Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida (kiri) di Walking Drums, Pati Unus, Jakarta Selatan, Sabtu 6 September 2025. (Foto: RMOL/Faisal Aristama)
Kumbanews.com – Langkah Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) yang mengajukan judicial review (JR) Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan upaya positif untuk memperkuat perlindungan hukum bagi jurnalis.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, meski sudah berusia 27 tahun, UU Pers hingga kini masih jarang dipahami secara menyeluruh, baik oleh masyarakat, aparat penegak hukum, bahkan sebagian jurnalis sendiri.
Hal itu disampaikan Nany dalam Diskusi Publik dengan tema “Judicial Review UU Pers: Menjaga Kebebasan Pers dan Kepastian Hukum Jurnalis” di Walking Drums, Pati Unus, Jakarta Selatan, Sabtu 6 September 2025.
“Regulasi ini sangat penting, dan kita harus mendorong perbaikan. Tapi memang UU Pers itu sangat eksklusif. Banyak jurnalis saja tidak memahami isinya, apalagi masyarakat umum dan pemerintah,” kata Nany.
Ia mencontohkan, dalam sejumlah kasus, aparat penegak hukum termasuk penyidik kepolisian sering kali tidak mengetahui detail UU Pers. Bahkan, sekelas Mabes Polri pun pernah berdebat soal ada tidaknya ancaman pidana dalam undang-undang tersebut.
“Ketika kasus cicak, mereka sampai buka lagi undang-undangnya. Padahal jelas di Pasal 18 ada delik pidana. Kalau Mabes Polri saja tidak paham, bagaimana dengan aparat di daerah?” ujar Nany.
Ia menekankan, judicial review yang dilakukan Iwakum penting bukan hanya untuk memperjelas tafsir perlindungan hukum bagi jurnalis, tetapi juga untuk kembali mengingatkan semua pemangku kepentingan bahwa profesi wartawan dilindungi undang-undang.
“Ini bukan soal JR saja, tapi bagaimana semua stakeholder tahu bahwa jurnalis itu dilindungi. Bukan hanya dilindungi, tapi ada undang-undang yang mengatur secara detail,” tegasnya.
Nany juga menyoroti praktik aparat yang kerap menjadikan status verifikasi Dewan Pers sebagai tolok ukur legalitas media. Padahal, menurut Nany, UU Pers tidak pernah mengatur bahwa media harus terverifikasi.
“Banyak kasus, polisi bertanya ke Dewan Pers apakah media itu terverifikasi. Kalau tidak, langsung dianggap bukan pers. Padahal undang-undang hanya mengharuskan media berbadan hukum, selebihnya dilihat dari substansi beritanya,” jelasnya.
Nany berharap judicial review Pasal 8 UU Pers bisa membuka ruang diskusi lebih luas dan mendorong negara benar-benar memenuhi kewajibannya dalam melindungi jurnalis di lapangan.
Iwakum yang diwakili Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono menguji konstitusionalitas Pasal 8 beserta Penjelasannya dalam UU Pers yang dinilai multitafsir dan berpotensi merugikan wartawan.
Pasal 8 menyatakan, “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”. Sementara Penjelasan Pasal 8 menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘perlindungan hukum” adalah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Iwakum berpendapat Pasal 8 dan Penjelasannya justru menimbulkan ketidakjelasan mekanisme perlindungan hukum bagi wartawan. Padahal, rumusan yang tegas sudah diberikan kepada profesi lain, seperti advokat (Pasal 16 UU Advokat) dan jaksa (Pasal 8 ayat 5 UU Kejaksaan), yang secara eksplisit dilindungi dari tuntutan hukum sepanjang menjalankan tugas dengan itikad baik.
Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil menambahkan bahwa norma dalam Pasal 8 UU Pers seharusnya menjamin perlindungan hukum, tetapi penjelasannya justru memperluas makna secara ambigu. Hal itu dinilai berlawanan dengan jaminan konstitusional atas kepastian hukum, perlindungan diri, serta kehormatan dan martabat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Dalam permohonannya, Iwakum juga membandingkan rumusan perlindungan hukum bagi pers dengan profesi advokat dan jaksa yang dinilai lebih tegas dan tidak multitafsir. Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan disebut secara jelas melindungi profesi tersebut dari tuntutan hukum selama menjalankan tugas dengan itikad baik.
Selain itu, Iwakum menyinggung kasus kriminalisasi jurnalis Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto yang dijerat pidana atas karya jurnalistik mereka. “Rumusan Pasal 8 UU Pers justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan gagal menjamin hak konstitusional wartawan,” tegas pemohon.
Atas dasar itu, Iwakum meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 8 UU Pers beserta Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sumber: RMOL





