Rudal balistik diluncurkan dari Iran ke Israel sebagai balasan atas serangan udara terhadap target-target Iran/Net
Oleh: Dr. Surya Wiranto, SH MH*
KETEGANGAN mematikan antara Israel dan Iran telah meledak menjadi konflik terbuka, mewujudkan skenario perang regional yang telah lama dikhawatirkan analis. Pada Jumat, 13 Juni 2025 dini hari, Israel melancarkan serangan langsung terhadap fasilitas nuklir dan kepemimpinan militer Iran.
Iran pun membalas dengan meluncurkan misil dan drone ke Israel, menandai dimulainya babak baru berbahaya dalam konflik Timur Tengah yang kini bergulir cepat.
Eskalasi ini bukanlah hal yang tak terduga. Bertahun-tahun sebelumnya, para ahli seperti Ilan Goldenberg (mantan pejabat pemerintahan Obama) telah memperingatkan dalam jurnal Foreign Affairs (2019) bahwa ketegangan AS-Iran yang tidak terkendali bisa memicu perang regional.
Skenario itu termasuk serangan Iran terhadap infrastruktur minyak Arab, kapal di Teluk Persia, dan pangkalan AS, yang berpotensi memicu invasi AS ke Iran, negara besar berpenduduk 90 juta, dan menjerat AS seperti di Irak era 2000-an.
Pertanyaannya sekarang: Apakah kita berada di tepi jurang seperti itu? Situasi masih berkembang, tetapi serangan balasan Iran telah mengonfirmasi ketakutan terburuk.
Iran Memiliki Banyak Opsi, Perang Darat Konvensional Tidak Mungkin
Seth J. Frantzman dari The Jerusalem Post mencatat bahwa Iran memiliki banyak pilihan balasan, termasuk menargetkan kepentingan AS di kawasan–ancaman yang sering diulangnya.
Meski Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyatakan AS tidak terlibat dalam serangan Israel, Iran mungkin tetap melancarkan serangan. Sedangkan Presiden Donald Trump mengaku AS “tahu segalanya” tentang serangan Israel.
Selain serangan misil/drone (yang sudah terjadi), opsi Iran termasuk memanfaatkan pasukan proxy, peretasan komputer, atau menargetkan warga Israel di luar negeri. Namun, Frantzman menilai perang darat konvensional antara Iran dan Israel tidak mungkin terjadi.
Ancaman Proliferasi Nuklir yang Meningkat
Kerusakan pada fasilitas nuklir Iran justru berpotensi mendorong langkah ekstrem. Kenneth M. Pollack (mantan analis CIA) di Foreign Affairs memprediksi respons terburuk sekaligus yang paling mungkin: Iran menarik diri dari komitmen pengendalian senjata dan “secara serius membangun senjata nuklir”.
Daniel B. Shapiro (mantan pejabat pemerintahan Biden) menambahkan bahwa Presiden Trump sebelumnya meminta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberi waktu untuk negosiasi nuklir AS-Iran, namun Netanyahu menolak. Shapiro memperingatkan, “kemungkinan besar Iran sekarang akan berupaya mati-matian mencapai nuclear breakout”.
Hal ini akan memaksa Trump membuat keputusan sulit: intervensi militer untuk menggagalkan senjata nuklir Iran–keputusan yang akan memecah penasihat dan basis politiknya mengingat janjinya untuk menjauhkan AS dari perang Timur Tengah.
Mati Surinya Diplomasi Nuklir
Kematian negosiator nuklir utama Iran dalam serangan Israel merupakan pukulan telak bagi upaya diplomasi. Meski Trump mendesak Iran untuk membuat kesepakatan sebelum tidak ada yang tersisa, Shapiro menyimpulkan bahwa “mimpi Trump tentang resolusi diplomatik yang mengakhiri pengayaan nuklir Iran tampaknya mati”.
Ellie Geranmayeh (pakar Iran dari European Council on Foreign Relations) menegaskan bahwa Iran telah membatalkan perundingan yang dijadwalkan di Oman. Jalur diplomasi resmi kini terhenti, atau bahkan berakhir, seiring konfrontasi militer lebih lanjut.
Serangan Israel ini, tulis Geranmayeh, “hampir pasti akan memperkuat pihak-pihak di Iran yang menginginkan senjata nuklir”, langkah yang sebelumnya dihindari Teheran dan menurut intelijen AS terbaru, belum diputuskan kepemimpinannya.
Jalan Menghindari Perang Lebih Besar
Di tengah situasi genting ini, Geranmayeh mengajukan rekomendasi mendesak bagi Eropa: berkoordinasi dengan pemerintahan Trump dan negara-negara GCC (Dewan Kerjasama Teluk) untuk mencegah konflik regional yang lebih luas. Semua pihak ini ingin mencegah eskalasi lebih lanjut dan harus menekan Israel dan Iran secara intens.
Eropa perlu mendesak negara-negara Teluk, yang memiliki pengaruh lebih besar di Washington, untuk mendorong Trump menjelaskan bahwa AS tidak akan mendukung serangan Israel lebih lanjut. Negara-negara GCC juga harus memanfaatkan hubungan mereka dengan Tehran untuk menyampaikan risiko besar dari eskalasi lebih lanjut.
Perang Timur Tengah baru telah dimulai. Nasib kawasan, dan mungkin dunia, kini bergantung pada apakah kekuatan-kekuatan utama dapat menahan laju menuju jurang dan menemukan jalan kembali ke meja perundingan sebelum bencana yang lebih besar tak terelakkan.
Sumber: RMOL