Lokataru Ungkap Cara-cara Warga Dibungkam Selain Pakai UU ITE

  • Whatsapp

Ilustrasi

Kumbanews.com – Manajer Program Lokataru Foundation Mirza Fahmi menilai masih ada instrumen lain yang dimiliki pemerintah untuk mengkriminalisasi warga selain dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Bacaan Lainnya

Hal itu disampaikan merespons wacana pemerintah yang ingin merevisi pasal-pasal karet dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang UU ITE.

“Merevisi pasal karet belaka tak akan banyak mengurangi kemampuan negara dalam mengkriminalisasi warga. Ini bukan hanya soal dokumen hukum semata, tetapi kemampuan pemerintah, termasuk warganya yang masih dipertanyakan saat berjumpa dengan kritik di ruang publik,” kata Mirza dalam konferensi persnya, Rabu (17/2).

Mirza menemukan bahwa negara masih memiliki banyak perangkat hukum selain UU ITE yang dapat digunakan untuk membungkam masyarakat. Aturan itu di antaranya seperti pasal penghasutan, keonaran, hingga pelanggaran aturan kerumunan.

Ia mencontohkan bahwa pasal penghinaan terhadap mata uang rupiah bisa dipakai untuk membungkam masyarakat sipil. Hal itu terlihat dalam kasus Manre, seorang nelayan Kodingareng, Makassar yang merobek ‘amplop’ ganti rugi dari PT. Boskalis.

Tambah lagi, kata Mirza, penggunaan Strategic Lawsuit against Public Participation (SLAPP) yang kerap dipakai korporasi untuk memukul mundur perlawanan masyarakat atau penghilangan paksa dan pembunuhan ekstra yudisial di Papua.

“Jangan lupakan juga ‘senjata andalan’ lain pemerintah, seperti kriminalisasi hoax dan patroli siber yang masih berjalan,” kata Mirza

Tak berhenti sampai di situ, Mirza menilai kualitas masyarakat sipil di Indonesia turut memiliki kontribusi yang tak sedikit terhadap kemunduran demokrasi. Ia menilai watak yang diam-diam menolak demokrasi kini sudah mengendap dalam masyarakat sipil sendiri.

Ia membeberkan data bahwa sejak 2018 dua kelompok terbesar pelapor UU ITE adalah pejabat publik dan masyarakat sipil. Sebanyak 35,9 persen pelapor adalah kepala daerah, menteri, aparat keamanan, dan pejabat publik lainnya. Sementara itu, pelapor dari masyarakat sipil sendiri tercatat mencapai 32,2 persen.

Bahkan, data yang dihimpun SAFENet tahun 2019 menunjukkan ada 3.100 kasus UU ITE yang dilaporkan.

“Ini menunjukkan perbedaan tipis antara jumlah pelapor warga dan pemerintah membuktikan bahwa masyarakat sipil sendiri gagal memahami dan mempraktekkan kebebasan berekspresi,” kata dia.

Berkaca pada data tersebut, Mirza menilai semangat untuk memenjarakan pihak lawan ikut tumbuh subur di tengah masyarakat sipil. Ia menilai masyarakat sipil masih alergi terhadap kritik dan perbedaan pendapat.

“Di momen politik besar seperti Pemilu atau Pilkada, kecenderungan ini melonjak berkali lipat. Sepak terjang buzzer sesungguhnya tak lebih dari efek samping dari kondisi mendasar ini. Mental gerombolan warga senantiasa memandang lawan kubunya sebagai pihak yang mesti dibungkam dengan segala cara,” kata Mirza.

Melihat hal itu, Mirza pesimistis bila demokrasi di Indonesia akan sehat tanpa UU ITE. Bahkan, ia memprediksi kualitas demokrasi Indonesia akan tetap mandek dan lebih parahnya terus mundur. (*)

 

Pos terkait