Kumbanews.com – YAHUDI ada dimana-mana termasuk di Cina. Sejak tahun lalu, pemerintah Cina telah sangat membatasi kegiatan spiritual Yahudi Cina di Kaifeng, sebuah kota di Cina tengah yang telah menjadi rumah bagi komunitas kecil Yahudi yang sudah ada lebih seribu tahun.
Warga di Kaifeng dilarang berkumpul bersama untuk memperingati hari Paskah atau hari-hari liburan Yahudi lainnya, organisasi yang membantu penemuan kembali Yahudi. Demikian pula tanda-tanda dan peninggalan masa lalu Yahudi di kota itu telah dihapus dari tempat-tempat umum wilayah itu, demikian The New York Times melaporkan.
Tindakan keras ini merupakan bagian dari kampanye pemerintah untuk membatasi pengumpulan kolektif kelompok agama. Pada bulan April tahun ini, Presiden Xi Jinping menyerukan upaya lebih kuat dalam mengelola dan menegakkan aturan Cina pada urusan agama, mempertahankan “prinsip kemandirian agama dan self-administrasi,” dan membantu kelompok agama nasionalisme Cina agar beradaptasi dengan masyarakat sosialis.
“Dia juga menekankan bahwa kelompok agama seharusnya tidak mempengaruhi urusan pemerintahan, tetapi harus sejalan dengan hukum Cina dan membantu keberhasilan negeri ini.
Alasan pembatasan tertentu pemerintah Cina terhadap orang-orang Yahudi Kaifeng tidak diketahui, tetapi beberapa menyarankan agama sebagai faktor potensial. Cina memiliki lima agama yang diakui negara: Buddhisme, Taoisme, Islam, Katolik, dan Protestan – Yudaisme tidak salah satu dari mereka.
Dalam sebuah artikel New York Times baru-baru ini pada orang-orang Yahudi Kaifeng, salah satu pengusaha Kaifeng merasa bahwa pembatasan adalah karena “takut tentang agama, tidak hanya kami orang-orang Yahudi.”
Seorang pria lain Yahudi di Kaifeng menyuarakan pandangan yang sama, menyatakan, “Jangan masuk wilayah politik… Kami hanya ingin pengakuan sebagai orang Yahudi. ”
Menurut New York Times, dari Kaifeng 4,5 juta orang, hanya sekitar 1.000 mengklaim sebagai mewarisi tradisi Yahudi. populasi Yahudi di kota itu adalah salah satu komunitas Yahudi tertua didirikan di Cina.
Meskipun asal mereka tidak diketahui, salah satu spekulasi populer, menurut Sino-Yahudi Institute, adalah bahwa dinasti kaisar Lagu mengundang mereka ke Cina. Pada 1990-an, orang-orang Yahudi Kaifeng mengalami kebangkitan agama, termasuk kenaikan kelas, layanan, dan migrasi ke Israel.
Dalam sebuah wawancara New York Times, peneliti Moshe Yehuda Bernstein membahas bahwa Yahudi Kaifeng telah berkembang menjadi menjadi penduduk Cina Yahudi selama bertahun-tahun.
Tindakan keras terhadap Yahudi Kaifeng datang di tengah-tengah berkembang hubungan Cina-Israel. Baru-baru ini, Cina dan Israel membahas kesepakatan perdagangan bebas antara kedua negara. media negara juga membayar penghormatan kepada negarawan Israel Shimon Peres, yang meninggal pada 28 September 2016 lalu.
Yudaisme memiliki sejarah tidak begitu lama, tapi masih penting di Shanghai. Selama Perang Dunia II, Shanghai menjabat sebagai surga bagi pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari kekerasan di Eropa, seperti yang dijelaskan dalam situs baru ini dirilis, pameran foto di Dallas, dan tentu saja, Pengungsi Yahudi Shanghai Museum.
Yahudi Memorial Park di Kabupaten Qingpu, Shanghai, yang dibuka pada tahun 2015, didedikasikan untuk hampir 20.000 pengungsi Yahudi yang melarikan diri ke Shanghai untuk menghindari penganiayaan Nazi. Untuk mendalami kisah mereka bisa dilihat di laman Weibo Post. Seperti pada perayaan Rosh Hashanah, Tahun Baru Yahudi, warga Kaifeng mengharap adanya perdamaian.
Masuk Tentara Israel
Sebelumnya seperti ditulis albalad.co, Agustus 2015 suatu hari di musim dingin, tiga pemuda dari Yerusalem bernama Moshe Li, Gideon Fan, dan Yonatan Xue muncul di pusat pendaftaran angkatan bersenjata Israel di Tel Hashomer untuk bergabung menjadi tentara.Bareng ribuan pemuda lainnya, ketiganya menjalani seleksi.
Kondisi ini lazim berlaku saban tahun ketika calon-calon taruna peserta wajib militer mulai mendaftar. Wajib militer di negara Zionis itu berlangsung tiga tahun bagi lelaki dan dua tahun buat perempuan.
Tapi keputusan Li, Fan, dan Xue untuk menjadi serdadu Israel sangat unik dan bersejarah. Mereka termasuk orang Cina berdarah Yahudi pertama bakal mengenakan seragam militer berwarna hijau zaitun.
Ketiganya berasal dari Kaifeng, kota di Cina pernah menjadi basis komunitas Yahudi seribu tahun lamanya sebelum terjadi asimilasi di abad ke-19. Kota di Provinsi Hinan ini berjarak 656,6 kilometer dari Ibu Kota Beijing. Kaifeng pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Cina semasa Dinasti Song.
Mereka sudah menempuh perjalanan amat jauh dan sukar untuk memperoleh pengakuan sebagai Yahudi dan bisa menjadi warga negara Israel.
Paras mereka mirip orang Cina. Tidak seperti Yahudi Ashkenazi berdarah Eropa dan berupa bule atau Yahudi Sephardi, penduduk asli Timur Tengah berwajah Arab.
Sayangnya, ketiganya waktu itu sudah berumur 25 tahun, tidak bisa diterima. Militer Israel lebih memilih anak-anak muda Yahudi berusia 18 tahun, syarat minimal untuk menjalani wajib militer.
Sejak pindah ke Israel pada 2009, mereka bersumpah ingin berkontribusi bagi negara dan bangsa Yahudi.
Setelah melalui prosedur birokrasi rumit dan melelahkan, Li, Fan, dan Xue bareng empat orang Yahudi bermata sipit lainnya diterima menganut Yudaisme. Mereka pun mulai belajar bahasa Ibrani dan menjadi orang Israel.
Mereka lantas bareng-bareng mendaftar menjadi prajurit. Jawaban mereka terima lambat, sudah begitu mengecewakan. Cuma ucapan terima kasih.
Berbulan-bulan ketujuh Yahudi keturunan Cina ini memohon agar bisa diterima. Berkat campur tangan mantan Kepala Rabbi Militer Brigadir Jenderal Avichai Rontzki, mimpi mereka terkabul.
Kenapa mereka begitu ngotot ingin mengabdi buat militer Israel, jawaban Li barangkali terdengar klise. “Para leluhur saya hidup di Cina seribu tahun sebelum berasimilasi, jadi mereka tidak berjasa bagi Israel dan masyarakat Yahudi,” katanya. “Jadi saya ingin memperbaiki itu. Saya ingin melakukan sesuatu untuk bangsa ini.”
Orang-orang Yahudi diyakini pertama kali mendiami Kaifeng di abad kedelapan ketika Dinasti Song berkuasa atau mungkin sebelum itu. Para ahli menjelaskan pendatang perdana ini adalah para pedagang Yahudi Sephardi dari Persia atau Irak. Mereka tiba di Kaifeng lewat Jalur Sutera dan diizinkan kaisar Cina menetap di sana.
Pada 1163 komunitas Yahudi di Kaifeng membangun sebuah sinagoge indah dan besar, akhirnya direnovasi dan dibangun ulang berabad-abad kemudian. Jumlah orang Yahudi di Kaifeng mencapai puncaknya selama pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644), yakni lima ribu.
Hingga abad ke-17, banyak orang Yahudi Cina menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sejalan menguatnya pembauran lewat kawin campur, sampai pertengahan abad ke-18 sebagian besar tradisi Yahudi dan Yudaisme di Kaifeng lenyap.
Rabbi terakhir dalam komunitas Yahudi di Kaifeng dipercaya mengembuskan napas terakhir di awal abad ke-19. Sinagogenya hancur dihantam serangkaian banjir pada 1840-an.
Pada 1920-an ilmuwan Cina bernama Chen Yuan menulis sejumlah artikel ilmiah mengenai perjanjian soal agama di negara itu, termasuk “Sebuah Penelitian tentang Agama Yahudi di Kaifeng.” Yuan menekankan masih ada sejumlah keturunan Yahudi di kota itu berusaha memelihara tradisi dan ritual mereka, seperti merayakan Hari Yom Kippur.
Saat ini Kaifeng berpenduduk lebih dari 4,5 juta orang. Ada ratusan atau mungkin paling banyak seribu orang merupakan keturunan Yahudi.
Xue masih ingat betul saat pertama kali berdoa di Tembok Ratapan atau Kotel dalam bahasa Ibrani enam tahun lalu. “Saya merasa seperti di rumah sendiri.” []