Kumbanews.com – Kalau berkunjung ke Sulawesi Selatan, khususnya ke wilayah Luwu dan sekitarnya, ada satu kuliner yang rasanya wajib dicoba yaitu Kapurung.
Sekilas mungkin terlihat sederhana adonan sagu yang diberi kuah asam segar dengan tambahan sayur dan lauk. Tapi jangan salah, di balik kesederhanaannya, Kapurung menyimpan cerita panjang tentang budaya, kebersamaan, dan kearifan lokal.
Kapurung sudah dikenal masyarakat Luwu sejak dulu, jauh sebelum makanan modern masuk dan meramaikan dapur orang Bugis-Makassar. Sagu, yang menjadi bahan utama, bukan sekadar pengganti nasi. Bagi masyarakat pesisir dan pedalaman, sagu adalah simbol kehidupan, sumber energi, sekaligus warisan dari leluhur. Proses mengolahnya pun tidak sembarangan, sagu kering diaduk dengan air panas hingga mengental, lalu dibentuk bulatan kecil itulah inti Kapurung yang khas.
Kuahnya biasanya berbumbu asam segar dari campuran jeruk, sayur-sayuran seperti kangkung atau jagung, lalu dilengkapi lauk sesuai selera ikan, ayam, atau bahkan udang segar dari laut sekitar. Bagian yang dianggap paling rumit adalah saat mengolah sagu menjadi adonan yang pas, tidak terlalu keras, tidak pula terlalu encer. Di situlah keterampilan tangan benar-benar diuji.
Menariknya, Kapurung bukan sekadar makanan sehari-hari. Dalam masyarakat Luwu, ia sering hadir di berbagai momen penting, dari hajatan hingga acara adat. Filosofinya sederhana tapi dalam. Kapurung mengajarkan kebersamaan. Semua orang duduk melingkar, menyendok kuah, dan menikmati bulatan sagu yang sama sebuah simbol kesetaraan dan persaudaraan.
Seiring waktu, Kapurung ikut beradaptasi. Kalau dulu selalu dimakan bersama-sama di rumah atau pesta adat, kini banyak kafe dan rumah makan modern yang menyajikan Kapurung dengan tampilan lebih estetik. Bahkan ada yang berkreasi dengan tambahan seafood premium atau plating ala restoran. Generasi muda pun mulai melirik kembali makanan tradisional ini, bukan hanya karena cita rasanya yang unik, tapi juga karena rasa bangga pada identitas daerah.
Lalu, apa yang membuat Kapurung begitu istimewa?. Jawabannya ada pada rasa dan maknanya. Segarnya kuah berpadu dengan lembutnya sagu menciptakan harmoni yang jarang ditemui di kuliner lain. Tantangannya memang ada bagaimana menjaga agar Kapurung tidak tergilas oleh gempuran fast food dan tren kuliner global. Tapi dengan semangat masyarakat yang terus melestarikan, Kapurung punya peluang besar menjadi ikon kuliner Indonesia, bahkan dunia.
Karena pada akhirnya, Kapurung bukan sekadar makanan. Ia adalah cerita tentang tanah, air, tradisi, dan orang-orang yang merawatnya dari generasi ke generasi.
Editor: Fyla Abdul