Kumbanews.com – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari memperbolehkan mantan narapidana (napi) untuk daftar menjadi bakal calon anggota legislatif. Namun, eks napi itu harus memenuhi beberapa persyaratan yang ada.
Hasyim menjelasakan dalam UU Pemilu nomor 7 Tahun 2017 mencantumkan syarat bagi calon anggota DPR, DPRD dan DPD. Syarat dalam UU tersebut adalah bakal calon tidak pernah dipidana dengan ancaman 5 tahun atau lebih.
“Kemudian MK memberikan putusan itu dalam perkembangannya bahwa bagi orang yang pernah pidana atau mantan terpidana itu tetap boleh mencalonkan diri baik sebagai DPR, DPRD, DPD,” jelas Hasyim kepada wartawan di Jakarta, dikutip Jumat (5/4/2023).
Lebih lanjut, Hasyim mengatakan mantan napi boleh menjadi caleg dengan catatan yang bersangkutan telah selesai menjalankan masa pidananya.
“Jadi telah selesai menjalani pidana itu artinya berstatus mantan terpindana. Nah mantan terpidana itu adalah tidak lagi punya teknis administratif dengan lembaga kemasyarakatan,” ujar dia.
Sementara itu, ia juga menuturkan bahwa mantan napi tersebut harus membuat surat pernyataan bahwa dirinya telah dipidana dengan ancaman 5 tahun atau lebih. Itu adalah salah satu syarat untuk mengajukan diri sebagai bacaleg untuk pemilu 2024.
“Selain itu juga membuat publikasi atau mengumumkan kepada publik melalui media massa tentang status dirinya pernah dipidana,” tutup Hasyim.
MA Perbolehkan Mantan Napi Jadi Caleg
Sebagai informasi, Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan putusan soal keikutsertaan mantan napi dalam Pemilu. Lewat putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018, MA memperbolehkan mantan napi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024.
Dalam putusan itu, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan eks napi koruptor nyaleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018.
MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan.
MA berpendapat larangan eks napi koruptor nyaleg bersinggungan dengan pembatasan HAM, terutama hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih.
MA menyebut hak politik telah tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia juga telah meratifikasi kovenan itu melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Mahkamah pun mengutip Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal itu menjelaskan setiap warga negara berhak memilih dan pemilih dalam pemilu.
“Bahwa dalam UU HAM di atas sangat jelas diatur bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum,” dikutip dari salinan putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018.
Source: Inilah