lapangan makin runyam. (AP/Yudha Prabowo)

Menurut penuturan salah satu penonton yaitu Rezqi Wahyu, melalui akun Twitternya, titik pemicu kerusuhan dimulai setelah peluit akhir babak kedua dibunyikan. Saat itu, pelatih Arema dan manajer tim mendekati tribun timur dan meminta maaf ke suporter di tribun menggunakan gesturnya. Dari sisi yang lain, ada satu suporter dari arah tribun selatan nekat masuk mendekati Sergio Silva, diikuti oleh beberapa oknum lain yang masuk untuk meluapkan kekecewaannya kepada pemain Arema.

Setelah itu, kericuhan bermulai dan terjadi lempar-lemparan benda ke arah lapangan. Karena itu, pihak aparat berupaya memukul mundur para suporter dengan berbagai tindakan dan terjadi saling serang antar suporter dan pihak aparat.

Lalu, aparat menembakkan gas air mata ke arah suporter yang ada di lapangan dan terjadi kericuhan di tribun. Dari tribun suporter yang panik berlarian mencari pintu keluar yang sudah sesak karena dipenuhi para suporter yang panik terkena gas air mata. Sama halnya dengan suporter di dalam stadion yang sesak karena gas air mata yang sudah memenuhi stadion dan mereka terjebak di sana karena pintu keluar stadion penuh. Selain itu, di luar stadion juga terlihat kondisi suporter yang tumbang, berlumuran darah, mobil hancur, dan terjadi kericuhan dan lempar-lemparan.

Apa yang terjadi di Kanjuruhan, nampaknya tidak berbeda dengan apa yang terjadi di Lima.

Suporter yang ricuh, aparat yang menembakan gas air mata ke berbagai penjuru untuk memukul mundur para suporter, serta kondisi pintu keluar yang sesak menjadikan tragedi ini sebagai tragedi terburuk sepanjang sejarah sepak bola dunia.

Korban Jiwa

Zoe Nassimoff dari Argentina melihat bendera putih untuk mengenang orang AS yang meninggal karena COVID-19 dalam instalasi seni sementara seniman Suzanne Brennan Firstenberg ‘Di Amerika: Ingat’ di National Mall, Washington, AS, Jumat (17/9/2021). (AP Photo/Brynn Anderson)

Di Lima, Hakim yang ditunjuk untuk menyelidiki bencana tersebut kemudian memutuskan bahwa mereka yang tewas akibat tembakan tidak akan dimasukkan dalam penghitungan resmi kematian akibat bencana itu sendiri. Jumlah resmi kematian adalah 328 orang, tetapi kemungkinan besar jumlahnya jauh lebih banyak dari itu, dengan banyaknya laporan tentang orang-orang yang tewas akibat luka tembak.

Sehari setelah bencana tersebut, pemerintah mengumumkan masa berkabung selama tujuh hari bagi mereka yang telah meninggal. Bendera nasional dikibarkan setengah tiang dan semua acara publik dibatalkan. Kemudian kapasitas Estadio Nacional diturunkan sekitar 11.000 hingga 42.00. Sejak saat itu, Estadio Nacional direnovasi beberapa kali.

Di Indonesia sendiri tragedi ini diketahui memakan 187 korban jiwa dan banyak lagi yang terluka.

Meskipun jumlah kematian resmi belum dirilis dari tragedi di Kanjuruhan, tapi jumlah sementara masih 38 orang lebih banyak daripada jumlah korban yang tewas dalam Bencana Hillsborough, Bencana Burden Park, Bencana Kebakaran Bradford, Bencana Heysel dan Bencana Ibrox tahun 1971.

Pos terkait