SEJAK pelantikan Presiden Jokowi terus-menerus menerima pukulan baik dari pendukung Prabowo sebagai pesaing, maupun dari lingkungan internal yang kecewa tak puas dalam menikmati kue kemenangan.
Isu kecurangan terus digaungkan meskipun telah mendapat legalitas dari Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan kubu Prabowo.
Agak tenang setelah memberi jabatan Menhan kepada Prabowo yang “sok ksatria” seolah demi persatuan bangsa sehingga bersedia menjadi “pembantu” Presiden.
Kekecewaan para pendukung sangat nyata sampai tidak sedikit yang menggelarinya sebagai “ayam sayur” atau “bermental kacung”. Ada pula yang menyebut sang macan telah berubah menjadi meong, bahkan cebong.
Kebijakan oligarkhis dan otoriter mulai ditunjukkan. Diawali dengan revisi UU KPK yang meski sebagai inisiatif DPR tapi semua tahu siapa yang berniat melumpuhkannya.
Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan besar itu berada di bawah “kendali” Presiden. Begitu juga para staf KPK yang diberi status ASN. Mahasiswa melakukan aksi dan perlawanan keras. Ini merupakan pukulan awal.
UU Minerba, RUU Omnibus Law, serta rencana pemindahan ibukota telah menuai protes. Buruh dan elemen rakyat lainnya berunjuk rasa. Setiap produk dari kebijakan Jokowi selalu mendulang kritik, protes, dan diantaranya unjuk rasa. Ini karena kualifikasi manajerial dan kompetensi kepemimpinan lainnya yang lemah dan “ugal-ugalan”.
Pukulan demi pukulan didaratkan. RUU HIP dan RUU BPIP cukup telak. Pidato berbaju adat yang “tak nempat” pun dipersoalkan. Terasa bagaikan sebuah karnaval anak-anak.
Isinya yang menuduh agar jangan “sok agamis dan Pancasilais” melayang tak jelas. Padahal dahulu Jokowi sendiri yang menyatakan dengan lantang “Saya Pancasila”.
Pidato karnavalnya itu bicara juga soal memberantas korupsi. Orang pun tertawa terbahak-bahak mendengarkannya. Ketika optimisme digembor-gemborkan maka rakyat tak percaya pada ramalan yang tak berbasis fakta.
Beda tipis antara prediksi dengan halusinasi. Pak Jokowi sedang berhalusinasi. Pandangan myopsis dari Presiden yang diduga tertekan atau stress.
Para tokoh nasional yang berhimpun dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang merasa prihatin dengan kinerja buruk pemerintahan Jokowi adalah fenomena baru.
Maklumat “Tugu Proklamasi” yang akan dibacakan menjadi “palu godam” yang dapat membuatnya bertambah goyah.
Bila saja Pak Presiden masih dapat berdiri maka posisinya sudah tidak ajeg lagi, tetapi bergerak-gerak “sempoyongan”.
Ah, Pak Jokowi sebaiknya Bapak mundur saja deh sebelum dimundurkan. Rakyat akan senang dan bahagia. Berterimakasih atas pengorbanan Bapak yang telah memberikan “kado ultah 75 tahun RI” untuk rakyat.
Pekik rakyat atas turunnya Bapak.. Merdeka..!
M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik dan kebangsaan.