Kumbanews.com – Kasus penculikan mahasiswa Trisakti dan aktivis HAM pada Mei 1998 silam hingga kini belum ada titik terang. Presiden Joko Widodo sebelumnya sempat mengumbar janji akan mengungkap pelaku atau dalang utama penculikan tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI F-PKS M. Nasir Djamil menyampaikan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat seperti dianak tirikan lantaran tidak tuntas hingga periode kedua pemerintahannya.
“Seolah-olah mau lepas tangan, takutnya nanti presiden yang akan datang juga lepas tangan, akhirnya sampai kapan ini akan kemudian bisa selesai,” paparnya.
Politisi asal Aceh ini mengingatkan Presiden Joko Widodo agar memiliki sikap tegas dalam pengungkapan kasus ini sehingga tidak mengumbar janji kosong semata.
“Kalau emang enggak sanggup bilang aja enggak sanggup minta maaf, bilang aja kami enggak sanggup minta maaf udah ya akhirnya kam lebih bagus begitu, lebih gentlemen begitu, daripada abu-abu, enggak jelas sikapnya, enggak jelas tindakannya,” ujar Nasir kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (18/5).
Menurutnya, dengan mengatakan ketidakmampuan pemerintah dalam mengungkap kasus tersebut, Presiden Joko Widodo harus dapat melakukan mediasi dengan keluarga korban untuk menjelaskan pemerintah belum dapat mengungkap kasus tersebut.
“Dengan mengatakan tidak mampu lalu dikembalikan kepada keluarga korban negara udah bilang enggak mampu, misalnya begitu apa tindakan selanjutnya? Gitu kan jadi kalau emang tidak mampu sampaikan saja kepada rakyat Indonesia kami tidak mampu, udah selesai, daripada abu-abu,” paparnya.
Kesan Presiden Jokowi yang sulit mengungkap rahasia pelanggaran HAM negara ini dianggap bisa merusak legacy pemerintahan. Nasir justru melihat dengan presiden menyampaikan langsung ketidaksanggupannya mengungkap kasus tersebut akan lebih dimaknai publik sebagai seseorang yang gentleman.
Ya daripada terlunta-lunta terkatung-katung, daripada abu-abu lebih bagus sampaikan saja tidak mampu. Kami tidak mampu selesai, kami tidak mampu dan kami minta maaf, udah gitu aja. Hanya itu negara yang bisa lakukan, akhirnya kapasitas negara seperti itu, jadi pembukaan UU yang melindungi segenap tumpah darah indonesia itu enggak bisa terwujud eenggak bisa dirasakan oleh keluaga korban,” tegasnya.
“Kalau presiden pake baju putih kan mestinya putih jangan abu-abu, putih terang benderang jelas, klir, kira-kira begitu,” tandasnya.(rm)