Kumbanews.com – Di sebuah sudut jalan yang ramai, aroma daging yang perlahan dipanggang di atas pemanggang vertikal menebar ke udara gurih, hangat, dan mengundang rasa penasaran. Potongan daging sapi yang berputar perlahan itu kemudian disayat tipis, dibungkus roti tortilla hangat, dan disajikan bersama saus bawang putih serta sayuran segar.
Inilah kebab Turki, ikon kuliner yang telah menjelajah dari Istanbul hingga ke berbagai kota dunia, termasuk Indonesia.
Berawal dari Kekaisaran Ottoman, kebab dahulu merupakan santapan para prajurit. Mereka memanggang daging di atas pedang setelah bertempur, menciptakan tradisi kuliner yang kelak berkembang menjadi hidangan populer di seluruh Timur Tengah. Kini, kebab hadir dalam beragam versi dari doner kebab di Turki, shawarma di Lebanon, hingga gyro di Yunani.
Di Turki, setiap daerah memiliki ciri khasnya sendiri. Di Ankara, kebab disajikan dengan roti pipih dan saus tomat kental, sementara di Istanbul, versi klasiknya tetap setia dengan irisan daging sapi atau domba yang dibumbui rempah seperti jintan, paprika, dan lada hitam.
Ketika kuliner ini menyeberang ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kebab bertransformasi. Daging sapi menggantikan domba, saus mayones bercampur sambal, dan roti tortilla menjadi lebih lembut untuk menyesuaikan dengan lidah lokal.
“Rahasia kebab Turki bukan hanya pada dagingnya, tapi pada keseimbangan antara rempah dan waktu memanggang,” kata Ali Murat, seorang penjual kebab asal Konya, Turki, yang kini menetap di Makassar. “Daging harus beraroma, tapi tetap juicy. Itulah seni kebab.”
Selain rasa, kebab juga menyimpan filosofi: kesederhanaan dan kebersamaan. Di banyak kota di Turki, kebab bukan hanya makanan cepat saji, ia adalah simbol keramahan, dinikmati bersama teh hangat di sore hari atau dibungkus cepat untuk teman perjalanan malam.
Kini, di berbagai sudut dunia, kebab menjadi wajah baru kuliner global. Dari kios kecil di Taksim Square hingga gerobak pinggir jalan di Jakarta, satu hal tetap sama: aroma daging panggang yang membawa kenangan tentang perjalanan dan pertemuan antarbudaya.
“Makan kebab seperti menelusuri sejarah rasa,” ujar seorang pengunjung asal Indonesia. “Setiap gigitan seperti potongan kecil dari Istanbul yang ikut berpindah ke sini.”
Dengan cita rasa gurih yang universal dan kisah panjang di baliknya, kebab Turki membuktikan bahwa kadang, makanan jalananlah yang paling mampu menembus batas budaya dan menyatukan dunia.
Editor: Fyla Abdul





