Kumbanews.com – Terpaan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi selama pandemi COVID-19. Jutaan tenaga kerja menjadi korbannya. Awalnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah tampak optimis gelombang PHK tidak akan berlangsung lama karena yakin ekonomi Indonesia pulih dalam beberapa bulan.
“Dalam beberapa bulan ke depan saya yakin perekonomian kita akan pulih,” katanya dilansir dari detikcom, Jumat 17 April 2020.
Namun, beberapa ekonom menilai badai PHK akan berlangsung dalam waktu yang lebih panjang. Salah satunya ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri, yang mengatakan gelombang PHK justru semakin masif seiring habisnya sumber daya yang dimiliki oleh para pengusaha.
“Akan jauh lebih masif,” kata dia dikutip detikcom dari siaran CNBC Indonesia TV, Senin 4 Mei 2020.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet memperkirakan badai PHK akan mereda pada akhir tahun, tepatnya mulai kuartal IV-2020.
“Di kuartal keempat itulah kita bisa berharap lah ya proses dari gelombang PHK itu sedikit sudah mulai akan berkurang lah ya,” kata dia saat dihubungi detikcom, Rabu 24 Juni 2020.
Untuk mengetahui gambaran gelombang PHK dari waktu ke waktu selama 2020.
1. Data Korban PHK
Pada April, di mana kasus COVID-19 di Indonesia mulai meningkat, 450.000 buruh langsung kehilangan pekerjaan, baik dirumahkan maupun diberhentikan secara permanen.
“Pekerja yang dirumahkan dan di-PHK itu 342.686, kemudian tenaga kerja yang terdampak sektor informal yang juga masuk ke kita itu ada 109.971. Jadi totalnya itu 452.657,” kata Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah saat dihubungi detikcom, Selasa 7 April 2020.
Bulan berikutnya, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Haiyani Rumondang menyampaikan korban PHK dan dirumahkan sebanyak 1.727.913 pekerja.
Rinciannya, pekerja formal yang dirumahkan sekitar 1.033.000 orang, kemudian yang di-PHK sekitar 377.249 orang. Untuk pekerja informal yang terdampak sekitar 316.976. Mereka tersebar di berbagai perusahaan.
“Total antara pekerja yang dirumahkan dan pekerjaan di-PHK, yang formal dan informal ini sejumlah 1.727.913 orang. Data ini adalah data hasil cleansing. Jadi hasil cleansing itu sudah lengkap identitasnya, namanya, di mana pekerjaannya, jenis pekerjaannya, nomor handphonenya dan sebagainya,” kata dia dalam telekonferensi dengan wartawan, Selasa 12 Mei 2020.
Kondisi tersebut terjadi lantaran wabah virus Corona mengganggu keberlangsungan dunia usaha sehingga mau tidak mau ditempuh langkah pemutusan hubungan kerja serta merumahkan karyawan.
Data pun terus menunjukkan peningkatan jumlah pekerja yang terkena PHK. Angka terakhir yang diungkap Ida ada 2,56 juta orang yang jadi pengangguran akibat COVID-19.
Tak cukup sampai di situ, setidaknya berdasarkan data yang dipaparkan Menaker ada 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi. Rinciannya, yaitu penambahan pengangguran karena COVID-19 sebesar 2,56 juta orang, bukan angkatan kerja karena COVID-19 sebesar 0,76 juta orang, sementara tidak bekerja karena COVID-19 sebesar 1,77 juta orang, dan yang bekerja dengan mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 24,03 juta orang.
2. Profesi Terbanyak Kena PHK
Berdasarkan survei Kemnaker yang dipaparkan Kepala Barenbang Bambang Satrio Lelono dalam webinar bertajuk Analisis Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Perluasan Kesempatan Kerja, pekerja yang paling banyak terkena PHK adalah agen atau perantara penjualan dan pembeliannya sebanyak 10,1%.
Lalu disusul profesi pengemudi mobil, van, dan sepeda motor sebanyak 7,3%, buruh pertambangan dan konstruksi sebanyak 6,7%, tenaga perkantoran umum 6,7%, dan teknisi ilmu kimia dan fisika 5,6%,
Selanjutnya ada tenaga kebersihan dan juru bantu rumah tangga, hotel, dan kantor sebanyak 5,1%, pekerjaan penjualan lainnya 4,5%, tenaga pengawas gedung dan kerumahtanggaan 4,5%, pekerja kasar lainnya 3,9%, dan buruh industri pengolahan 3,9%.
Survei yang dilakukan oleh Barenbang ini mengikutsertakan sebanyak 1.105 perusahaan dari 17 sektor ekonomi. Metode survei yang digunakan adalah pengambilan data secara daring dan telepon serta metode sampling dengan probability MoE 3,01%. Ditambah basis data Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP). Survei ini dilaksanakan sepanjang bulan Agustus 2020 lalu.
Dari survei tersebut pula diketahui bahwa ada 41,18% dari total 1.105 perusahaan yang merasa belum mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Selama pandemi COVID-19, pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan baik bagi pekerja maupun perusahaan. Tetapi dari hasil survei ditemukan, masih ada 4 perusahaan dari 10 perusahaan (41,18%) yang belum merasakan kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah,” ujar Selasa 24 November 2020.
Perusahaan lainnya mengaku sudah merasakan sebagian bantuan yang dikeluarkan pemerintah. Namun, tak semua jenis bantuan diterima perusahaan tersebut.
Sebanyak 19,55% perusahaan masih ada yang belum menerima insentif fiskal saja, untuk itu mereka mengharapkan insentif fiskal seperti pengurangan perpajakan terutama untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan. Lalu 18,55% perusahaan meminta fasilitas pemberian jaminan sosial ketenagakerjaan maupun bentuk lainnya, 14,3% mengaku belum tau butuh bantuan kebijakan apa dari pemerintah, 3,62% berharap diberi pelatihan kepada tenaga kerjanya sesuai keterampilan yang dibutuhkan perusahaan, dan 2,81% perusahaan berharap diberi informasi dalam bidang pasar kerja dan sejenisnya.
“Dari hasil survei ditemukan juga, lebih dari 50% perusahaan berharap kebijakan jaminan sosial ketenagakerjaan tetap menjadi prioritas di masa pandemi. Hal ini tentunya akibat penurunan kinerja keuangan perusahaan,” tambahnya.(dt)