Kumbanews.com – “Pam Swakarsa harus lebih diperanaktifkan dalam mewujudkan kamtibmas [keamanan dan ketertiban masyarakat]. Jadi, kami hidupkan kembali.”
Calon tunggal Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengucapkan pernyataan itu, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Komisi III DPR RI di Senayan, Rabu (20/1/2021) lalu. Kata dia, Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa) akan disinergikan dengan kepolisian.
Pam Swakarsa, kata Sigit, akan diintegrasikan dengan perkembangan teknologi informasi dan fasilitas-fasilitas yang ada di Korps Bhayangkara.
Ide dihidupkan kembali Pam Swakarsa sebenarnya sudah dicetuskan Kapolri Idham Azis. Tentu saja mendapatkan banyak protes dari kelompok masyarakat sipil. Idham sampai menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa—peraturan dengan nama yang jelas. Salah satu unit yang diatur di dalamnya adalah satuan pengamanan (satpam).
Beberapa di antaranya mencakup jasa konsultan pengamanan, jasa diklat satpam, jasa penyedia tenaga kerja satpam, jasa penyedia peralatan keamanan, hingga jasa pengamanan distribusi uang, emas, dan barang berharga.
Yang membuat peraturan baru itu berbeda, diubahnya seragam satpam jadi warna cokelat dan disertai pangkat seperti anggota kepolisian. Di aturan itu satpam bisa berlatar belakang purnawirawan Polri atau TNI.
Upgrade dari ABRI ke Polri Orde Baru 4.0
Kebijakan Polri untuk kembali mengaktifkan kembali pasukan yang dibentuk oleh Wiranto pada 1998 itu, dikritisi oleh Direktur Lokataru Fondation Haris Azhar Azis. Menurutnya, menghidupkan kembali Pam Swakarsa sama saja Polri kembali ke zaman Orde Baru (Orba).
“Katanya sekarang revolusi 4.0, tapi pemerintah malah menciptakan Orba 4.0. Polri saat ini malah mundur 30 tahun,” kata Haris Azhar kepada reporter Tirto, Jumat (22/1/2021).
Dibangkitkannya kembali Pam Swakarsa, kata Haris Azhar, merupakan bentuk kegagalan negara dalam melakukan keamanan sampai tingkat masyarakat.
Haris khawatir apabila Pam Swakarsa dibentuk, nantinya akan memiliki kekebalan hukum saat melakukan tindak kekerasan di tingkat masyarakat. Hal itu diperparah dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan.
“Ini malah akan semakin banyak orang melaporkan dan memidanakan tetangganya,” pungkasnya.
Selain itu, menurutnya pembentukan PAM Swakarsa merupakan motif Polri untuk memasukan anggotanya sampai tingkat masyarakat. Mengingat, kini banyak anggota Polri maupun yang telah pensiun masuk di tubuh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Kementerian, sampai BUMN.
“Sekarang polisi masuk ke masyarakat. Semua akan jadi polisi pada akhirnya,” pungkasnya.
Dalam sejarahnya, Pam Swakarsa adalah kelompok sipil yang dipersenjatai dan dibentuk pada tahun 1998. Mulanya, Pam Swakarsa dibentuk untuk keberlangsungan sidang istimewa MPR RI. Namun kerap diperintahkan untuk bentrok dengan kelompok masyarakat lainnya.
Mereka dipersenjatai dengan bambu yang diruncingkan bertugas melawan demonstran mahasiswa. Pendiri KontraS, Munir, waktu itu menyerahkan sejumlah barang bukti kepada polisi: 40 bambu runcing dari kawasan Taman Ismail Marzuki, 132 bambu runcing dari Tugu Proklamasi, sebuah samurai, satu batang besi bengkok, empat ikat kepala, dan selembar sapu tangan.
Mereka juga juga disebut kerap berpawai melintasi kampus yang aktif dan melakukan patroli malam diiringi dengan sedan polisi.
Memicu Bencana Sosial
Rencana dihidupkannya lagi PAM Swakarsa juga ditolak ramai-ramai oleh Koalisi Reformasi Sektor Keamanan. Koalisi ini terdiri dari KontraS, Amnesty International Indonesia, HRWG, LBH Jakarta, Setara Institute, PBHI, hingga ICW.
Mewakili koalisi, Fatia Maulidiyanti dari KontraS mengatakan bahwa pihaknya melihat minimnya evaluasi sektor penegakan HAM saat uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan dua hari lalu. Namun, nyatanya Sigit malah ingin kembali mengaktifkan Pam Swakarsa, yang saat awal Reformasi bergulir banyak melanggar HAM.
Fatia menilai kebijakan Polri untuk mengaktifkan kembali Pam Swakarsa berpotensi melanggar HAM, mengingat tidak ada kualifikasi yang jelas mengenai organisasi yang dapat dikukuhkan sebagai Pam Swakarsa. Apalagi, lanjut dia, tidak ada pengaturan yang jelas mengenai batasan wewenang Polri dalam melakukan pengerahan massa Pam Swakarsa dalam menjalankan sebagian tugas dan fungsi Polri.
“Hal ini berpotensi berujung pada peristiwa kekerasan, konflik horizontal, dan penyalahgunaan wewenang,” kata Fatia koordinator Kontras tersebut, Kamis (21/1/2021).
Hal tersebut diperparah, lanjut Fatia, dengan tidak adanya solusi konkret mengenai berbagai permasalahan mendasar di tubuh Polri seperti: penyiksaan, extrajudicial killing, penempatan anggota Polri pada jabatan di luar organisasi Polri, kontrol pertanggungjawaban etik, korupsi di tubuh Polri, dan penghalangan bantuan hukum.
Oleh karena itu, koalisi mendesak beberapa hal kepada Sigit agar mau mengevaluasi kembali terkait rencana kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang demokratis dan segera melakukan reformasi internal kepolisian secara keseluruhan dengan.
“Kami mendesak agar membatalkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa dan mengevaluasi penggunaan kekerasan secara eksesif dengan melakukan penegakan hukum dan akuntabilitas secara tegas kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kekerasan eksesif dalam menangani aksi massa dan memperbaiki sistem pengawasan internal Polri,” kata dia.
Setelah Kapolri Idham Aziz menerbitkan Perkap mengenai Pam Swakarsa beberapa bulan lalu, KontraS merilis kertas posisinya dan menyebut ada beberapa masalah mendasar jika ingin mengaktifkan kembali lembaga itu, seperti memori masa lalu mengenai buruknya Pam Swakarsa, tak ada jaminan profesionalisme, berpotensi menghidupkan vigilante group, hingga tak ada jaminan akuntabilitas pengerahan Pam Swakarsa.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono saat itu menyatakan isu Pam Swakarsa saat ini tidak berkaitan dengan Orde Baru. Sebab selama ini ada kekurangan tenaga kepolisian ketimbang jumlah penduduk.
“[Isu] itu ditarik ke politik. Pada intinya ini mengukuhkan yang sudah ada, cuma pergantian pakaian satpam saja dari warna biru ke cokelat. [Seragam] yang biru dipakai satuan keamanan lingkungan, tidak ada kami tarik lagi ke 1998 (Orde Baru). Tidak ada,” ujar Awi di Mabes Polri, Kamis (17/9/2020) lalu. []