Oleh: DR. Syahganda Nainggolan
LONCENG kematian bangsa kita hampir tiba. Jokowi sudah menyerukan semua menterinya mencari jalan menyelamatkan bangsa Indonesia.
Wakil Menteri Pertahanan, kemarin, telah mengumumkan ketahanan pangan bangsa ini hanya dua bulanan. Menteri Kesehatan kita telah gagal melakukan “flattening the curve” kurva coronavirus. Yang lebih konyol lagi Sri Mulyani telah terlihat gagal memprediksi kebutuhan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak covid-19 ini.
Memang benar pernyataan Jokowi bahwa krisis ekonomi yang diakibatkan pandemik ini lebih buruk dari krisis moneter 1998.
Kenapa lebih buruk? 1) Dampak Covid-19 terjadi pada sisi supply dan demand. Pada tahun 1998, supply side masih besar, khususnya sektor pedesaan, sektor informal dan UMKM. Dengan menggelontorkan dana KUT (Kredit Usaha Tani) dan berbagi kredit mikro lainnya, sektor pedesaan dan informal mampu menopang ekonomi nasional. Konstraksi ekonomi sekitar -16 persen dapat dipulihkan dalam satu tahun dan pemulihan total terjadi selama 5 tahun.
Saat ini, sisi supply hancur karena pandemik mengharuskan manusia berhenti bekerja (“social distancing”) alias produksi terhenti dan “supply-chain” berantakan. Pada sisi demand (permintaan), pasar (market) juga hancur berantakan. Manusia diam di rumah, pusat-pusat perbelanjaan sepi. Dan daya beli rakyat terkuras.
Air France, penerbangan milik Prancis yang bangkrut, misalnya, akan ditalangi 10 miliar dolar oleh negaranya. Namun, apa arti talangan itu jika mobilitas manusia terhenti? Apalah artinya subsidi/stimulus Jokowi pada sektor parawisata kalau turis masih belum mau datang?
2) “Cash is the King”. Situasi pandemik ini membuat, misalnya Gubernur New York, Cuomo, bulan lalu, marah pada Trump, karena dana stumulis yang dijanjikan belum juga cair. Masih menunggu persetujuan DPR Amerika.
Anies Baswedan, di Jakarta, marah pada Sri Mulyani, karena dana tagihan DKI ke rezim Jokowi, untuk diberikan bansos pada 1,1 juta orang (dari 3,75 juta jiwa) di Jakarta belum diberikan Menkeu, alasannya harus menunggu verifikasi BPK.
Cash is the King alias uang adalah raja. Setiap negara memamerkan angka-angka. Amerika memamerkan akan mencetak uang 3 triliun dolar alias mendekati Rp 45.000 triliun. China mengumumkan akan utang 4,7 triliun Yuan (3,7 T Infrastructuur Bond dan 1 T pandemic Bond). Alias mendekati Rp 10.000 triliun.
German juga pamerkan kebutuhan 1,3 triliun Euro (Rp. 21.000 triliun), Italy keluarkan stimulus 750 miliar Euro, Inggris (Bank of England) gelontorkan 1 triliun dolar.
Angka-angka uang ini bisa ada bisa juga proyeksi. Tidak gampang bagi RRC, misalnya, cari utang ketika semua negara dunia ingin berutang. IMF yang diundang Kadin Amerika ceramah beberapa hari lalu, tidak menjanjikan uang pada pengusaha-perusahaan Amerika itu. Malah Dirut IMF, Kristalina Georgieva, besar di negara Komunis Bulgaria, mengajarkan pengusaha-pengusaha Amerika untuk mengetahui sedang terjadi Great Transformation (digital economy, pro green economy dan fairer society).
Jangan berharap IMF kasih Indonesia pinjaman 50 miliar dolar seperti 98. Sampai sejauh ini, IMF sudah menyetujui pinjaman ke 60-an negara, rata-rata kebagian 0,35 miliar dolar saja, sangat kecil sekali.
Cash is the King. Indonesia juga jangan berharap bisa dapat pinjaman dari China, Jepang, Amerika dan lain-lain. Semua butuh uang bagi negaranya.
Sehingga angka-angka defisit bisa saja diajukan Sri Mulyani 1039 Triliun atau 10.000 triliun sekaligus (ingat tahun 2008 Sri Mulyani meleset prediksi talangan bank Century dari Rp 600 miliar menjadi Rp 6,7 triliun alias 10 kali lipat), tapi uang dari mana? Apakah akan ada kelebihan liquiditas di negara-negara maju akibat stimulus di sana, lalu mereka beli SBN (Surat Berharga Negara) di sini?
Jangan terlalu berharap. Kebanyakan “greedy traders” yang akan masuk dan keluar stock market maupun bond market saat ini.
Sedangkan Bank Central kita sendiri, sejauh ini, sudah tertatih-tatih habis 600-an triliun menjaga stabilitas makro ekonomi.
Lalu, apakah negara berani menolak stimulus pada orang-orang kaya dan menaikkan pajak pada orang-orang kaya itu agar ada tambahan pemasukan APBN? Bukankah mayoritas elit negara saat ini adalah orang-orang kaya itu?
Cash is the King. Sebentar lagi negara akan dihantui berbagai kesulitan menjalankan roda pemerintahan. Dimulai, misalnya, walikota Solo mengumumkan tidak mampu bayar listrik, beberapa saat lalu. Ke depan, jangan berharap banyak ada bansos, subsidi kartu-Prakerja, dan lain-lain. Yang jelas harga-hargabarang, BBM, gas, listrik dan lain-lainyang akan menjulang tinggi.
3) Nyaris Perang Dunia. Saat ini nyaris perang dunia. Beda dengan krisis ’98. Trump memecat penasehatnya John Bolton beberapa waktu lalu, karena Bolton hobby perang. Namun, perang dagang dan berbagai ketegangan antara Amerika dan sekutunya versus RRC sudah mulai.
Tiga hal di atas adalah faktor eksternal terkait dampak pandemik. Namun faktor internal kita lebih berat lagi, yakni 1) Uutang negara/BUMN yang menggunung. 2) Ekonomi tidak efisien alias rente. 3) Deindustrialisasi, 4) Korupsi merajalela. 5) Struktur ekonomi pincang, kemiskinan dan pengangguran menggunung.
Sejak lama berbagai lembaga internasional menempatkan kita dalam kelompok negara “fragile five”, yang terjebak utang besar. Bos IMF mengatakan faktor bawaan sebelum Covid-19 sangat menentukan kerapuhan sebuah negara saat ini. Sampai kapan kita bertahan?
Pancasila Gotong Royong atau Rizieqisme?
Dalam masa pandemik ini kelompok-kelompok sekular di Indonesia menawarkan “Pancasila Gotong Royong” via RUU HIP, yakni ajaran Pancasila yang bisa diperas menjadi sebuah sila, yakni Gotong Royong untuk menjadi haluan bagi keselamatan bangsa. Ketuhanan dalam pandangan Megawati Soekarnoputri, pengusul RUU HIP, adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Pandangan Megawati ini menempatkan ketuhanan dalam perspektif Anthropocentric, di mana tuhan merupakan hasil reproduksi peradaban manusia.
Pancasila Gotong Royong adalah ajaran Bung Karno. Dalam masanya ajaran ini adalah ajaran baik. Ajaran ini merupakan turunan dari pikiran Marxisme, sama rata sama rasa. Artinya semua manusia punya hak kepemilikan yang sama, yakni membatasi “property rights” secara rata.
Ajaran Marxism adalah ajaran barat yang berpusat pada manusia dan materialisme. Kesejahteraan dan keadilan semua diletakkan dalam perspektif logika manusia. Ketuhanan yang berkebudayaan, menurut Megawati dan Sukarno adalah ketuhanan yang ada di bumi, bukan ketuhanan yang menyangkut dunia-akhirat.
Gotong Royong ala Bung Karno tentu bersifat ideologis. Di jaman Bung Karno sudah pasti tidak mungkin ada perusahaan kelapa sawit, misalnya, menguasai lahan jutaan hektar, seperti saat ini. Ajaran Bung Karno adalah sebuah gerakan sosialisme-nasionalisme yang menolak supremacy barat dan kapitalisme di Indonesia.
Mohammad Hatta, di sisi lain, yang menawarkan konsep koperasi, lebih ke arah sosialisme welfarian ala Skandinavia, yang jejak keadilannya masih nyata sampai saat ini, ketimbang negara-negara sosialis komunis rujukan Sukarno (seperti Sovyet/Rusia, RRC, dan lain-lain) itu.
Sebagai sosok, Bung Karno tidak membutuhkan UU HIP, karena dia adalah inspirasi ideologi itu sendiri. Sebaliknya, Megawati dan kaum sekuler, membutuhkan ideologi dalam UU, karena mereka sendiri sulit diukur apakah punya jejak Gotong Royong dalam kehidupannya. Bahkan, ketika berkuasa seperti saat ini.
Dalam masa pandemik ini refleksi kita adalah peradaban yang bertumpu pada Anthropocentric telah gagal. Manusia harus meletakkan dirinya dalam bagian alam dan Tuhan YME. Manusia hidup di antara pohon-pohon, sungai, air, udara, binatang, bahkan mikroba serta virus sepanjang hidupnya. Hal itu harus membuat manusia meletakkan peradaban baru yang menjaga keseimbangan alam dan kehidupan.
Gotong Royong adalah ide yang baik. Tapi gotong royong harus dilandasi nilai dan moral yang jelas. Gotong Royong dalam ambisi manusia menaklukkan alam, misalnya, akan membuat degradasi alam, hutan, tambang dll, terjadi juga seperti saat ini.
Gotong Royong dalam keseimbangan Allah dan akam akan menawarkan value dan moral yang berbeda. Ajaran Tuhan tentang Gotong Royong, dalam Islam misalnya, membatasi ambisi pada batas “need” bukan “want”. Kebutuhan (need) mencegah perbuatan mungkar kita terhadap alam, air dan udara. Juga memberi pesan kecintaan pada generasi mendatang, dengan menyisakan deposit sumberdaya alam bagi kehidupan mereka di masa nanti.
Dengan prinsip Ketuhan YME di atas segala-galanya, kita menempatkan spirit kemanusian kita pada kontrol transedental. Sedang ketuhanan berkebudayaan membuat kontrol pada konsensus manusia, yang bersifat fana.
Gotong Royong dalam sipirit Ketuhanan YME juga akan menggerakkan manusia melebihi kemampuan materialnya. Sebuah aksi produktif yang tidak pernah habis. Dan ini pula yang dibutuhkan untuk menyelamatkan manusia di masa pandemik.
Berlawanan dengan Gotong Royong ala Megawati atau RUU HIP adalah Gotong Royong dalam versi Rizieqisme. Pada tulisan saya sebelumnya, “Rizieqisme, 212, Sama Rata Sama Rasa” (2018) dan “Rizieqisme dan Paska Pilpres” (2019), saya telah menguraikan lima prinsip dasar Rizieqisme yang tergambar dari gerakan Imam Besar Habieb Rizieq Sihab selama ini, yakni : 1) Perjuangan Islam adalah perjuangan keadilan sosial. 2) Perjuangan harus di akar rumput. 3) Islam sebagai alat persatuan. 4) Radikal atau tidak mengenal kompromi. 5) Tanggung jawab sosial alias solidaritas.
Dari prinsip ini kita ketahui bahwa prinsip sama rata sama rasa, dan gotong royong ala Habib Rizieq adalah turunan dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Gerakan keadilan dan sekaligus cita cita keadilan bukan ditentukan dalam anthropcena melainkan diturunkan dari wahyu Allah.
Jika Bung Karno dan Megawati, anaknya, bertumpu pada kemanusian versi manusia, sebagai acuan Gotong Royong, maka Habib Rizieq Sihab dalam Rizieqisme menawarkan tumpuan pada kemanusian ciptaan Allah. Dalam masa pandemik ini, kemanusian yang bersifat materialistik, tanpa ruh, akan gagal memetakan ancaman kemanusian akibat coronavirus.
Gotong Royong ala Bung Karno telah menyelamatkan bangsa di masa lalu. Namun, tantangan bangsa saat ini membutuhkan Gotong Royong yang dahsyat, yang bertumpu pada spirit Ketuhanan YME.
Penutup
Lonceng kematian bangsa kita semakin dekat. Kebahagian ekonomi yang diklaim pemerintah dengan pertumbuhan kuartal pertama, bersifat “trade-off” dengan kesengsaraan ke depan yang bersifat kesehatan, ekonomi dan bahkan peradaban.
Sri Mulyani, yang gagal memprediksi stimulus Century di masa lalu, menjadi supir penyembuhan ekonomi saat ini. Hal ini, “menggunakan supir gagal” cukup mengerikan. Menteri kesehatan yang gagal memprediksi situasi pandemik sejak awal juga suatu bencana kematian ke depan. Wamen Kemenhan yang membuka rahasia ketahanan pangan hanya dua bulanan, sangat menakutkan.
Berbagai keburukan situasi ekonomi dan politik juga akan mempercepat keterpurukan bangsa. Di sisi lain, bangsa-bangsa di dunia lainnya sibuk mengurusi rakyatnya sendiri, jauh harapan membantu kita.
Dalam situasi buruk ini, kelaparan dan kemiskinan akan menjadi “catastrophic”, alias bencana. 100 an juta rakyat miskin dan 20 jutanya sudah dilaporkan ADB (Asean Development Bank), 2018, kelaparan saat sebelum pandemik, tidak akan mungki diurus negara, khususnya jika haluan negara tidak tepat.
Tawaran Megawati untuk menggunakan Haluan “Pancasila Gotong Royong” ditolak berbagai kalangan Islam. Hal ini mungkin lebih disebabkan susah mencari jejak Megawati dalam perjuangan ideologis Gotong Royong itu. Berbeda dengan Bung Karno, yang memang dalam diri dan jiwanya ada Gotong Royong itu.
Namun, rakyat dalam keputusasaan tentu sangat butuh haluan itu. Rakyat butuh bangkit dari keterpurukan. Rakyat butuh selamat dari pengangguran, kemiskinan dan kelaparan. Lalu haluan apa yang dibutuhkan?
Untuk itu perlu melihat tawaran Rizieqisme sebagai alternatif ideologi, di mana Gotong Royong didasari spirit Ketuhanan YME. Tuhan di atas manusia, bukan tuhan yang diciptakan manusia. Rizieqisme akan mampu membuat Indonesia bangkit dengan peradabam baru. Sebab keseimbangan antara manusia, alam dan Tuhan YME.
Manusia yang mengelola bumi dengan keadilan sesama dan antar generasi. Manusia yang adil pada pepohonan, binatang, mikroba dan bahkan virus. Serta, manusia yang memohon pada Tuhannya untuk menjadi kalifah di muka bumi dengan bijak. []