Mengkritisi Transfer Data Pribadi dalam Kesepakatan RI–AS

lustrasi Foto/Antara

Oleh: Heru Wahyudi*

Bacaan Lainnya

INDONESIA baru saja menandatangani Statement on Reciprocal Trade dengan Amerika Serikat. Kabar pemangkasan tarif memang terdengar manis, tapi di balik itu, terselip klausul sensitif: Jakarta mesti memberi “kepastian” atas pemindahan data pribadi warga ke AS. Apakah ini langkah strategis atau jebakan bagi kedaulatan digital kita?

Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 94 juta akun warga Indonesia bocor. Data pejabat tinggi, paspor, hingga NPWP bertebaran di forum gelap. Ini bukan semata soal privasi, melainkan ancaman identitas, pemerasan, bahkan keamanan nasional.

Kaspersky mencatat 3,2 juta upaya serangan siber di kuartal I/2025, dengan metode yang makin canggih: phishing berbasis AI, credential stuffing, hingga serangan rantai pasokan perangkat lunak. Kalau sistem domestik saja sering jebol, bayangkan bila salinan data juga tersimpan di luar yurisdiksi.

Gedung Putih menegaskan bahwa Indonesia akan memastikan pemindahan data pribadi ke AS sebagai bagian dari paket pemangkasan tarif 19 persen. Pemerintah mencoba menenangkan publik dengan mengatakan bahwa hanya “data komersial” yang dipindahkan.

Walau bagaimanapun, UU Pengawasan Intelijen Asing Amerika Serikat (FISA 702) memungkinkan lembaga keamanan negara untuk mengakses data komunikasi orang yang tidak berwarga negara AS tanpa izin pengadilan. Ahli keamanan siber meragukan batasan teknis ini. Sebagian besar anggota DPR terus menuntut agar semua perjanjian tunduk pada UU Perlindungan Data Pribadi 2022.

Memang, UU PDP mewajibkan transfer data hanya ke negara yang memiliki perlindungan “setara” dengan Indonesia. Masalahnya, AS belum punya payung hukum federal seketat Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni Eropa. Tanpa lembaga pengawas independen di AS, hak-hak subjek data Indonesia bisa terabaikan. Minimal, ada tiga syarat yang dituntut: kepatuhan penuh pada UU PDP, enkripsi end-to-end, dan audit bilateral yang transparan.

Kesepakatan Dagang RI-AS

Di era ekonomi digital, data adalah “minyak baru.” Bagi korporasi teknologi AS, pelonggaran arus data lintas negara adalah akses menekan biaya cloud dan mempercepat analitik. Untuk Indonesia, membuka gerbang data menjanjikan investasi pusat data. Tapi tanpa posisi tawar yang kuat, data warga bisa jadi komoditas murah, sementara nilai tambahnya dinikmati perusahaan asing.

Kesepakatan dagang ini memang membuka akses AS ke pasar Indonesia secara besar-besaran, dari produk industri, pangan, hingga pesawat Boeing. Sebagai gantinya, AS memangkas tarif untuk produk Indonesia menjadi 19 persen. Kendati, standar dan kuota yang ketat menghalangi Indonesia untuk masuk ke pasar AS. Potensi ekspor Indonesia masih belum penuh.

Yang patut dicermati, Indonesia berkomitmen melakukan pembelian besar produk AS, mulai dari pesawat, energi, hingga hasil pertanian. Ini berisiko membebani neraca dagang dan memperkuat ketergantungan impor strategis. Beberapa ekonom mengkritisi bahwa tanpa kebijakan hilirisasi dan transfer teknologi, kesepakatan ini bisa menjadi jebakan jangka panjang.

Di sisi lain, kesepakatan ini memperbesar peluang investasi digital dari raksasa seperti Google, Microsoft, dan Amazon Web Service (AWS). Sekalipun, Indonesia dituntut memberi kepastian hukum atas transfer data pribadi ke luar negeri. Padahal, AS tidak memiliki peraturan yang cukup untuk melindungi data. Kekuatiran tentang kebocoran dan penyalahgunaan data terus meningkat.

Kebijakan Dagang Digital

Dalam perspektif administrasi negara, implementasi kebijakan ini menuntut birokrasi yang sigap, transparan, dan akuntabel. UU Administrasi Pemerintahan dan UU PDP sejatinya menjadi pedoman agar langkah pemerintah tidak melenceng dari koridor hukum. Persoalannya berat: birokrasi yang lamban, tumpang tindih regulasi, SDM yang belum sepenuhnya melek digital, hingga infrastruktur teknologi yang belum merata, (S. Jabar, 2024).

Transparansi dan akuntabilitas menjadi topangannya. Tanpa keterbukaan informasi publik, potensi praktik KKN bisa tumbuh subur, merusak integritas administrasi negara di era digital. Koordinasi lintas sektor, baik pemerintah pusat dan daerah, swasta, LSM, akademisi, hingga forum internasional, menjadi rumus untuk memastikan tata kelola digital yang adil dan pro-rakyat.

E-Commerce Indonesia 2025

Sementara itu, sektor e-commerce Indonesia sedang bertumbuh pesat, dengan proyeksi nilai transaksi mencapai Rp 512 triliun di 2025. Video commerce dan kecerdasan buatan (AI) menjadi pendorong perdana. Pasalnya, seiring laju digitalisasi, problem privasi data makin blunder. Platform besar sudah mulai mengadopsi enkripsi end-to-end, 2FA, hingga sertifikasi keamanan. Bahkan, blockchain mulai dipandang sebagai solusi revolusioner.

UU PDP menjadi tameng hukum, tapi problem realisasinya masih besar, terlebih bagi UMKM yang minim sumber daya. Dinamika regulasi perpajakan dan antimonopoli juga menjadi PR besar bagi pemerintah. Indonesia butuh pendekatan strategis: memperkuat keamanan data, mempercepat literasi digital, dan memastikan regulasi tidak memberatkan pelaku usaha kecil.

Indonesia kini berada di persimpangan antara peluang ekonomi digital dan tantangan kedaulatan data. Keberhasilan mengelola era ini tidak hanya ditentukan oleh nilai investasi yang masuk, setidaknya oleh seberapa kokoh kita melindungi data dan hak digital warga.

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: RMOL

 

Pos terkait